"Menangis tidak selalu simbol lemah tak berdaya. Menangis dalam situasi tertentu justru adalah simbol kekuatan, kesabaran, dan kehormatan."~ Tere Liye.
-×-Lessa berjalan sedikit cepat meninggalkan Taraz. Belum siap dirinya bertemu dengan Taraz. Hal yang ia lihat mampu memnuat hatinya terluka. Meski entah bagaimana kenyataannya.
Dadanya kembali sakit. Ia memilih berhenti di depan toko yang nampak tertutup. Nafasnya yang terengah-engah membuatnya ingin menangis saat itu juga.
"Taraz, kenapa tiba-tiba Kamu datang tanpa aba-aba? Setelah kamu hilang tanpa kabar dan kembali denganmembawa seorang perempuan? Kenapa? Enggak cukup kamu nyakitin aku selama kamu pergi?" lirih Lessa meluapkan kekesalannya, pertanyaam-pertanyaan yang sejak tadi ia ingin katakan.
Tak kuat ia menahan air matanya. Dengan menitihnya air mata, dadanya kembali nyeri lebih sakit dari kemarin.
"Cukup, kalau kamu kembali hanya untuk membuat luka, untuk apa kembali? Lebih baik menghilang selamanya bukan?" Lessa menekuk kakinya dan memeluknya lalu menupang dagunya.
Jatuhnya air matanya membuat ia sedikit lega. Meski tak ada isakan menemaninya.
Setelah merasa puas meluapkan kesedihanmu, Lessa berjalan mencari halte. Selama dua hari Lessa merasakan nyeri di dadanya. Ia masih heran, pasalnya ia sendiri tak pernah mengalami ini sebelumnya. Nyeri itu bisa muncul kapan saja, tak bisa ditebak.
"Apa ke rumah sakit aja, ya? Kok sakitnya aneh," guman Lessa yang sedang duduk di halte setelah perjalanannya.
"Ya udah, deh."
Lessa mengotak-ngatik ponselnya untuk memesan ojek online dengan tujuan rumah sakit terdekat.
"Neng Lessa, ya?" tanya pengendara ojek yang baru saja datang.
"Iya."
Sekitar tujuh menit, Lessa baru sampai di depan sebuah rumah sakit.
-×-
Seorang dokter berambut pendek sedang memeriksa Lessa menggunakan stetoskop miliknya.
"Udah sering nyeri di dada?" tanya dokter Fia.
"Enggak Dok, baru dua hari ini berturut-turut," jawab Lessa.
"Saya sarankan kamu ke dokter spesialis jantung, agar bisa ditindak lebih lanjut jika memang ada masalah." Dokter Fia menyarankan Lessa untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis jantung
"Baik Dok."
"Ini saya buatkan resep, jika rasa nyerinya tidak hilang, segera konsultasi ke dokter spesialis, ya," ujar dokter Fia.
"Iya Dok."
"Silakan tebus obat. Untuk aturan minum, bisa dilihat di sini," tutur dokter Fia seraya menunjukkan kertas resep yang baru saja ia tulis.
"Iya Dok, terima kasih," balas Lessa yang langsung bangkit dan keluar ruangan.
"Kok? Beneran harus ke dokter jantung? Astaga!" keluh Lessa yang tak percaya dengan apa yang ia alami.
Posisinya sekarang sudah berada di apotek depan rumah sakit. Ia memilih untuk membeli obat sesuai resep. Lessa berpikir, mungkin dengan meminum obat akan hilang dan tak perlu mengunjungi dokter jantung.
"Terima kasih, Kak," ungkap Lessa setelah menyelesaikan pembayaran obatnya.
Ia memasukkan obat tersebut dalam tasnya dan dering ponselnya membuat kegiatan menutup tasnya terhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinta Luka [END]
Teen FictionDuka tercipta setelah kebahagiaan sirna. Perubahan yang terpaksa karena adanya keadaan. Dia tidak mengambil kebahagiaannya, ini hanyalah sebuah amanah. Bukan tidak menerima. Tapi, menjadi sebuah trauma. Bukan tidak mendengar. Namun, mencoba untuk me...