"Cinta atas nama paksaan juga akan berakhir dengan rasa yang indah."
"Udah malem, nih. Ayo lo gue anter pulang," ucap Taraz yang berdiri dan sedikit membenarkan pakaiannya.
"Gue dijemput aja," tolak Anya dengan memasukkan ponselnya ke dalam sling bagnya.
"Gue enggak mau kena omel bunda gue," tegas Taraz seperti tidak menerima penolakan.
"Oke kalau gitu," putus Anya pasrah.
Taraz berjalan santai menuju parkiran setelah membayar pesanannya dan Anya. Untung saja ia membawa helm untuk Anya. Ia lalu memberikannya pada Anya. Terlintas Lessa di pikirannya. Hanya Lessa yang ia pasangkan helm.
Taraz mulai menaiki motornya dan menyalakan mesinnya.
"Ayo!" seru Taraz menoleh pada Anya yang masih terdiam.
"I-iya!" Anya terlihat gugup. Segera ia naik ke motor dan memberi sedikit jarak dengan Taraz.
"Lo enggak mau pegangan? Jatoh gue enggak tanggung," lanjut Taraz yang langsung menarik gas motornya.
"Woi! Bisa pelan enggak, sih?!" teriak Anya ketakutan.
"Pegang pundak gue!" pinta Taraz balik berteriak.
"Udah lo jangan kenceng-kenceng!" omel Anya.
Tanpa banyak bicara, Taras menarik tangan Anya lalu ia arahkan ke pundaknya. Anya kaget atas perlakuan Taraz. Pasalnya, ini kali pertama menaiki motor laki-laki selain papanya.
"Udah diem!" Taraz langsung melajukan motornya sedikit cepat membela gelapnya malam, menerobos hembusan angin.
"Arahin rumah lo!" pinta Taraz.
"Iya ini bener. Lo tinggal lurus dan di depan ada belokan, lo belok kanan," jelas Anya sedikit berteriak.
Taraz semakin mempercepat laju motornya. Membuat Anya semakin mempererat pegangan tangannya pada pundak Taraz.
"Udah sini aja!" teriak Anya ketika Taraz hendak berbelok.
"Kenapa?" tanya Taraz memperlambat motornya.
"Udah enggak apa-apa, berhenti!" pinta Anya.
"Enggak, sekarang lo ada sama gue, jadi itu tanggung jawab gue mastiin lo sampai di rumah!" tegas Taraz kembali melajukan motornya.
Anya hanya bisa pasrah akan kelakuan Taraz yang keras kepala. Tak lama, Taraz kembali bertanya padanya, "Rumah lo yang mana?"
"Itu depan. Pagar hitam," balas Anya menunjuk rumah besar bertingkat dengan dominan warna hitam dan abu-abu.
Taraz sudah memberhentikan motornya di depan hasil tunjukkan Anya dan mematikan mesin motornya. Anya turun dari motor Taraz dan melepas helm lalu menyodorkan kembali pada Taraz.
"Makasih," ucap Anya.
Taraz menerima helmnya kembali. Ia membuka kaca helmnya dan menatap Anya yang merapikan rambut pendeknya.
"Gue balik," pamit Taraz.
"Loh sudah pulang?" seru Sania ketika Taraz hendak menyalakan mesin motornya.
"Eh Tante," balas Taraz yang lalu turun dari motornya, melepas helm dan mencium punggung tangan Sania.
"Makasih, ya, Nak," ucap Sania.
"Sama-sama, Tante. Saya balik, ya Tan," pamit Taraz.
"Loh? Enggak mampir dulu?" tawar Sania menunjuk arah rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinta Luka [END]
Teen FictionDuka tercipta setelah kebahagiaan sirna. Perubahan yang terpaksa karena adanya keadaan. Dia tidak mengambil kebahagiaannya, ini hanyalah sebuah amanah. Bukan tidak menerima. Tapi, menjadi sebuah trauma. Bukan tidak mendengar. Namun, mencoba untuk me...