- J a t u h s a k i t -

47 16 16
                                    

"Mama buatin bubur ya, habis itu minum obat." Gea menyelimuti badan Lessa dangan selimut.

Lessa akhirnya tertidur kembali. Dua puluh menit tertidur, Gea masuk ke dalam kamar Lessa dengan semangkuk bubur dan air putih.

"Lessa, bangun Sayang," panggil Gea dan mengelus kepala sang putri.

"Iya Ma." Lessa perlahan mengubah posisinya menjadi duduk dibantu juga oleh Gea.

"Mama suapin, ya. Kamu kok bisa kayak gini, sih? Padahal kemarin masih baik-baik aja kamu," Gea merasa heran karena Lessa terlihat baik-baik saja dan dalam waktu singkat terjatuh sakit.

"Kecapean aja kali, Ma," Lessa jelas berbohong, ia terus memikirkan Taraz yang tak kunjung ada kabar membuatnya khawatir.

"Kecapean apa? Emang kamu habis ngapain, ha?" tanya Gea mencurigainga.

"Iya 'kan kemarin aku sekolah," jelasnya kikuk.

"Biasanya juga sekolah, 'kan? Enggak ada, tuh sampai kayak, gini." Gea terus menyuapkan bubur pada Lessa.

"Yaudah, sih emang waktunya sakit kali," lanjut Lessa ngawur.

"Mau ke rumah sakit?" tawar Gea terus mengelus pucuk kepala putrinya.

"Aku cuman mau ketemu Taraz, Ma," batin Lessa.

"Enggak usah. Habis ini juga sembuh, kok." Lessa berusaha meyakinkan pada mamanya kalau ia baik-baik saja.

"Yaudah, mama tinggal, ya." Gea menghadiahi Lessa dengan ciuaman hangat.

Lessa hanya mengangguk lemah. Ia melihat kepergian mamanya dan ketika pintunya ditutup pelan.

Ia memejamkan matanya menarik selimutnya hingga ke kepalanya. Terbayanglah wajah Taraz yang tersenyum manis.

Lessa meneteskan air matanya di pejaman matanya. Pikirannya tidak bisa tenang sebelum mendapat kabar dari Taraz.

Ia membuka matanya dan mengusap pipinya yang basah. Membebaskan dirinya dari selimut dan langsung berjalan menuju meja belajarmya dengan setengah tenaganya.

"Taraz, kamu di mana, sih?" lirih Lessa dengan suaranya yang gemetar.

Lessa membuka ponselnya dan mencoba menelepon Taraz kembali. Hasil yang ia dapat masih sama. Nihil. Tidak ada tanda-tanda panggilannya akan dijawab.

"Taraz," gumamnya dengan suaranya yang semakin gemetar.

Air matanya kembali turun. Nafasnya semakin memburu dan badannya bergetar.

"Kamu kemana, sih? Hilang enggak ada kabar gini. Aku khawatir," lirih Lessa yang menatap pesannya yang masih belum mendapat balasan.

"Aku kangen kamu, Taraz," Lessa menumpahkan kesedihannya sejadi-jadinya.

-×-

Dengan langkah yang pasti, lelaki itu melangkah masuk ke dalam sebuah sekolah yang tampak elegan.

"Wah, cakep banget."

"Murid baru kayaknya."

"Gue pengen jadi pacarnya."

"Ganteng pake banget."

Taraz menghampiri salah satu siswa yang berada di koridor sekolah. "Btw, ruang kepala sekolah dimana, ya?" tanyanya dengan sopan dan tersenyum manis.

Siswa itu terkejut, tak menyangka laki-laki setampan Taraz mengajaknya untuk mengobrol, walau sekedar menanyakan ruang kepala sekolah.

"Ehm ... Lo lurus terus belok kiri ada bacaan kepala sekolah," jelasnya.

Tinta Luka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang