Bagian 23.

442 82 33
                                    

Haru mengernyit gelisah dan beringsut masuk lebih dalam ke dekapan hangat seseorang yang melingkupinya. Dingin dari AC sedikit mengganggu tidurnya. Namun, hangat dari dekapan sang suami seolah menyelimutinya. Dia tak tahu kapan tertidur setelah sesi bercintanya bersama Hoseok. Semalam dia seolah melayang, terbang jauh ke bumantara dan ditempatkan pada hierariki tertinggi sebab Hoseok memperlakukannya dengan sangat baik.

Akhir-akhir ini, Hoseok dan dirinya kerap kali melakukan hubungan intim layaknya pasangan suami istri pada umumnya. Semenjak keinginannya akan seorang bayi dan mengandung seperti kebanyakan ibu diluar sana, Hoseok tak akan sungkan untuk berkata, "Sayang, maafkan aku karena tak bisa menjadi suami yang kau idamkan. Aku begitu payah dan malang. Mari menjadi orang tua yang lebih baik lagi untuk anak-anak kita nanti."

Haru juga teringat akan keinginan ayah dan ibunya untuk menimang cucu. Bahagia rasanya jika dia berhasil mewujudkan hal itu. Dirinya yang akan menjadi seorang ibu, orang tua, juga teman untuk buah hatinya. Pun mungkin nanti, ibu mertuanya akan luluh begitu melihat dirinya megandung bayi dari putra kebanggannya, Hoseok. Sudi mengakui dirinya sebagai menantu dan menerima kehadirannya sepenuh hati, walaupun m hal itu tak mudah dilakukan.

Hoseok bukannya tak berusaha. Watak sang ibu yang begitu keras berbanding terbalik dengan ayahnya yang cenderung lapang dan menerima. Ambisi akan ketenaran, nafsu duniawi, juga kedudukan yang tinggi akan kekuasaan yang tak pernah dia biarkan lolos sedikitpun dari genggamannya membuat Hoseok kesulitan. Sang ibu terlalu sulit diraih. Terlalu jauh untuk digapai sehingga tak jarang Hoseok merasa sungkan. Bahkan hanya untuk sekadar memohon, dia segan.

Hidup dengan kebohongan tak akan selamanya baik, dia jelas tahu hal ini. Dahulu, saat Hoseok mempertemukan Haru dengan keluarganya, hal pertama yang ditanyakan ibunya adalah, "Apa yang akan kau berikan pada putraku?"

"Cinta? Omong kosong. Tinggalkan putraku dan angkat kaki dari rumahku."

Bukan hal yang bagus untuk dikenang. Ayah mertuanya tak tahu hal ini. Bahwa saat itu, putri tercintanya diperlakukan dengan buruk. Haru menangis di pelukannya. Mepertanyakan eksistensinya perihal pantas atau tidaknya dia bersanding dengannya. Akan tetapi, keputusasaan itu dipatahkan oleh Hoseok. Dia tak gentar. Dia berdiri tegak menghadap sang ibu hanya untuk mengatakan, "Aku tahu kau mencintai putramu ini. Tapi aku juga mencintai wanita lain selain dirimu, Ibu. Izinkan aku mempersunting Haru, maka tak akan aku tinggalkan dirimu."

Hoseok sempat mengancam akan pergi. Tak akan menginjakan kakinya lagi di kediaman keluarganya. Dia muak, dia lelah. Sakit hati yang begitu pilu dia rasakan melebihi sayatan di urat nadi atau hantaman keras di ulu hati. Semuanya tak mudah, banyak kerikil, kelokan, dan juga terjangan yang sampai saat ini, Hoseok masih berusaha untuk menaklukannya.

"Sayang, kau terbangun?" Hoseok bergumam serak. Netranya menyipit melihat Haru yang terus bergerak di pelukannya. "Kau butuh sesuatu?"

Haru menggeleng samar. "Tidak apa-apa, Oppa. Maaf, aku membangunkanmu, ya?"

Hosekm mengulum senyum. "Bukan masalah. Katakan, apa yang kau butuhkan?"

Haru menggigit bibirnya ragu. Mendongak dengan bola matanya yang sayu. Memperlihatkan betapa polos tatapan itu juga betapa menggemaskannya raut muka yang saat ini diperlihatkan.

"Apa ... ada yang sakit, hm?" tanya Hoseok ragu. Jemarinya terulur untuk menyampirkan anak rambut yang menutupi sebagian dahinya. Pipinya ditangkup, diusapnya lembut menggunakan ibu jarinya.

"Tidak ada, tapi ... di bawah sana sangat lengket."

Hoseok mengerjap, sesaat dirinya terpaku pada pernyataan Haru barusan. "I-iya?"

Haru terpejam malu. Beringsut lebih dekat untuk menenggelamkan wajahnya sebab tak mau Hoseok melihat. Sungguh memalukan, rutuknya dalam hati. Namun, apa daya? Dia terbangun sebab rasa lengket dibagian sensitifnya sungguh terasa mengganggu.

"Sayang, apa maskudmu ... di bawah sana itu, persis seperti yang aku pikirkan?"

Haru mengangguk kaku, sedangkan Hoseok sama saja. Gugup. Ya Tuhan, dia seperti pria bodoh yang baru saja mengenal apa itu bersenggama.

"Kalau begitu, biarkan aku melakukan after care untukmu."

"Oppaㅡ"

"Tidak apa-apa, Sayang. Jangan malu. Biarkan aku membersihkannya. Ini ulahku juga, aku yang membuatmu tak nyaman. Jadi, kau hanya perlu berbaring dan biarkan aku yang bekerja."

Setelah mengatakan hal itu, Hoseok menjauhkan diri dari Haru yang merengut malu. Lucunya. Ini pertama kali Haru mengeluhkan hal ini. Kemudian Hoseok berpikir, apakah sebelumnya Haru seperti ini juga? Sungguh, Hoseok suami yang tak pengertian.

"Bodoh sekali aku," gerutu Haru tatkala Hoseok memasuki kamar mandi. Wajahnya disembunyikan di bawah selimut. Menggerakkan kakinya gelisah menunggu Hoseok kembali.

"Aku menggunakan air hangat. Apa kau tidur tanpa dalaman?"

"Ya?"

Pertanyaan itu lolos begitu saja. Membuat Haru berjengit kaget.

Hoseok terkekeh, "Kau tidur tanpa dalaman?" tanyanya sekali lagi.

Haru mengangguk pelan.

"Okay. Bisa kubuka selimutnya? Apa kau keberatan?"

Hoseok meletakan sebuah baskom berukuran sedang di atas nakas. Setelah mendapat izin dari Haru, dengan perlahan dia menyibak selimut yang menutupi sebagian badan Haru sampai kakinya. Begitu penghalang itu tak lagi ada, Hoseok mendapati kaki Haru merapat. Dalam diam dia tersenyum. Apa saat ini dia malu?

Saat ini pukul 5 subuh. Hoseok jadi ingat saat-saat dimana keduanya selesai melakukan hubungan intim, Haru pasti terbangun di jam-jam seperti ini. Jadi, inikah alasannya?

Dengan telaten Hoseok meminta Haru untuk sedikit membuka kakinya. Setelahnya, handuk basah yang sudah dia celupkan ke air hangat tadi dia gunakan untuk menyeka paha dalam Haru.

"Oppa, aku bisa melakukannya sendiri," ujar Haru, setengah berbisik.

"Tidak apa-apa. Pasti sulit untukmu, ya? Apa aku egois?"

Haru buru-buru menggeleng. "Tidak. Terima kasih."

"Sama-sama, Sayang. Seharusnya aku lakukan hal ini sebelum kau tidur. Apa kau lelah?"

Haru refleks melenguh ketika dirasakan jemari Hoseok membelai pahanya. Seketika tangannya meraih lengan Hoseok, ada gelenyar aneh yang dirasakan ketika tangan itu bersentuhan dengan kulitnya.

"Maaf, akan kuselesaikan dengan cepat."

Haru mengangguk patuh. Waktu berlalu sangat cepat. Dia telah kembali bersih dengan pakaian dalam juga kaos kebesaran milik Hoseok. Rasanya nyaman juga aman. Hoseok memperlakukannya dengan baik. Dia bahagia. Selama bersama suaminya, tak apa jika merasa sedih atau sakit, semuanya akan baik-baik saja.

"Oppa, nanti sebelum makan siang, aku akan menemui ibu lagi."

"Hm? Oh, oke. Silakan."

Hoseok telah kembali berbaring di sampingnya. Tidur menyamping dengan tangan yang ditekuk untuk menyangga kepalanya.

"Kalau kau akan ikut, bisa tidak kita pergi bersama?"

Hoseok mengerjap, ditatapnya Haru yang memelas padanya.

"Kalau itu yang kau mau, kalau begitu ayo, kita pergi bersama."

Haru tersenyum lebar. Dengan senang dia melingkarkan kedua tangannya di leher Hoseok. Mengucapkan terima kasih berkali-kali sebab nanti dia bisa tunjukkan kepada semua orang bahwa Hoseok adalah miliknya, suaminya, dan akan selamanya seperti itu.

***

To be continued ....

Hai, apa kabar?

Maaf aku lama gak bersua. Maaf juga karena aku tiba-tiba datang dengan cerita yang gak memuaskan😢
Kasih tau kalo ada typo, ya. Nanti aku perbaiki.
Ps: ini baru aja ditulis, tanpa edit. Semoga suka <3

Tickin' [Jung Hoseok]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang