Bagian 6.

602 141 15
                                    

Pulang dari rumah Jiyeon, Haru banyak merenung. Kegiatan memasaknya menjadi tidak fokus, salah mengira garam itu gula, tomat itu paprika dan berantakan saat memecahkan telur. Haru sampai harus berhenti sesaat karena jika diteruskan, ia khawatir akan mengacaukan dapur. Sudah hampir makan malam, tapi masakan itu tak kunjung jadi. Dirinya pun sampai lupa untuk mandi.

Jadi dia putuskan untuk memesan makanan dari restoran saja. Mungkin Hoseok tidak akan keberatan, tapi apa yang harus Haru katakan kalau dia bertanya? Tidak biasanya dia memesan makanan dari luar. Haru itu pandai memasak, akan sangat ketahuan jika itu bukan masakannya.

Apa alasan yang harus dia berikan?

Tetapi, harus bagaimana lagi? Haru benar-benar kacau. Pembicaraannya degan Jiyeon tadi siang seperti badai yang menghancurkan segalanya yang ada pada dirinya. Perihal bayi dan kekukuhan Hoseok untuk tak akan membiarkan Haru berkeliaran.

Di depan kompor yang di matikan apinya itu dia lihat kuah sup kimchi jigae yang sudah berhenti mendidih. Saat Haru merasakan bagaimana rasa kuah itu, dia menghembuskan napasnya lelah. Rasanya tak kauran, entah asin, pedas, atau manis, semuanya bercampur satu. Hoseok tak akan suka ini.

Lantas sambil mendesah lelah celemek itu dia lepaskan. Hendak pergi ke ruang tengah namun ia urungkan, berakhir dengan mondar-mandir di dapur. Dahinya sesekali di pijat pelan, kepala bagian belakangnya tiba-tiba berdenyut pusing dan Haru memukul pelan bagian itu ketika dirasa sakitnya semakin menjadi.

Apa sebenarnya? Kenapa begini? Haru tak ingin seperti ini. Apa yang harus dia lakukan?

Apa yang harus dia lakukan?

"Ugh, kepalaku pusing sekali, ya tuhan..."

Disaat seperti ini, dia teringat ibunya.

Haruskah dia menghubungi orang tuanya? Supaya Haru mendapatkan pengalihan lain. Supaya Haru sedikit lebih tenang.

Sejenak, Haru nampak berpikir. Lalu mengangguk kecil saat merasa itu ide yang bagus.

Kemudian kakinya dia seret ke ruang tengah. Ponselnya ada di sofa.

Saat layar ponselnya menyala, disana menampilkan potret Hoseok dan juga dirinya yang menjadi lockscreen. Dia sempat menatap itu lama, namun pikirannya kosong. Gambar itu di ambil saat mereka menikah. Hoseok yang tampan dengan tuxedo hitamnya, dan Haru yang cantik dengan gaun pengantinnya yang putih.

Sekelebat bayangan Jiyeon yang mengatakan dirinya harus segera hamil itu kembali terpikirkan. Sering kali Haru memikirkan itu, dan perkataan Jiyeon seakan menyadarkannya kembali. Namun, baik Hoseok maupun Haru, keduanya sama-sama tak pernah membahas ini. Hanya satu kali saja saat Hoseok membawanya ke apartemen yang sekarang menjadi tempatnya untuk tinggal.

"Apartemen ini luas sekali, akan menyenangkan jika ada dua atau tiga anak yang berlarian ke sana ke mari."

Itu yang di katakan Haru, dan baru tersadar kalau saat itu Hoseok tidak menjawabnya, hanya tersenyum lebar tanpa arti.

Mengingat itu, Haru tersenyum getir. Bertanya-tanya mengapa Hoseok mau menikahinya? Mengapa Hoseok menemui ayahnya saat itu, dan mengatakan ingin menjadikan Haru sebagai istrinya. Apa alasan Hoseok jika pernikahannya seperti ini?

Ponsel itu kembali dia simpan ke tempatnya semula. Ikat rambutnya dia lepas kemudian dia remat pelan kepalanya. Pusing itu semakin terasa beratnya di sana. Pundaknya juga, entah kenapa seperti ada beban yang menimpanya. Terasa kaku dan ototnya sangat pegal.

"Ada apa denganku?" gumamnya serak.

Dia urungkan niat untuk menghubungi ibunya. Haru takut jika ibunya mendengar suaranya yang gemetar. Ibunya itu pasti akan khawatir dan Haru tak punya alasan yang bagus untuk dia berikan sebagai jawaban. Tremornya juga tak kunjung hilang. Haru perlu menenangkan dirinya dulu untuk bisa bicara dengan normal.

Tickin' [Jung Hoseok]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang