Bagian 24.

360 83 15
                                    

Bangun dengan keadaan segar. Wajah berseri-seri. Rona semerah persik terlukis di tulang pipi. Aroma harum dari kopi pagi yang diseduh Haru untuk Hoseok menambah kesan autentik yang khas. Celemek yang menggantung rapi di lehernya menunjukkan bahwa dia tengah berkutat dengan peralatan dapur. Sup kuah kaldu yang mendidih, potongan sawi juga jamur yang siap dimasak untuk pengganjal perut yang kosong saat pagi. Haru mengerjakannya dengan senang hati.

Haru tak ingat kapan terakhir kali dia memasak dengan perasaan sebehagia ini. Oh, mungkin itu adalah saat-saat di mana dia menanti kedatangan Hoseok dari kantor, melihatnya begitu senang melahap habis masakanya, memuji dan menanyai apa saja kegiatannya saat dirinya tak ada. Terkadang, hal ini menyenangkan meskipun tak jarang berubah menyebalkan. Dia jadi rindu adik iparnya; Taehyung dan Jungkook yang selalu membuat suasana rumahnya ramai.

Taehyung, bagaimana keadaannya?

Jungkook, bagaimana kesehariannya?

"Aku mungkin akan sedikit terlambat," ujar Hoseok sembari menyesap cairan pekat di cangkirnya. "Tidak apa-apa, 'kan?"

"Tidak apa-apa, Oppa," sahut Haru sembari mengusap sisa kopi yang tertinggal di sudut bibir Hoseok.

"Banyak pegawai yang akan membantu juga tim yang akan mengatur semuanya. Kau jangan terlalu khawatir, Sayang. Karena aku yakin, Ibu tidak akan membuat pegawainya berleha-leha."

"Aku tahu," kekehnya. "Aku ingin menjadi salah satu dari mereka. Apa kata Ibu kalau aku tidak datang?"

Alasan lain adalah, dia iri. Iri kepada Sora yang bahkan tak perlu berusaha untuk dekat dengan sang ibu. Lantas, apa yang membuat ibu mertuanya itu tak suka padanya? Apakah karena dia tak bergelimang harta atau anak dari kalangan bawah? Ayahnya yang seorang pengajar pendidikan begitu dihormati di tempatnya tinggal. Lalu, Haru bukannya meminta imbalan atau balasan terhadap apa saja yang telah dia korbankan, dia hanya ingin sekali saja sang ibu mertua mau melihatnya dan mengakui keberadaannya. Jika tidak, mengulurkan tangan padanya dengan senyum hangat pun sudah cukup.

Haru tidak mau ada lagi kebohongan. Terlalu banyak hal yang disembunyikan. Mengingat kembali bagaimana pernikahannya dulu dengan Hoseok membuatnya meringis sedih, kapan ini berakhir?

"Jungkook mungkin akan ada di sana. Sekarang hari libur, temui dia," ujar Hoseok lagi.

"Bagaimana dengan Taehyung?"

Hoseok bergumam, "Aku tidak yakin, dia bisa saja sibuk di kampusnya."

Haru mengangguk setuju. Setelah selesai dengan kompor dan alat masak lainnya, Haru bergegas menuangkan satu hingga dua sendok sup ke dalam mangkuk kecil untuk kemudian diserahkan kepada Hoseok. Keduanya makan dengan khidmat, saling menyuapi satu sama lain sembari berbagi tawa. Sepanjang itu, Haru membatin dalam hati, andai ada bayi yang berceloteh di pagi hari; menginterupsi kegiatan mereka, pasti akan sangat menyenangkan.

***

Sesuai dengan apa yang direncakan, Haru tiba di tempatㅡdi mana seminar akan berlangsungㅡmenggunakan taksi tepat pada jam makan siang. Sebelumnya, dia telah mencoba menghubungi ibu mertuanya untuk menyantap makan siang bersama, tetapi teleponnya tak diangkat. Lantas, dengan wajah berseri-seri penuh antusias dan senyum merekah di bibirnya, Haru melenggang memasuki gedung. Tak di sangka, segala macam pekerjaan telah selesai; dekorasi, kursi, perasmanan, panggung dan juga pengeras suara beserta keperluan lainnya telah sempurna. Haru berdecak kagum melihat lampu kristal di atas sana, sangat menawan. Berapa banyak biaya yang dikeluarkan? Sungguh luar biasa.

"Noona!"

Seseorang berseru dari arah belakang, Jungkook berlari dengan gembira ke arahnya. Disambut dengan senyum kelewat lebar oleh Haru. Senang tak terbendung lagi tatkala adik iparnya itu memeluknya.

"Noona, aku rindu sekali denganmu," ujarnya.

Haru terkekeh, "Noona juga. Bagaimana kabarmu?"

"Kabarku baik. Bagaimana denganmu?"

"Tidak lebih baik setelah bertemu denganmu."

Pelukan itu terlepas. Jungkook memasang wajah terkejut dibuat-buat. "Wah, Noona pandai merayu, ya, sekarang? Lama tidak bertemu denganku, Noona sudah seperti Kak Taehyung kalau begini."

"Maksudnya?"

"Tukang gombal ke cewek-cewek."

Lalu keduanya tertawa bersama. Mentertawakan lelucon Jungkook tentang kakaknya.

"Apa Taehyung di sini juga?"

Jungkook mengangguk. "Iya. Sedang bersama Ibu di sana. Ayo."

Jungkook mengamit tangan Haru, mengajaknya bergabung bersama sang ibu dan juga Taehyung yang rupanya tidak hanya berdua. Di sana ada Sora yang tampak senang berbincang dengan ibu mertuanya. Sejenak dia terpikir tentang bagaimana rasanya jika dia bisa ada di posisi Sora? Tertawa tanpa beban. Bicara tanpa rasa takut. Menyapa dengan ramah. Merangkul, memeluk, dan mengucapkan Ibu yang dibalas dengan sorotnya yang lembut. Bukan tatapan sinis yang dia terima. Bukan pembicaraan ketus. Bukan pula cercaan demi cercaan yang tak terbendung lagi.

Sejenak, dia merasa dadanya sesak. Ingin berbalik dan melangkah pergi sebab tahu ibu mertuanya tak akan mau melihatnya. Dia teringat bekal makan siang yang dibuatnya susah payah, tetapi dengan hati penuh akibat rasa senang, masakan yang dimasak khusus olehnya untuk sang ibu mertua, yang kemungkin buruk akan dibuangnya. Haru baru terpikirkan sekarang. Dan dia mulai takut. Dia merasa begitu kecil dan tak pantas dibanding Sora yang membawa koki andal dari restoran ternama. Dia hanya Haru yang tak punya apa-apa. Hanya Haru yang tak bisa menunjukkan keunggulannya. Masakan ini hanya akan mempermalukannya.

Lantas, dia berhenti. Jungkook menoleh, bingung. Dahinya mengernyit. "Noona, kenapa berhenti?"

"Um ... itu, Ju-jungkook, Noona mau ke toilet sebentar, ya."

"Oh? Mau kuantar?"

Haru menolak. "Tidak apa-apa. Nanti Noona menyusul."

Namun, Jungkook tak yakin. Dia tampak ragu. "Noona baik-baik saja? Wajahmu pucat."

Haru gelagapan. "N-nona, baik-baik saja. Hanya perlu ke toilet ... sebentar. Ya?"

Meski enggan, akhirnya Jungkook mengangguk juga. "Oke. Baiklah. Aku ada di sana kalau Noona mencari."

Haru mengangguk cepat. Setelah diberi ruang untuk pergi, Haru berbalik arah. Berjalan dengan cepat, nyaris seperti berlari. Menoleh ke kanan dan ke kiiri mencari toilet terdekat. Pikiran-pikiran negatif mengisi penuh kepalanya. Tak membiarkan Haru berpikir dengan tenang. Begitu pintu toilet berada tepat di depannya, dia membukanya dengan sekali dorong. Masuk ke sana dengan terburu-buru. Sejemang Haru bersandar di balik pintu. Mengatur napasnya yang menderu.

Tas berisi masakannya jatuh ke lantai. Haru masuk ke dalam salah satu bilik saat merasakan dirinya makin pening. Lalu, terduduk di lantai dengan menghadap toilet, memuntahkan isi perutnya. Tak ada yang keluar selain liurnya yang bening. Namun, pening di kepalanya tak kunjung hilang. Memikirkan Sora membuat Haru kehilangan kendali.

Harus menutup matanya rapat. Napasnya tersengal. Perutnya bergejolak. Sakit. Dadanya sesak. Jantungnya berdebar. Mual. Keringat membanjiri keningnya. Kakinya lemas sehingga dia bersanda pada dinding di sebelahnya. Keadaannya kacau, berantakan. Penampilannya yang semula begitu tertata rapi, kini tidak keruan. Lalu, Haru menumpahkan isak tangis. Dia benci. Dia benci dirinya yang seperti ini. Tidak diinginkan siapa pun. Dia benci.

Haruskah dia mendapatkan semua ini? Untuk apa yang tidak dilakukannya. Haru hanya ingin kehidupan rumah tangannya beserta keluarga besarnya harmonis. Tak ada luka ataupun benci. Meskipun itu tidak mungkin, setidaknya Haru hanya berharap satu hal; ibu mertuanya melihat eksistensinya. Bahwa Haru ada di sana, berdiri di sampingnya dengan senyum yang hangat. Hanya itu. Haru tidak menginginkan apa pun. Bisakah?

***

To be continued ...

Note: kasih tau kalo ada typo, ya~

Tickin' [Jung Hoseok]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang