[ Hoseok-ie, selamat atas kehamilan istrimu. ]
[ Maaf aku belum bisa mengunjunginya. Tapi, bolehkah aku datang menjenguk? ]
[ Aku tunggu balasan darimu. ]
[ Dan jangan lupa habiskan makanan dariku. Aku memasaknya sendiri dengan susah payah tau! ]
[ Titip salamku untuk istrimu, ya. ]
Di ruang rawat istrinya, Hoseok termenung. Haru sudah terlelap, malam makin gelap, tetapi ia masih terjaga. Netranya tak lepas dari layar yang menyala, benda pipih itu menampilkan deretan pesan yang dia terima dari seseorang—seseorang yang sangat dia kenal siapa. Entah sudah berapa lama Hoseok berada di posisinya, duduk terpaku di samping ranjang Haru, dengan tangan yang tak pernah lepas dari genggamannya di tangan Haru.
Pikirannya kosong, sorotnya nanar, napasnya lambat. Baru saja dia hendak bersyukur bahwa sang ibu memang benar melakukannya, memasakan makanan untuk istrinya, tetapi harapan itu seketika lenyap. Sang ibu masih membatu dan hatinya seolah tak akan pernah tersentuh. Bahkan ketika dirinya akan memiliki cucu dari darah dagingnya sendiri, Ibu tetap tidak luluh dan keras pada dirinya—pada semua orang.
Sejemang, ia arahkan pandangan kepada Haru yang begitu damai, meski pucat, raut hangat itu begitu membuat hati tenang. Lantas, Hoseok mendekat, pelan-pelan ia memberikan ciumannya di dahi, kedua mata, pipi, lalu turun ke bibirnya yang ranum. Perlakuan itu begitu lembut dan penuh kasih sayang seolah tak mau Haru terbangun. Bersamaan dengan itu, Hoseok pun melepas genggamannya, lalu beranjak dari tempatnya duduk untuk berjalan ke arah meja di mana di sana terdapat kotak makan yang beberapa waktu lalu isinya telah dimakan separuh, oleh sang istri.
Hoseok masih ingat betul bagaimana raut senang yang begitu kentara, tatkala kabar mengenai sang ibu yang mengirim makanan tersebut hingga nyaris membuatnya menangis kini membuat Hoseok terluka. Sora berbohong entah untuk alasan apa, yang pasti ... tindakan itu membuat Hoseok marah. Dia merasa telah diremehkan, dihina, dan dipermalukan. Haru tak seharusnya mendapatkan perlakuan seperti ini. Fakta bahwa kedatangan Sora kembali hanya akan membuat bencana.
Oleh karena itu, dengan emosi yang tertahan, Hoseok kembali menata kotak makan itu menjadi tumpukkan yang satu. Lalu, dia memasukannya ke dalam tas jinjing. Dia akan mengembalikan apa yang seharusnya tak ada di sini. Namun, sebelum dia pergi, Hoseok sempat menoleh untuk memastikan Haru tidak terusik, lalu setelah dirasa baik-baik saja, Hoseok membuka pintu ruang rawat dan berlalu pergi.
Dalam tidurnya yang semula damai, Haru mengernyit, dia merasa tangannya telah kosong, tak lagi rasakan kehadiran sang suami di sampingnya, genggaman itu hilang. Tak ada lagi hangat yang menjalari telapak tangannya—dan dia tidur dalam kegelisahan.
***
Hoseok tidak tahu apakah tindakannya ini benar atau tidak, yang dia tahu adalah dia mengendarai mobilnya dengan cepat, tujuannya hanya ada pada satu orang. Hoseok harus kembali memastikan, menyelesaikannya dengan cepat sebab dia tak mau semuanya makin runyam. Dalam waktu dekat, mertuanya (yang mana orang tua Haru) akan datang ke Seoul, jika mereka melihat situasi keluarganya saat ini—dengan banyak orang asing dan segala tindak-tanduknya—Hoseok tak tahu apakah dia masih punya keberanian untuk tunjukkan muka di hadapan mereka. Dia terlalu malu dan takut.
Gedung apartemen yang berada di pusat kota itu telah dia jejaki, mobilnya berhenti parkiran basemant dan Hoseok keluar dari sana dengan tas jinjing di tangannya. Rahangnya mengeras saat dia mulai mengambil langkah. Dia tahu langkahnya akan membawanya ke mana. Langkah yang begitu tegas, tak ada keraguan, tekadnya bulat. Meski raut mukanya menegang, Hoseok telah putuskan—untuk mengakhiri sumber kekacauan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tickin' [Jung Hoseok]
FanfictionWaktu terus berdetak. Waktu terus berlalu. Awan tersebar di langit. Menuju lampu lalu lintas yang rusak. Marriage Life. Jung Hoseok Fanfiction. 20/12/2019.