Bagian 26.

327 78 25
                                    

Haru mengerjap-ngerjap. Mengernyit dahinya saat kelopak matanya berusaha terbuka. Perih. Pening. Kerongkongannya juga kering. Sakit. Tidak bisa bersuara, meski dia mencoba. Samar-samar dia dengar suara yang bersahutan. Suara yang begitu familier bersama suara yang sesaat yang lalu pernah dia dengar. Tangannya ingin coba menggapai, apa saja yang bisa diraihnya, tetapi untuk menggerakan jari saja sulit. Setelah lebih sadar, Haru merasakan tubuhnya berbaring. Perih yang menyengat dari pergelangan tangan yang ditanami jarum infus makin membuatnya tak berdaya. Haru ingin melenguh, memanggil Hoseok, tetapi yang keluar hanya rintihan.

Beruntung, suara rintihan Haru dapat didengar oleh penghuni lain di ruangan itu. Gegas pekikan panik terdengar. Sentuhan lembut di tangan dia rasakan. Akhirnya, helaan napas lega Haru panjatkan, dia tidak sendiri atau berhalusinasi. Suaminya ada di sana, bersamanya.

"Haru? Sayang? Kau bisa mendengarku?"

Sejemang kemudian, kelopak matanya terbuka sepenuhnya. Dari balik helai bulu matanya, dia dapat melihat raut muka Hoseok yang cemas, tetapi menunjukkan kelegaan. Juga seraut muka pria paruh baya yang tersenyum senang padanya. Haru membuka mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar.

"Tidak apa-apa, Sayang. Jangan bicara dulu."

"Hoseok, beri dia minum, Nak."

"Iya, Ayah."

Dua orang itu sedikit kerepotan karena dilanda panik da cemas. Hoseok gegas meraih segelas air di nakas, menyendok cairan bening di dalamnya untuk kemudian dia arahkan ke depan mulut Haru. Secara naluriah, Haru menyesap air itu. Merasakan dingin melintasi tubuhnya. Dia berdeham kecil, merasa lebih baik dari sebelumnya.

"Oppa ...."

Hoseok tersenyum semringah mendengarnya. Dia menatap Haru dengan sorotnya yang berkaca-kaca. Ingin mendekap, tetapi tak bisa. Takut malah menyakiti cintanya yang terbaring lemah. Takut menyakiti sosok lain dalam raganya. Perasaan bahagia, terharu, juga antusias bercampur aduk tatkala sang dokter yang menangani Haru mengatakan bahwa sang istri tengah mengandung.

Benar.

Haru hamil.

Dua minggu.

Adakah yang paling membahagiakan daripada ini?

Tidak ada.

Hari ini, Hoseok adalah orang yang paling bahagia di dunia. Bersama Haru, bersama ayahnya yang menemani.

"Iya, Sayang, iya. Aku di sini. Tidak apa-apa. Hum?"

Haru mengangguk pelan. Seulas senyum tipis dia berikan. Lalu, pandangannya beralih pada sang ayah mertua yang duduk di samping ranjangnya. Menatapnya hangat layaknya seorang ayah pada anaknya.

"Ayah," ucap Haru dengan suaranya yang serak. "Ayah di sini."

"Iya, Nak, Ayah di sini. Bersamamu."

Kemudian, Haru merasakan jemarinya digenggam tangan berkeriput miliknya. Hangat menjalar dari sana hingga ke hatinya. Meskipun Haru masih belum tahu apa yang terjadi, dia begitu senang melihat ayah mertuanya ada di sini, bersamanya.

"Sayang."

Haru menoleh ketika Hoseok memanggilnya. Kepalanya diusap lembut, turun ke pipi dan menangkupnya.

"Merasa lebih baik?"

Haru mengangguk.

"Syukurlah."

Hoseok menelan salivanya gugup. Entah dari mana dia harus katakan ini semua. Terlalu banyak yang ingin dia ucapkan.

"Sayang, Dokter bilang, kau terkena dehidrasi." Hoseok mulai menjelaskan. "Kau harus dirawat setidaknya dua hari." Hoseok mengatakannya dengan teramat lembut. "Jadi, lekas pulih dan jangan sakit lagi. Ya? Karena ada jiwa lain yang harus kau jaga kehadirannya."

Tickin' [Jung Hoseok]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang