Bagian 25.

328 76 12
                                    

Kakinya tertatih, tangannya yang lemas mencari pegangan, gemetar. Di depan cermin, dia lihat bayangannya yang begitu menyedihkan. Wajah pucat, sisa-sisa cairan yang tertinggal di mulutnya membasahi dagu. Haru menarik napas berusaha menenangkan diri. Lalu, dia memutar keran dan membasuh wajahnya. Mual itu baru bisa hilang setelah dia kembali tenang, seolah mendapat kesadarannya kembali. Meskipun bayang-bayang Sora dan ibu mertuanya menghantui, dia tidak ingin menampakan ketidakberdayaannya di depan mereka.

Satu kali, dua kali, air yang mengucur itu membasahi wajah dan sebagian rambutnya. Titik-titik air menetes. Haru menatap pantulan dirinya di cermin. Bibirnya bergetar menahan tangis. Matanya memanas sebab sesuatu seperti mendesak keluar dari sana. Dia menahannya, tak mau menangis lagi dan terlihat berantakan. Penampilannya tidak bisa dikatakan lebih baik. Beruntung tak ada siapa pun di toilet itu. Hanya Haru seorang.

Haru baru bisa bernapas lagi dan membenahi diri ketika pintu diketuk dari luar. Lantas dia menoleh, menunggu ketukan di pintu berhenti.

"Ada orang di dalam? Kenapa pintunya dikunci?"

Haru tidak menjawab. Ketukan kembali terdengar. Dia belum siapa bertemu orang lain saat dirinya masih belum selesai berbenah. Setidaknya dia harus memoles wajahnya yang pucat agar tidak ada yang berpikir buruk padanya.

"Halo? Bisa buka pintunya?"

Haru berdeham, menarik napas panjang. Rambutnya disisir jari, lipstik berwarna coral telah mewarnai bibirnya. Juga polesan bedak tipis membantu penampilannya menjadi lebih segar.

Kembali dia menarik napas, siap untuk membuka pintu dan menghadapi siapa pun di luar sana.

"Halo?"

Haru menelan ludahnya gugup ketika ketukan di pintu dan seruan itu terdengar tak sabaran.

"Kenapa lama sekali? Kenapa kau mengunci pintunya?"

Adalah hal pertama yang Haru dengar begitu pintu terbuka. Seorang perempuan muda dengan tanda pengenal terkalung di lehernya menatapnya sinis. Haru menunduk dan meminta maaf tanpa memberikan alasan. Setelahnya, dia tak lagi menghiraukan perempuan tadi. Dia berjalan cepat meninggalkan toilet, menyusuri lorong yang terasa panjang tiada ujung. Begitu berbelok, dia mendapai Jungkook sedang menunggunya sambil bersandar di dinding.

"Noona? Kenapa lama sekali?"

Haru mengulum bibir. Sisi melankolisnya belum sepenuhnya menghilang, jadi dia kembali merasa sensitif saat Jungkook menatapnya cemas.

"Noona, kau sakit? Wajahmu pucat."

Jungkook memegang bahu Haru, kakak iparnya itu tak langsung menjawab. Malah memberikan seulas senyum yang menunjukkan bahawa dia baik-baik saja.

"Jangan khawatir. Noona baik-baik saja."

"Kau serius? Kalau kau sedang sakit aku bisa mengantarmu pulang, atau kau mau aku mengantarmu ke rumah sakit?"

"Tidak, tidak ...." Haru menggeleng, menolak tawaran Jungkook. "Lebih baik kau kembali, temui ibumu."

"Denganmu."

"Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Aku ... ada sesuatu yang harus aku lakukan."

Jungkook memicing, tak percaya. Haru tidak biasanya seperti ini. Jungkook mengenal Haru sebagai sosok yang ceria, hangat, dan begitu pengertian. Mendapati Haru dalam keadaan yang tidak baik membuat Jungkook bertanya-tanya, apa yang terjadi pada kaka iparnya itu?

"Kita bahkan belum makan siang. Aku sudah menyiapkan meja, Kak Taehyung pasti sudah menata makanannya. Masakanmu, Noona. Ayo, kita makan bersama."

Tickin' [Jung Hoseok]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang