Jeritan itu kembali terdengar.Kali ini diikuti oleh suara lain yang membuat suasana di luar sana terdengar lebih riuh. Suara sejumlah lelaki. Berseru panik nyaris bersamaan. Seseorang di antara mereka bahkan mengumpat lantang. Seolah ia baru saja diserang sesuatu. Aku menahan napas, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya dalam diam. Satu detik ... dua detik.
Tidak ada apa pun yang terjadi.
Aku melihat ke sekeliling kamar, mencoba menemukan jalan keluar lain, atau setidaknya tempat untuk bersembunyi dari sesuatu yang mungkin ... tidak. Aku tidak boleh seperti ini. Jika hal yang begitu berbahaya sedang berlangsung di luar sana, Aiden pasti segera kembali ke sini untuk menyelamatkanku. Lagi pula kamar ini jelas tempat yang aman–dinilai dari keberanian Aiden meninggalkanku sendirian di sini. Aku tak boleh merasa khawatir dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Yang perlu kulakukan hanyalah ...
Pintu kamarku berayun terbuka.
Sesosok cowok asing–dalam balutan pakaian yang agak tidak biasa–melangkah masuk mendekati lemari di sisi pintu, membukanya secara kasar, lalu meraih sebuah kotak kelabu dengan kedua tangannya secara tergesa. Kentara sekali sedang terburu-buru. Ketika ia berbalik dan menatap diriku dengan matanya yang dalam, jeritan di luar sana melengking sekali lagi. Kemudian suara hantaman yang disertai pecahan kaca meredam segala kegaduhan tersebut.
Lantai di bawah kakiku terasa bergetar sesaat.
"Pegang ini," si cowok asing tahu-tahu mengulurkan kotak kelabu itu padaku, "kita harus segera turun ke bawah," jelasnya selagi menarik sesuatu yang berkilau dari balik jubahnya yang sepanjang lutut. Dua buah belati, bagian ujungnya sedikit melengkung menyerupai bulan sabit.
"Apa yang terjadi di bawah sana?" aku tak dapat mengalihkan tatapanku dari bilah yang tampaknya sepanjang lebih dari tiga puluh sentimeter itu.
"Cuma kesalahan teknis." Ia menjawab singkat, lalu melangkah keluar lebih dulu. "Ayo. Aiden lagi butuh isi kotak itu."
"Dia kenapa?!"
Melalui raut wajahnya, aku memahami cowok itu tak ingin aku memperlambat apa pun rencana yang telah tersusun di dalam kepalanya. Sialan. Semoga ini bukan sesuatu yang serius.
Begitu kami mulai menyusuri koridor, aku melihat sejumlah bercak lumpur tersebar di atas lantai. Setelah kuperhatikan beberapa saat, aku menyadari bahwa bercak-bercak itu membentuk jejak kaki. Berarti suara yang kudengar sebelumnya memang berasal dari derap langkah seseorang. Bulu tengkukku sontak meremang membayangkan siapa pun pemilik jejak langkah ini, kedatangannya kemari mungkin bukan sekedar untuk beristirahat.
"Ikat dia ke kursi!" suara Cayim terdengar memerintah dari ujung koridor lantai dasar. Kami pun bergegas berlari.
Aku tiba di ruang utama beberapa detik lebih lambat dari si cowok asing yang melesat bagai angin. Lantas termangu menyaksikan betapa berbedanya kondisi ruang utama dengan yang kulihat sebelumnya. Kursi dan meja tak lagi tersusun rapi. Beberapa di antaranya bahkan patah menjadi beberapa bagian. Chandelier di atas sana juga sudah lenyap. Butiran kristalnya berserakan di atas lantai seperti permata tak berarti. Tak jauh dari dinding yang sedikit remuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WATCHERS
Fantasy(The Chosen sequel) Setelah berhasil melewati ritual terakhir yang nyaris mempertemukannya dengan kematian, Stela kini dihadapkan pada awal yang baru. Awal di mana ia mempelajari tentang sosok sejati dirinya, serta apa perannya dalam rencana pembala...