(The Chosen sequel)
Setelah berhasil melewati ritual terakhir yang nyaris mempertemukannya dengan kematian, Stela kini dihadapkan pada awal yang baru. Awal di mana ia mempelajari tentang sosok sejati dirinya, serta apa perannya dalam rencana pembala...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Meski masih sedikit terguncang oleh pengakuan Dee dan Hugo, aku berusaha menguatkan diri untuk tetap fokus pada tujuan kami di sini. Rasanya tentu tidak mudah. Seperti kau dipaksa menelan sekarung kentang mentah. Tapi apalagi yang bisa kulakukan selain memaksakan diri? Toh sudah seharusnya aku menerima semua kebenaran ini. Sekalipun aku tak memiliki waktu untuk mencernanya secara bertahap.
Saat Dee menuntun kami menuju ruang arsipnya, kulihat Hugo dan Aiden mengekor pria itu seperti sepasang pengawal di balik punggungnya. Aku menyadari kedua cowok itu berusaha menjauhiku setelah percakapan di ruang membaca tadi. Mereka bahkan menghindari tatapanku tanpa ragu. Aku tak yakin apakah mereka merasa bersalah telah merahasiakan hal ini dariku. Yang pasti aku tak dapat menyalahkan keduanya.
Semua ini memang terlalu rumit untuk dibahas tanpa pembuktian. Ditambah ada banyak hal yang belum kuketahui tentang masa laluku. Kehadiran Dee sebagai saksi bahkan tidak membuatnya mudah. Namun beberapa hal kini menjadi jelas bagiku: baik Hugo maupun Aiden tidak sedang memanfaatkanku. Dan aku tak tahu harus mensyukuri itu atau tidak.
Setibanya di depan sebuah pintu yang terbuka lebar, aku nyaris tidak memercayai apa yang sedang kulihat. Ribuan gulungan perkamen tersusun rapi di dalam rak-rak yang menjulang setinggi angkasa. Jumlahnya tak terhingga. Aku bahkan tak dapat melihat di mana ujung rak itu berada. Seolah ruangan ini hanya beratapkan langit. Aku tak bisa menahan diri untuk tak berdecak kagum. Tempat tinggal Dee jelas bukan jenis hunian biasa. Dan setelah memerhatikan beberapa saat, kusadari di setiap baris rak itu terdapat ukiran-ukiran huruf yang tak kukenali.
"Itu nama-nama malaikat," Dahlia berbisik di sebelahku, "Ekiel, Zaphkiel, Tzadiqel." Ia menjelaskan selagi menunjuk satu persatu ukiran yang kami lalui.
"Gue belum pernah dengar nama-nama itu."
"Mereka bukan dari kalangan famous, cuma pekerja tugas sampingan kayak gue." Raut Dahlia mendadak berubah datar dan kelam. "Gue masih gak nyangka mereka bisa menyembunyikan rencana lo–dari lo sendiri, selama ini."
Setelah percakapan di ruang membaca tadi, Dahlia mengaku padaku bahwa ia, Hiro, Oza, dan Ronen juga baru mengetahui soal rencana Zanael begitu kami tiba di sini, sewaktu diriku masih pingsan. Aiden berkata padanya ia dilarang membicarakan hal itu tanpa kehadiran Dee. Dan tentu saja, di waktu yang benar-benar tepat. Dibanding diriku, Dahlia masih merasa terkhianati hingga sekarang.
"Tapi setidaknya sekarang kita tahu Osric gak kabur dari masalah ini."
Aku mengernyitkan dahiku. "Selama ini lo nganggap dia kabur?"
Dahlia mengangguk dan terkekeh. "Habis dia gak jelas ngilang ke mana."
Mau tak mau aku tersenyum muram. "Mungkin sama kayak rencana ini, dia butuh waktu yang tepat sebelum ngasih tahu kebenarannya ke kita."
"Gue rasa begitu." Dahlia merangkul bahuku, mengangguk setuju. "Kita para gadis harus terbiasa dengan kejutan model begini."
Aku mengaminkan ucapannya meski tak begitu yakin. Di depan sana, Dee membawa kami mendekati sebuah tangga di tengah-tengah ruang arsipnya. Tangga itu cukup lebar, mengarah ke bawah. Tak ada cahaya yang terpantul pada dinding gelapnya. Aku tak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di ujung sana. Dee berhenti selangkah dari anak tangga pertama sebelum berbalik dan berbicara pada kami.