4 | DYADIB

170 39 21
                                    

Aku tak dapat menahan air mataku setelah para Tetua meninggalkan ruangan lebih dulu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tak dapat menahan air mataku setelah para Tetua meninggalkan ruangan lebih dulu. Ultimatum yang barusan mereka berikan bahkan membuatku tak sanggup berdiri lagi. Jadi sambil bersimpuh di atas lantai, aku mulai terisak pelan.

"Kalian boleh pergi." Aiden berkata pada kedua pengikutnya. Suara langkah kaki mereka terdengar semakin menjauh saat cowok itu memutuskan duduk di sampingku. Membiarkanku menangisi semua ini entah untuk berapa lama.

Aku dapat merasakan harapan yang sebelumnya ia bangun di benakku mulai runtuh. Satu-satunya tempat di mana kupikir aku sanggup bertahan dan merasa aman, ternyata hanya ilusi yang menyakitkan.

"Maaf."

Aku memaksakan senyum meski terasa begitu getir. Dalam hati bertanya-tanya apakah Aiden mengatakan kata itu dengan penuh penyesalan atau tidak.

"Maaf lo udah gak berguna."

Aiden segera menundukkan pandangan begitu mata kami bertemu. Seakan ada arus listrik tak kasat mata yang baru saja menyengatnya. Sebelah tangan cowok itu terkepal erat. Seolah sedang memaksa dirinya untuk kembali menatapku.

"Lo boleh marah sama gue, benci, atau pukul gue untuk luapin kekecewaan lo atas kebohongan yang gue ciptakan. Gue tahu gue udah egois demi menjalankan rencana ini. Tapi gue tetap merasa semua itu gak salah."

Tangan kananku refleks menampar wajah Aiden.

"Seharusnya lo biarin gue mati! Biarin mereka bunuh gue sejak awal karena itu lebih baik daripada gue hidup sengsara kayak gini!" Aku tak dapat menahan diri lagi. Semua kebenaran itu terlalu menyesakkan hingga rasanya aku sulit bernapas. "Kenapa gue gak bisa menjalani hidup kayak orang lain? Punya orang tua, punya teman. Kenapa harus gue yang dipilih untuk terlibat dalam kesialan ini? Kenapa harus gue yang terpilih buat hancurin hidup orang lain?"

Aiden hanya menatapku dalam diam. Wajahnya yang tak berekspresi kini kembali mengabur di balik genangan air mataku. Air mata sialan.

"Gue cuma mau hidup normal, Aiden," ucapku dalam suara tercekat. Tak menyangka bahwa pernyataan itu begitu menyakitkan setelah diungkap. "Gue cuma mau balik ke saat di mana semua kegilaan ini gak nyata."

Dan aku pun menangis sejadi-jadinya. Sadar bahwa kehidupan lamaku sudah berakhir semenjak aku tersadar di dalam mimpi buruk ini. Masa laluku kini hanya sebuah cerita di bawah naungan ketidakpastian. Tak akan ada kesempatan untuk mengulang saat-saat itu kembali. Meski hanya sekedar mengenang di ingatan. Aku sudah terlanjur menyeberang ke sisi yang berbeda.

"Tidak ada surga maupun neraka bagi mereka yang terpilih." Aiden berkata dalam suara pelan, sesaat setelah tangisanku mulai mereda. "Setelah mati dengan cara paling hina, mereka hanya akan kehilangan arah di dalam kegelapan yang abadi. Dibiarkan tersesat dalam kebutaan tanpa akhir. Tanpa pengampunan. Hanya bernapaskan ketakutan." Ia mendesah ringan seraya mendongak menatap langit-langit ruang.

THE WATCHERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang