24 | BADAI EMOSI

33 4 1
                                    

Segalanya terlihat kering. Rerumputan yang telah mati bertumbangan, menyatu bersama tanah yang dipenuhi retakan. Tak ada pohon, tak ada bayangan. Hanya terik matahari yang terasa membakar dan menyesakkan.

Angin panas berembus membawa bau memualkan dari barisan bukit di hadapan kami. Tempat di mana Aiden dan yang lainnya tengah ditahan, begitulah yang dilihat Hugo melalui ingatan si pengirim monster. Namun ia tak dapat mengetahui dengan pasti di mana tepatnya lokasi mereka berada.

Hugo bilang Lacrima telah memengaruhi kemampuannya untuk merasakan kehadiran mereka. Jadi ia memutuskan untuk mengintai bukit itu sebelum mendekat ke sana. Berharap menemukan pergerakan sekecil apa pun dari komplotan Amaia.

Untungnya, ada banyak bebatuan besar di sekitar sini. Letaknya yang cukup berdekatan memudahkan kami untuk bersembunyi dari pandangan siapa pun. Yah, setidaknya itu yang kuharapkan. Bisa saja kan, salah satu komplotan itu juga sedang mengintai kami dari atas bukit. Seperti saat mereka mengintai kami di hutan yang sudah kami tinggalkan berjam-jam lalu.

Berjam-jam yang kami habiskan berjalan kaki. Ya ampun. Kalau saja Hugo tak menggunakan sihirnya untuk merilekskan otot-otot kakiku yang tak terbiasa berjalan jauh, kurasa aku akan tiba di area ini dengan merangkak. Meski itu juga terdengar mustahil. Panasnya suhu telah membuat tanah tempat kami berpijak terasa seperti bara api. Hawanya saja sanggup membuat kepalaku pusing.

Sambil terduduk di atas sepotong kayu lapuk, aku menarik kedua lutut dan meletakkan kepalaku di atasnya. Sensasi berputar seketika menyerbu bersama denging panjang yang mengganggu pendengaranku.

"Hei," Hugo memanggil dari sisiku, "kamu gak apa-apa?"

"Cuma pusing," erangku dengan mata terpejam, masih sambil menunduk. "Mungkin karena panas."

Cowok itu tak memberi respons apa pun. Hingga sesaat kemudian, kurasakan hawa sejuk menerpa pipiku. Hanya sekilas, namun terasa begitu menyenangkan. Mengangkat kepala, kulihat debu-debu kecokelatan berterbangan di sekeliling kami. Aku berpaling pada Hugo untuk menanyakan apa yang terjadi. Namun cowok itu sedang fokus memerhatikan sesuatu.

"Hugo?" panggilku seraya berdiri di sampingnya, sedikit limbung.

"Ada yang datang."

Aku bergegas menoleh ke arah yang diperhatikannya. Tepat di kaki bukit, dua pria berjubah cokelat muncul membawa bungkusan dari kain–seukuran ransel. Mereka berjalan menjauhi kami dengan langkah lebar-lebar. Jelas sedang tergesa.

"Mereka keluar dari dalam bukit," bisik Hugo selagi mengamati pergerakan kedua orang itu. "Ini kesempatan kita untuk menemukan letak markas mereka, kamu tunggu di sini dulu."

THE WATCHERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang