Jalur menuju puncak tebing ternyata tak lebih lebar dari jalan setapak. Jaraknya cukup singkat. Dengan medan bergelombang yang dihiasi bebatuan besar pada sejumlah titik. Hugo perlu menarikku beberapa kali demi melalui bebatuan itu. Dan jerih payahnya terbayarkan begitu kami menjumpai area terbuka di bawah bayang-bayang kelam awan. Segalanya terlihat sesuram pikiranku.“Hugo,” aku menahan tangannya saat ia hendak melangkah. Cowok itu berpaling dengan pandangan bertanya. “Bisa kita ngomong sebentar?”
“Kamu belum siap?” tebak Hugo dengan kedua alis terangkat.
“Bukan itu.” Aku mengeratkan genggamanku. Perutku mulai mengejang oleh gelisah. “Ini tentang peringatan Helda, dia udah menyebut soal melatih kekuatan dipertemuan terakhir kami.”
Hugo menatapku sejenak. Sepasang mata gelapnya tampak menganalisa apa yang sebenarnya ingin kuutarakan. Kebiasaan yang sanggup membuatku salah tingkah. Sesaat aku merasa menyesal telah mengatakannya. Takut ini malah membuat cowok itu merasa tak nyaman.
“Tadinya aku mau merahasiakan ini sendiri, tapi setelah Sabbathi muncul, kurasa kamu juga harus tahu.”
Raut wajah Hugo berubah dari setenang suasana di atas sini menjadi tak terbaca. Aku tak bisa menebak apakah ia marah atau kecewa karena aku baru memutuskan jujur sekarang. Dan itu membuat keyakinanku untuk meneruskan pengakuan ini mulai memudar.
Hugo menghela napas pelan, lantas memberiku isyarat bahwa ia siap mendengarkan. Jadi aku berdeham untuk menepis keresahanku.
“Waktu Helda bilang hukum batu Mirah gak berlaku saat para pemiliknya bertarung, dia juga mengingatkan kalau aku masih bisa melawan dengan kekuatan Astaroth. Katanya kekuatan itu cuma perlu dilatih. Entah Sabbathi ada kaitannya atau nggak, Helda percaya aku bisa mengendalikan kekuatan itu dengan bantuan kamu. Tapi kayaknya aku gak akan bisa.”
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
Kutatap Hugo dengan frustrasi. “Kamu sadar, kan, proses latihan ini pasti berdampak buruk buat kamu? Aku gak mungkin berhasil dalam satu atau dua kali coba. Mungkin dibutuhkan berpuluh-puluh kali, dan setiap sesi itu pasti menguras kekuatan kamu. Kita gak tahu sejauh mana kamu bisa bertahan dengan atau tanpa Lacrima. Dan itu yang sialnya Helda mau." Kutarik tanganku lepas dari genggamannya. "Dia mau kamu bantuin aku tanpa peduli itu bisa aja mencelakakan kamu.”
Kuharap Hugo mengerti mengapa aku tak mau mengungkapkan hal ini pada yang lain. Firasatku berkata tak ada yang akan keberatan dengan peringatan kedua Helda selain diriku.
"Karena itu kamu merahasiakan ini sendiri?" Hugo terdengar ragu. "Karena ... saya?"
Aku mengangguk. Cowok itu praktis mendengus. "Saya udah curiga kamu gak jujur waktu itu."
"Aku cuma gak mau nyusahin kamu." Aku meremas pinggiran jaketku. "Yang lain mungkin gak peduli sama nasib kamu, tapi aku peduli. Aku butuh kamu bukan untuk dimanfaatkan, Hugo, tapi untuk ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WATCHERS
Fantasy(The Chosen sequel) Setelah berhasil melewati ritual terakhir yang nyaris mempertemukannya dengan kematian, Stela kini dihadapkan pada awal yang baru. Awal di mana ia mempelajari tentang sosok sejati dirinya, serta apa perannya dalam rencana pembala...