23 | SERANGAN

39 7 1
                                    

Suara debum mengusik kesadaranku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara debum mengusik kesadaranku. Membuka mata, kulihat kepulan asap tipis melayang di udara yang terasa hangat. Api yang Hugo nyalakan telah padam–menyisakan setumpuk abu di antara potongan kayu-kayu hangus. Sementara cowok itu tidak terlihat di mana pun.

Suara debum kedua menyusul. Mirip sesuatu yang dihantamkan ke batu. Getarannya cukup kuat hingga terasa di bawah kakiku. Aku menegakkan punggung, mendadak merasa was-was komplotan itu berhasil menemukan kami. Namun tak ada keributan yang terdengar lagi. Suasana di sekitar sini kembali hening. Mungkinkah Hugo sedang menggiring mereka ke tempat lain? Dan suara mengerikan tadi berasal dari ....

Derap langkah kaki terdengar dari sisi kananku–dari balik tembok. Aku bergegas meraih batu Mirah, mengamankan benda itu di dalam dekapanku. Lantas menunggu dengan napas tertahan, sampai sosok Hugo tahu-tahu muncul dengan raut gusar. Cowok itu mendekati sisa-sisa api unggun untuk meraih pakaian berikut sepatuku dalam sekali raup.

"Kita harus pergi, sekarang," ucapnya selagi menyerahkan barang-barangku.

"Mereka menemukan kita?"

Hugo tak mau menjawab.

"Cepat pakai baju kamu," perintahnya lalu kembali memerhatikan arah di mana ia tadi datang. Kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya.

Aku bergegas membuka baju dengan gerakan sesopan mungkin, walau Hugo tidak memerhatikan. Cowok itu hanya melirikku sekilas saat aku menyerahkan bajunya, lalu ia kembali mengalihkan pandangan.

Aku mengenakan celana lebih dulu, kaus, baru kemudian jaket. Ketiganya masih terasa sedikit lembap, namun tidak begitu mengganggu saat dipakai. Ketika memasang sepatu, Hugo membantuku mengikat talinya dengan kecepatan yang mustahil kutiru. Baru setelah itu, ia mengenakan kembali kaus dan jaketnya. Pemikiran kami telah berbagi baju yang sama membuatku sedikit merona.

"Mereka gak berani nembus kabut," ungkap Hugo saat kami melangkah meninggalkan area reruntuhan. "Jadi mereka berusaha memancing kita keluar dengan mengirim dua makhluk itu ke sini."

Aku terkesiap begitu melihat apa yang dimaksud Hugo. Dua monster berkaki empat dengan taring dan cakar yang panjang, yang sudah tak berdaya di bawah reruntuhan batu. Mati. Bentuk tubuh mereka–yang sebesar mobil–sepintas mirip serigala, tapi kulit kelabu mereka tampak sekeras batu. Dengan duri yang tumbuh di sepanjang ekor hingga kepala, di mana wajah mengerikan mereka tampak terbelah. Cairan hitam menggenang di sekeliling tubuh kedua monster itu.

"Apa kita harus kabur lagi?" tanyaku khawatir.

Hugo menggeleng. "Pengirim monster itu ada di dekat sini, saya harus menemukan dia untuk bisa menemukan yang lain."

"Gimana caranya?"

"Kamu ingat apa yang saya lakukan ke Galiel waktu kita berada di Amtrum?"

Ingatanku spontan berkelebat kembali ke hari itu. "Meretas ingatan?"

THE WATCHERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang