(The Chosen sequel)
Setelah berhasil melewati ritual terakhir yang nyaris mempertemukannya dengan kematian, Stela kini dihadapkan pada awal yang baru. Awal di mana ia mempelajari tentang sosok sejati dirinya, serta apa perannya dalam rencana pembala...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku tak sempat melihat bagaimana reaksi Para Pengawas ketika Hugo muncul di hadapan kami. Sebab aku terlalu fokus untuk merampas belati dari tangan Hiro, lantas mengacungkannya ke arah Hugo. Kebencian membuatku bertindak di luar kendali.
"Ini pasti perangkap dia!" suaraku bergetar oleh emosi. "Dan lo sengaja buka segel Dyadib untuk merebut Astaroth kembali, iya, kan?!"
Hugo tak memberi respons apa pun. Namun tatapannya yang menyiratkan banyak hal tak sekalipun teralih dari diriku.
"Kalau lo memang mau lanjutin ritual terakhir itu," aku mengubah arah mata belati berujung lengkung tersebut ke dadaku. "Lebih baik gue mati sama iblis itu di sini."
"Stela!" Aiden menarik tanganku menjauh. Cowok itu juga menyeretku menjauhi Hugo. "Jangan lakuin hal bodoh."
Kusentakkan tanganku dari genggamannya yang kuat. "Gue gak akan biarin bajingan itu memperlakukan gue seperti apa yang udah dia lakukan terhadap orang tua gue." Aku kembali menatap Hugo dengan sinis. Cowok itu langsung membuang muka ke sisi lain.
"Aiden," salah seorang pengikut Aiden menepuk bahunya, "ini kesempatan kita," bisiknya sembari melirik ke arah celah yang terbuka penuh arti.
"Tunggu dulu."
Alih-alih menyetujui, Aiden justru berjalan mendekati Hugo tanpa keraguan setitik pun. Aku menahan napas, menunggu dengan waspada, menanti serangan mematikan meluncur entah dari siapa lebih dulu. Bayang-bayang kilatan cahaya yang berpendar dari tangan mereka menyerbu ingatanku. Para Pengawas lainnya turut memerhatikan dalam diam. Hiro bahkan terlihat cukup gugup untuk ukuran cowok pemberani.
Untuk sesaat, aku mengira Aiden akan menerjang Hugo hingga tubuh cowok itu menghantam dinding gua, lantas memberinya pukulan telak di wajah seperti yang terakhir ia lakukan waktu itu. Tapi Aiden tak melakukan apa pun selain berdiri berhadap-hadapan dengan bajingan yang telah merenggut nyawa kedua orang tuaku.
Kenapa dia tidak langsung menyerangnya?
"Lo yang ngirim peringatan tentang Neraca lewat Stela." Aiden menuduh tanpa basa-basi, matanya memicing curiga. "Dan peringatan itu ditujukan untuk gue, karena cuma kita yang bicara ibrani di tempat ini." Setiap kata yang Aiden ucapkan bernada kian menusuk.
"Apa lo udah ketemu rencana busuk yang baru?"
Hugo menggertakkan rahang, kedua matanya menatap Aiden dalam sorot yang tajam. Seolah menyampaikan peringatan akan bahaya yang ia sembunyikan jauh di dalam dirinya.
"Ini bukan tentang keuntungan pribadi." Hugo akhirnya menjawab dengan suara tenang.
Aiden mendengus kasar, nyaris terdengar menertawakan jawaban cowok itu. "Sejak kapan ini semua bukan tentang keuntungan lo, huh?"
Hugo membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, namun ia lebih dulu terbatuk. Kemudian, mendadak saja ia terlihat seperti kesulitan bernapas. Aku tak bisa menjernihkan pikiranku dari dugaan skenario jahat yang mungkin sedang Hugo rencanakan. Bisa saja kan, ia hanya berpura-pura. Supaya kami lengah, lalu ia bisa melancarkan serangannya sebelum siapa pun di antara kami sempat menyadarinya.