3 | LEGIUN

197 41 11
                                    

"Jangan ganggu dia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Jangan ganggu dia."

Aku berpaling ke sisi kanan. Pada Aiden yang mendekat sembari mengayunkan lengan-seperti sedang melemaskan otot. Secara keseluruhan, cowok itu terlihat baik-baik saja. Seakan terguling di dalam mobil barusan hanya sebuah permainan baginya. Kepanikan di dalam diriku perlahan mereda.

"Terima kasih kembali." Dahlia mencampakkan dahan pohon yang tadi ia gunakan untuk memukul Bian. "Jadi kenapa pahlawan kita bisa lengah?"

Aiden mengabaikan pertanyaannya dengan raut risih. "Lo gak apa-apa? Ada yang luka?" tanya cowok itu ketika ia berlutut di sampingku. Dinilai dari cara Aiden dan Dahlia berinteraksi, sepertinya gadis itu tidak bersungguh-sungguh saat menanyakan 'kata-kata terakhir' padaku.

"Cuma terkilir." Kemudian kurasakan sensasi pedih mulai membara di beberapa titik tangan dan kakiku. Kombinasi dari tersayat ranting dan pecahan kaca sewaktu tertarik tadi, barangkali. "Sama luka lecet, sisanya baik-baik aja." Aku melirik si gadis jangkung di belakang Aiden. "Makasih, ya."

"Udah tugas gue." Dahlia menaikkan bahu dan tersenyum sekilas. "Den, kita harus bawa Bian ke Legiun sebelum dia sadar dan mulai menggila lagi."

Aku mendengar suara gemeresik di sekeliling kami. Sesaat menunggu, sejumlah Para Pengawas muncul dari dalam keremangan. Hampir bersamaan. Jumlahnya tak sebanyak yang kulihat saat mereka berlari ke dalam hutan tadi. Ini mengerikan. Mungkinkah Bian mampu menghabisi Para Pengawas lainnya hanya dalam waktu sesingkat itu? Sekuat apa kira-kira iblis yang merasukinya?

"Biar kami yang bawa Bian." Si cowok asing yang tadi menerobos kamarku maju ke depan. "Lebih cepat lewat bayangan daripada ngikutin kalian pake kendaraan."

Lewat bayangan? Apa itu artinya mereka akan melakukan semacam teleportasi?

"Kalian bisa pergi sekarang dan pastikan dia gak bangun, gue nyusul di belakang." Aiden menyetujui sebelum berbalik dan mengulurkan kedua tangannya padaku. "Ayo, gue gendong."

"Eh?"

Tanpa mengatakan apa pun, Aiden langsung mengangkat tubuhku ke belakang punggungnya. Kemudian mengalungkan kedua lenganku di sekitar lehernya yang terasa hangat. "Pegang yang erat." Hanya itu yang Aiden ucapkan sebelum ia berlari dengan sangat cepat.

Aku mendaratkan dagu di sisi wajahnya dengan amat, sangat, canggung. Sama sekali tak menduga akan diperlakukan seperti ini. Tapi aku mengerti, Aiden melakukannya semata-mata tak ingin membuang waktu jika mereka membiarkanku berjalan sendiri.

Sesampainya di mobil yang sudah kembali ke posisi semula, aku menyadari bahwa pengikut Aiden kini hanya tersisa dua orang. Aku merasa menyesal tak mengetahui nama mereka bahkan hingga tarikan napas terakhir keempat Para Pengawas itu.

"Lo ngapain di sini?" Aiden menatap seseorang di belakang kami melalui kaca spion depan. Dahlia. Gadis itu sontak menyengir lebar.

"Berhubung anak buah lo tinggal dua, gue mau berkontribusi perihal tenaga keamanan."

THE WATCHERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang