(The Chosen sequel)
Setelah berhasil melewati ritual terakhir yang nyaris mempertemukannya dengan kematian, Stela kini dihadapkan pada awal yang baru. Awal di mana ia mempelajari tentang sosok sejati dirinya, serta apa perannya dalam rencana pembala...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hugo mengernyitkan dahi, yang menyadarkanku bahwa rambutnya tampak lebih panjang dari yang kuingat. Bagian depannya agak terjuntai menyentuh pipi, sedikit menutupi telinga pada bagian tepi.
"Saya cuma lupa ngasih ini ke dia."
"Namanya Hiro." Aku berlagak mengoreksi, setengah menganggap ia tak mengetahui nama adiknya sendiri. "Dan sebaiknya lo gak usah bawa semua kepalsuan ini lebih jauh lagi, gue muak ditipu terus."
Hugo menatapku dengan sorot tak terbaca. Seolah sekumpulan emosi sedang berlomba-lomba mencapai mata gelap itu, namun tak satu pun ada yang berhasil terungkap. Seperti terhalang oleh sesuatu yang membuatnya terasa begitu menyesatkan. Aku bertahan menatap wajahnya dengan menjaga kekesalanku.
Hugo akhirnya memutuskan kontak sembari mendesah pelan. "Saya rasa benda ini bisa sedikit menjelaskan." Ia menarik kalung yang tadinya tersembunyi di balik kaus hitam lengan panjang yang ia kenakan. Tak ada cahaya oranye redup yang memancar dari liontinnya–seperti yang terjadi di dalam gua tadi. Aku menunggu Hugo melanjutkan penjelasannya.
"Ini adalah kalung Haelel, wujud dari hukuman yang diberi Beelzebub untuk saya. Semacam penanda, juga sebagai alat hitung mundur sisa masa hidup yang saya miliki."
Jadi Hugo benar-benar dikutuk untuk mati?
Aku mengalihkan pandangan pada kalung di dadanya. Setelah kuperhatikan dari jarak dekat, kusadari bentuk liontin kalung itu menyerupai tabung jam pasir antik. Seperti berasal dari jaman kuno dan terlihat sangat tua. Ukurannya nyaris menyamai panjang jari kelingkingku. Berisi cairan mirip lava yang menggelegak, menetes secara perlahan ke bagian bawah–yang masih dipenuhi kekosongan–layaknya kerja jam pasir.
"Semakin sering saya menggunakan kekuatan, semakin cepat pula cairan lava ini akan berkurang, yang artinya saya cuma mempersingkat kehidupan saya sendiri." Hugo menambahkan setelah aku selesai memandangi kalung ajaib itu. "Benda ini hanya bisa dilepas kalo saya udah gak bernyawa, kamu bisa tanya Aiden kalo masih menganggap ini cuma tipuan, dia tahu banyak," imbuhnya lagi dengan sedikit nada jengkel ketika menyebut nama Aiden.
Sebagian dari diriku memang berharap itu hanya tipuan. Tapi untuk apa aku peduli? Hugo sudah menerima karmanya sendiri. Dan ia sangat pantas mendapatkannya. Harusnya fakta ini sanggup membuatku merasa lega karena aku tak perlu lagi bersusah payah membalaskan kematian orang tuaku. Aku berbalik dan menyandarkan pinggang pada wastafel. Mencoba menjauhi Hugo.
"Jadi apa hubungan kalung lo sama pencarian benda-benda surga itu?"
Hugo memutar tubuh sehingga kami berdiri berhadap-hadapan. "Satu-satunya kekuatan yang bisa menunda kematian saya hanya didapat dari benda Zhmersine. Berhubung saya udah didepak dari sisi Lucifer, mendapatkan benda langka itu mustahil tanpa bantuan ... kalian."
Aku memicingkan mata curiga. Kenapa harus benda yang sama dengan yang digunakan untuk mengundang empat iblis itu? Pasti ada konspirasi di balik perburuan ini.