P R O L O G

416 59 10
                                        

Lelaki itu mematung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Lelaki itu mematung.

Tepat di tepian puncak gedung setinggi sembilan lantai yang pembangunannya telah lama dihentikan, ia menghirup udara kering bercampur bau asap. Sedangkan pandangannya dilempar sejauh kaki cakrawala. Menilik guratan awan kelabu yang menyatu bersama siluet garis batas kota. Sebuah garis semu tak berujung. Sama seperti keresahan tiada akhir yang telah menghantui dirinya selama enam belas tahun belakang.

Enam belas tahun yang terbuang sia-sia.

Lelaki itu mendesah. Pikirannya yang sesaat lalu berkelana tak tentu arah kembali dihampiri oleh bayangan sang gadis. Hanya bayangan. Sebelum akhirnya ia tersadar bahwa fisik sang gadis kini berada semakin jauh darinya. Kalau saja Tuannya berniat mengadakan sebuah ajang penghargaan bagi mereka, bisa dipastikan lelaki itu akan menerima salah satunya: abdi terpayah abad ini.

Ia pun mendengus kasar. Mengandaikan sang Wadah tidak menghilang. Mengharap segalanya terjadi sesuai yang sudah direncanakan, sehingga saat ini, ia tak perlu lagi repot mengurusi hal-hal di luar batas aman mereka. Sekarang, ia dan murka Tuannya hanya berjarak waktu. Jika kali ini dia gagal, lagi, maka pengampunan hanyalah mitos baginya.

Di balik langit sehitam opal, lelaki itu bisa melihat bara kesengsaraan sedang menyapanya dari celah pintu neraka.

Tuannya sedang menyeringai.

Angin yang tadinya sepoi mendadak ribut. Ranting dan dedaunan terangkat ke pusaran udara. Lalu lenyap. Menyisakan aroma dari sesuatu yang terbakar.

"Jangan bilang Anda sedang meminta bantuan Tuhan."

Sebuah suara menyahut dari kegelapan. Nadanya jelas sekali mengejek. Lelaki itu dapat merasakan senyum menyebalkan si pemilik suara tanpa perlu melihat wajahnya yang memuakkan. Sampai detik ini, ia masih tak menyangka dirinya akan membutuhkan bantuan dari salah satu orang kepercayaan Tuannya. Terutama yang paling ia benci. Sangat, sangat benci. Tetapi, lelaki itu memang tak pernah menyukai siapa pun.

Siapa pun kecuali sang gadis.

"Berhenti bicara omong-kosong." Lelaki itu memutar badan untuk menatap lawan bicaranya yang masih dilingkupi oleh kegelapan. Sisa-sisa suaranya masih melayang hampa. Sedikit menggetarkan waktu hingga terasa menyesatkan.

Hening sesaat, orang kepercayaan Tuannya pun menampakkan diri. Seolah-olah ia baru saja muncul dari dalam bayangan. Dengan mulut terkunci dan pandangan yang diturunkan ke dasar. Bagaimanapun, lelaki di hadapannya itu adalah seorang pemimpin yang disegani oleh seluruh persaudaraan. Dan ia masih memiliki kemampuan untuk memusnahkan dirinya hanya dalam satu sentuhan penuh siksa.

"Kau tahu, kan, aku tidak mau menerima berita nihil." Lelaki itu berkata dengan suara rendah.

Orang kepercayaan Tuannya tersenyum miring, menahan sensasi dingin menusuk pada bulu tengkuknya yang meremang. "Seharusnya kau tidak berburuk sangka begitu denganku, Pak Ketua."

Lagi pula, mana mungkin ia lupa pada pesan keramat dari sang pemimpin. Pun tanpa perlu diingatkan kembali, ia sudah pasti berhasil. Pasti. Ia harap lelaki itu tidak lupa mengapa dirinya bisa menduduki posisi kepercayaan Tuan mereka.

Sang pemimpin menatap lawan bicaranya tanpa ekspresi. "Di mana benda itu sekarang?"

"Mereka sudah siap." Orang kepercayaan itu menepuk-nepuk dadanya bangga. Merasa semua rencana ini dapat terlaksana berkat jerih payahnya sendiri. Senyum di wajah dinginnya mengembang ketika ia membayangkan apa yang sebentar lagi akan terjadi.

"Bagus. Aku tak ingin menunda-nunda lagi." Ia menegaskan, lebih kepada diri sendiri. Sudah cukup lama ia memendam hasrat terlarangnya demi sang gadis. Sekarang, tiba waktunya untuk pelampiasan.

Lelaki itu melangkah kembali ke titik awal kemunculannya–yang ditandai dengan bekas hangus di atas lantai. Lantas menghadap ke arah lahan terbuka di seberang gedung tempatnya berdiri. Menatap kekosongan di puncak pucuk-pucuk ilalang itu penuh khidmat.

"Ini tempat yang tepat," bisiknya, sekali lagi kepada diri sendiri. Lalu dalam satu kedip mata, ia sudah menjejak di atas tanah bekas hutan yang dirusak tersebut. Meninggalkan si orang kepercayaan bersama kepulan asap tipis di atap gedung.

Lelaki itu berhenti tepat di tengah-tengah lahan yang mendadak layu. Dan dengan ujung kakinya yang telanjang, ia menendang sebuah gundukan kecil tanah tak berumput. Tanah di hadapannya seketika membuka, membentuk satu lubang menganga yang dari dalamnya mengalir lava panas. Sebuah gunung berapi dadakan. Sesuatu turut berkobar di dalam mata lelaki itu–seperti terpanggil.

Ia bisa merasakan jiwanya mulai terbakar oleh api yang memancarkan kegelapan. Setiap kobarannya terbungkus dengan nyala kebencian. Kemudian, kedua tangan lelaki itu terangkat, membentang lebar. Kepalanya menengadah ke langit malam yang sudah lama menantikan pujiannya.

"Niisa! lapé zodiredo Adni das larinuji elasa!"

Seruan lelaki itu melumpuhkan angin yang berembus. Membisukan semua yang bersuara. Dan membangunkan sesuatu yang sudah lama terlelap ...

Perlahan, lava di depannya bergerak menyebar ke seluruh permukaan tanah dalam satu garis horizontal. Mereka membakar apa pun yang dilintas, seperti berlomba-lomba untuk mencapai suatu tujuan. Detik berikutnya, tanah di sekeliling lelaki itu mulai bergetar. Membentuk retakan demi retakan yang terus memencar bagai akar. Ia pun tersenyum penuh damba.

"Sudah waktunya bangun, anak-anak."

***

THE WATCHERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang