(The Chosen sequel)
Setelah berhasil melewati ritual terakhir yang nyaris mempertemukannya dengan kematian, Stela kini dihadapkan pada awal yang baru. Awal di mana ia mempelajari tentang sosok sejati dirinya, serta apa perannya dalam rencana pembala...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku merasa seperti terlahir kembali.
Seluruh kotoran yang melekat di tubuh dan pakaianku serta-merta meluruh begitu aku menceburkan diri ke danau. Bahkan lumpur pada sepatuku–yang kini mendapatkan kembali wujud aslinya–telah lenyap tak bersisa. Seolah danau ini memiliki kekuatan pembersih magis. Dan yang lebih mengesankan, pakaianku kembali bersih tanpa harus kukucek dengan keras. Sehingga aku tak perlu membuang waktu untuk berlama-lama berendam di sini. Apalagi suhu sudah semakin mendingin.
Dengan pakaian dalam yang masih lembap, aku langsung mengenakan kaus milik Hugo–yang ternyata sangat longgar di tubuhku. Aku tak yakin cowok itu menggunakan kekuatannya atau tidak, tapi kaus hitam ini terasa seperti baru. Bersih, bahkan beraroma harum. Seolah Hugo baru saja mengambilnya dari sebuah laundry. Panjang kaus ini–untungnya–masih sanggup menutupi bagian pahaku. Meski tidak seluruhnya sih. Aku berusaha keras untuk tak menghiraukan fakta itu. Sekarang bukan saatnya untuk merasa malu.
Hugo tadi berpesan ia akan menunggu di balik sebuah belokan di sisi kiri danau. Yang kelihatannya mengarah ke area lain. Hugo bilang di dekat sana ada reruntuhan yang tampaknya bekas sebuah bangunan tua. Jadi ke sanalah aku sekarang menuju. Berjalan dengan sepatu yang berdecit-decit akibat basah. Angin dingin yang berembus entah dari mana membuat tubuhku seketika menggigil.
"Hugo?" panggilku setibanya di belokan.
Hamparan reruntuhan seketika menyapa pandanganku, berikut Hugo yang tengah bersandar pada pilar separuh hancur–mirip model yang sedang melakukan sesi pemotretan. Aku merasa terganggu mendapati diriku bisa berpikiran begini.
"Kamu kedinginan?" tanyanya sembari menghampiriku. Tampaknya ia menyadari kulitku yang meremang karena embusan angin. Dan sebelum aku sempat menjawab pertanyaan itu, Hugo sudah melepas jaketnya–lagi, untuk diberikan kepadaku. "Saya udah nyalain api di sebelah sana."
Ia membawaku mendekati sisa-sisa reruntuhan yang masih bisa dianggap berdiri. Berupa bagian atap yang bertumpu pada puing-puing bekas dinding. Dikepung oleh tembok tinggi yang berlubang di sana-sini. Semuanya terbuat dari batu super tebal, yang aku yakini akan meremukkan kepalaku kalau saja mereka ambruk.
"Lo gak perlu melakukan ini," ungkapku sesampainya kami di hadapan api unggun. Hawa hangat terasa menari-nari di kulitku.
"Melakukan apa?" Hugo mengernyitkan dahinya. "Nyalain api?"
"Bukan, maksud gue lo gak perlu ..." aku meneguk ludah saat melirik tubuh Hugo yang tak tertutup baju, pada kulit putih mulusnya yang terpapar cahaya lembut api unggun. "Lo bisa pake jaket lo."
"Oh," Hugo lantas tersenyum begitu menyadari maksudku. "Saya bisa bertahan di suhu ekstrem, Stela, jadi kamu lebih butuh jaket itu. "
"O-oke." Aku mengangguk kikuk. Tak ingin memperdebatkan masalah jaket lebih jauh lagi.