Hantaman itu masih berlanjut. Kami berlari mengikuti Dee menuju jalan keluar yang terasa berkilo-kilo jauhnya. Untung saja eliksir Lacrima sudah memulihkan energiku. Selagi melewati lorong, Dee menjelaskan bahwa getaran waktu yang tadi terjadi telah memicu keretakan pada celah partikel ini. Sehingga kejahatan di luar sana dapat merasakan keberadaan batu Mirah–yang sudah keluar dari persembunyian. Entah kejahatan seperti apa yang pria itu maksud. Yang pasti sekarang mereka sedang berusaha mendapatkannya.
"Apa ada yang bisa kita lakukan untuk mencegah mereka menerobos partikel ini?" tanya Aiden pada Dee.
"Hanya ada satu cara," jawab pria itu sambil terengah, "kalian harus menjauhkan batu Mirah dari sini."
Kami sudah mencapai pintu depan. Aiden mendahului Dee untuk membukanya dengan kasar. "Ke mana?"
"Tentu saja kembali ke Tanah Nod!"
Dee menggapai tanganku saat kami memasuki sepetak taman tanpa bunga yang terlihat hijau dan bersih. Semak setinggi kira-kira dua meter memagari tepiannya. Menghalangi pandanganku dari apa pun yang ada di balik sana.
"Maaf, aku tak bisa membantu kalian lebih jauh lagi," Dee berkata tergesa dan muram, "kamu harus menerjemahkan isi gulungan itu sendiri, Stela, aku percaya kamu pasti bisa. Kamu hanya perlu meyakini kemampuanmu sendiri."
Aku mengangguk meski merasa tak siap. Dee sudah menjaga ketiga benda keramat ini dengan baik. Dengan perngorbanan yang takkan pernah bisa kubayar impas. Melihat ia terancam kehilangan seluruh perjuangannya–oleh sesuatu yang disebabkan diriku–tentu akan menambah daftar mimpi burukku.
Hantaman itu terdengar lagi. Kami semua mendongak menatap langit keemasan yang mulai bergetar–seakan bersiap untuk runtuh. Udara samar-samar dipenuhi suara geraman rendah.
"Cepat, Stela, periksa isi gulungan itu!" titah Dee. "Petunjuk memasuki Tanah Nod ada di dalam dirimu, kamu hanya perlu mengingatnya sebelum mereka berhasil kemari!"
Dengan tergopoh, aku menyentak tali kuno yang mengikat Gulungan Tanah Nod. Sama sekali tak mengerti apa yang harus kucari pada perkamen tua namun kokoh ini. Apalagi gulungannya cukup tebal. Rasanya meragukan aku bisa menemukan petunjuk memasuki daratan itu dalam hitungan singkat. Selagi yang lain mengelilingiku dan hantaman di angkasa sana semakin menguat setiap detiknya.
Saat hendak membuka seluruh gulungan, mataku menangkap sederet tulisan pendek di bagian paling depan. Bentuk hurufnya sama dengan yang terukir pada batu Mirah–yang lagi-lagi bisa kupahami begitu saja tanpa bersusah payah. Tapi isi tulisan di sini menyerupai kata-kata pembuka. Yang setelah kubaca, mendadak mengingatkanku pada mimpi terakhirku. Mimpi di mana aku menyaksikan perdebatan Fuchiel bersama sesosok berjubah gelap.
Melalui setetes darah mereka dikutuk, melalui setetes darah pula mereka dibebaskan.
Aku terhenyak. Isi tulisan itu adalah ucapan si sosok berjubah sebelum ia terbakar oleh api yang menyilaukan. Sebelum Fuchiel meninggalkannya sendiri untuk mengambil keputusan yang–ya Tuhan, kurasa aku baru mengerti. Mimpi itu adalah peristiwa yang telah lama kulupakan. Dan sosok yang terbakar itu sebenarnya masa lalu diriku. Sebelum aku memihak pada kegelapan dan beralih menjadi ... sebuah kenangan menghantam pikiranku bagai balok-balok pemahaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WATCHERS
Fantasy(The Chosen sequel) Setelah berhasil melewati ritual terakhir yang nyaris mempertemukannya dengan kematian, Stela kini dihadapkan pada awal yang baru. Awal di mana ia mempelajari tentang sosok sejati dirinya, serta apa perannya dalam rencana pembala...