03

5.7K 955 28
                                    

Hari sudah malam. Kini giliran sang bulan yang menyinari bumi dengan sinarnya yang teduh. Banyak bintang yang bertaburan diatas sana. Indah. Namun, tak seindah nasib ku malam ini. Semenjak tadi sore sepulang sekolah. Aku langsung mencari pekerjaan. Sunghoon juga belum menghubungi. Dia sedang mengadakan acara bersama keluarganya.

Aku tersenyum kecut. Sembari berjalan di trotoar dengan memasukkan kedua lengan ke dalam saku hoodie, aku mendongak, menatap langit yang indah. Setelah itu pandangan ku jatuh ke aspal.

Yahh, menyenangkan sekali memiliki keluarga yang lengkap dan harmonis. Menyenangkan sekali hidup dalam keluarga yang berada. Pastinya kalian tidak perlu susah-susah seperti ku kan? Ah, maaf telah menyamakan hidupku dengan kalian. Jelas aku sama sekali tidak seberuntung itu.

Omong-omong soal keluarga. Aku jadi ingat ibuku. Apa kabar dengan wanita tua itu? Ugh! Lagipula, untuk apa aku peduli. Aku mengendikan bahu. Mempercepat langkah kakiku. Sepertinya aku akan langsung pulang saja. Lelah juga mencari pekerjaan sedari tadi.

Sayup-sayup aku mendengar suara orang-orang riuh di depan. Tak jauh dari tempatku berada. Aku menyipitkan mata. Ada mobil polisi serta ambulan disana. Sepertinya ada kecelakaan. Karena penasaran, aku berjalan menerobos kerumunan. Sedikit terkejut saat aku melihat keadaan si korban.

Seorang remaja berseragam sekolah terkapar bersimbah darah disana. Dia pingsan. Dua orang petugas ambulan segera membawa remaja laki-laki tersebut. Aku mengikuti sampai dia dimasukkan ke dalam mobil ambulan.

Eh? Kenapa aku kepo sekali. Tapi, kenapa remaja tadi serasa tidak asing, ya? Aku mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjuk. Mencoba mengingat-ingat remaja tersebut.

Seketika mataku membola. Remaja itu bukankah dia yang mencegat ku kemarin malam di gang?! Benar sekali. Aku masih ingat dengan jelas wajah itu. Tapi, kenapa anak nakal ini bisa kecelakaan. Baiklah aku akan berhenti mengoceh tentang remaja yang sama sekali tidak penting itu.

"Nak?"

Aku berjengit kaget, repleks aku menoleh ke samping. Seorang petugas ambulan. Aku mengerutkan kening.

"Anda temannya korban kan? Mari ikut dengan saya," ucapnya kemudian mendorong pelan bahuku agar masuk ke dalam mobil ambulan.

"Tapi, aku_"

"Kami hanya butuh saksi," ucapan ku disela dengan cepat.

Petugas tadi langsung menutup pintu belakang ambulan. Mulai menjalankan mobil tersebut, suara sirine seketika menyala di sepanjang jalan.

Aku mendengus. Bisa-bisanya! Teman? Petugas itu bilang aku ini temannya? Mana ada! Aku sama sekali tidak berminat berteman dengan orang seperti dia.

Aku melipat kedua lengan di dada. Menatap laki-laki yang masih tak sadarkan diri ini. Aku meringis, meraba-raba wajahku sendiri. Sepertinya laki-laki ini mengalami kecelakaan yang cukup parah. Dahinya sobek, darah terus keluar dari sana.

Wajah putihnya kini ternodai dengan darah.

Sesampainya di rumah sakit. Laki-laki itu segera dibawa ke ruang UGD. Aku mengekor dengan malas. Kenapa aku jadi terbawa-bawa seperti ini sih?! Memanglah rasa penasaran terkadang membawa kita pada kesialan.

Aku duduk di kursi tunggu. Beberapa menit berada disana, tiba-tiba seorang pria dengan kemeja kantor yang acak-acakan berlari dengan raut wajah cemasnya. Dia berdiri di hadapan pintu UGD. Sepertinya, pria ini ayahnya laki-laki tadi.

Menyadari ada orang lain disini lantas pria itu menghampiri ku. Dia duduk di sebelah, menatapku dengan tatapan menuntut penjelasan.

Astaga! Apa aku benar-benar jadi saksi? Tapi, aku tidak tau apa-apa, eoh!

"Nak, bagaimana itu bisa terjadi?" tanyanya dengan bibir gemetar.

Mataku bergerak gelisah, secara refleks aku menggigiti bibir bawahku- kebiasaan ketika aku sedang panik.

"Aku tidak tau," sahutku menggeleng cepat.

Pria itu mengembuskan napas. Dia nampak lelah dan khawatir. Aku menatapnya, dapat ku lihat wajahnya yang memucat. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Memejamkan matanya, mengembuskan napas berkali-kali.

Sebersit rasa tidak tega muncul di benakku saat aku melihatnya.

"Apa bapak ini ayahnya korban?" Aku bertanya setelah diam cukup lama.

Dia mengangguk lesu. Menegakkan duduknya, menumpu dagu dengan kedua tangan.

"Aku ayah yang buruk. Jika saja tadi aku menjemput anakku, mungkin semua ini tidak akan terjadi," tuturnya nampak menyesal.

"Itu bukan salahmu, Pak. Anak mu sendiri yang nekat ikut balapan liar."

Omong-omong, aku tau itu karena tadi sempat menguping pembicaraan polisi dengan seorang dokter, bahwa remaja ini mengikuti balapan liar. Dia tidak sendiri, ada banyak namun saat salah satu dari mereka celaka, seketika gerombolan itu langsung pergi. Sangat tidak berprikesahabatan.

Pria itu menoleh dengan cepat padaku.

"Balapan liar?" tanyanya terheran-heran.

Aku mengangguk cepat sebagai jawaban. Pria itu terkekeh-meskipun nadanya terdengar lirih.

"Balapan liar? Dia anak yang polos dan tidak tau apa-apa. Mana mungkin dia senekat itu!" sergahnya merasa tidak terima dengan perkataan ku barusan.

Kerutan di dahi ku muncul begitu dalam. Polos? Bolehkah aku tertawa sekarang? Sebenarnya, pria ini memperhatikan anaknya atau tidak sih. Laki-laki seperti dia dibilang polos! Aku mendecih pelan.

Namun, benar. Laki-laki itu anak yang polos. Sangat polos.

-
-
-
TBC





Totally cute!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Totally cute!!

babysitter ; sunoo ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang