Suka
Vote + comment + follow
Happy reading!!"Sudah aku bilang aku tidak menyuruh Sunoo melakukan apapun, Pak tua tampan!"
Seokjin menyipitkan matanya, curiga. Lagi-lagi aku hanya menghela napas. Kami berada di kursi tunggu di depan ruang inap Sunoo. Kalian tau? Aku di dakwa! Seokjin menanyai perihal kalimat laknat yang Sunoo lontarkan tadi.
Aku sudah berbicara seadanya tapi Seokjin terus-menerus mendesak ku agar jujur. Payah!
"Baiklah kalau begitu aku tidak akan memperpanjang masalah ini. Lagipula aku bingung harus percaya pada siapa," tuturnya kemudian tersenyum.
Aku membelalakkan mata. Kedua tangan yang tadinya aku lipat di dada kini perlahan aku luruskan kembali. Aku berdeham.
"Maaf," ucapku tanpa menoleh pada Seokjin.
Pria itu terkekeh. Dia mengusap-usap pucuk kepala ku. Detik itu juga aku tertegun. Dengan kaku aku menoleh ke samping, menatap Seokjin dengan dahi berkerut.
"Tidak apa-apa, lagipula aku tidak percaya pada kalian berdua." Seokjin terkekeh.
Aku mengerjap polos. Seokjin tersenyum, tatapan matanya begitu teduh. Tangannya masih setia mengusap kepalaku dengan sayang. Apa seperti ini rasanya punya ayah? Apa jika ayahku masih ada dia akan bersikap seperti Seokjin?
Tanpa diminta, tanpa aba-aba, air mataku menetes begitu saja. Seokjin kaget, dia menatapku heran.
"Kenapa menangis?" tanyanya khawatir.
Aku tersentak, segera ku hapus jejak air mata tadi dengan kasar.
"Aku takut kau memotong gaji ku atau memutuskan kontrak pekerjaan ku, Pak tua. Kau tau? Aku butuh pekerjaan," jawabku berbohong.
"Tidak akan, malah aku berencana untuk memperpanjang kontrak kita. Sepertinya Sunoo akan sedikit nyaman jika diasuh oleh orang yang seumuran dengannya."
Aku melotot. Memperpanjang kontrak? Sepertinya aku harus pikirkan ini baik-baik. Ingin saja aku menerima perpanjangan kontrak ini. Oh, ayolah! Siapa yang akan menolak gaji sebesar itu. Dalam kurun empat hari saja aku sudah mendapatkan uang dua kali lipat dari pekerjaan ku yang dulu. Sepertinya jika aku memperpanjang kontrak ini aku akan cepat kaya. Hebat!
"Sebaiknya kau pulang, Kim Anna. Sudah hampir jam sembilan." Seokjin melirik arloji ditangannya sekilas.
Aku mengangguk. Seokjin pun pergi ke kamar inap Sunoo. Aku menghela napas. Padahal tadi aku sudah takut akan dipecat.
Aku mengembuskan napas panjang kemudian bergegas keluar dari rumah sakit. Sesampainya di luar rumah sakit, langkahku seketika terhenti tatkala seseorang yang jelas aku kenal berdiri di depan gerbang rumah sakit. Sepertinya dia sudah menyadari kedatangan ku dari tadi. Lihatlah! Tatapan yang menuntut penjelasan itu. Sepertinya aku akan di dakwa untuk kedua kalinya.
Aku menghela napas, entah sudah keberapa puluh kali aku melakukan hal konyol itu. Kakiku melangkah menuju gerbang, menghampiri Sunghoon.
"Kerja apa di rumah sakit?" tanya Sunghoon. Dia memasukkan kedua lengannya ke saku hoodie.
Aku gelagapan. Jawaban apa yang harus aku berikan? Apa lebih baik aku jujur saja?
"Bodoh!" Aku memukul lengannya. "Kau kira aku ini dokter? Tentu saja aku tidak bekerja disana!" lanjut ku menjawab pertanyaan Sunghoon.
Sunghoon diam. Dia tidak merespon apapun, hanya menatap ku dengan tatapan datar.
"Lalu, apa yang kau lakukan disana? Ini hampir jam sembilan jika kau lupa."
Aku diam. Entah jawaban apa yang harus aku katakan. Tapi, sejak kapan Sunghoon kepo seperti itu? Setahuku, selama kami berteman kami tidak pernah berjanji untuk selalu bertukar cerita atau mencampuri urusan kami masing-masing.
"Ayo, makan!" ajaknya setelah hening beberapa menit.
Aku tersenyum. Menarik lengan Sunghoon, menggandengnya kemudian berjalan beriringan. Oh, iya! Hari ini malam Minggu. Pasti menyenangkan jika kami bermain sampai larut. Tidak apalah. Besok kan libur.
"Sunghoon?"
Laki-laki itu bergumam, atensinya masih terfokus pada jalanan yang berlalu lalang kendaraan.
"Ayo kita main sampai larut!" seruku dengan semangat.
Sunghoon berhenti berjalan, dia menoleh ke arahku.
"Makan dulu!" jawabnya yang dihadiahi anggukan berlebihan olehku.
Kami pun memutuskan untuk makan di kedai terdekat. Duduk di kursi yang saling berhadapan, pelayan pun datang menghampiri kami untuk mencatat pesanan.
"Ah, iya. Omong-omong, kenapa kau ada dirumah sakit?" Aku bertanya.
Sunghoon tidak menyahut, dapat ku tangkap raut wajah kagetnya. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu? Alasan?
"Ah, itu." Sunghoon menjeda kalimatnya. Aku mencondongkan badan dengan mata menyipit. Sunghoon gelagapan. Tuh kan! Ada yang aneh!
"Aku tidak sengaja lewat, tadinya aku ingin pergi ke rumah Jay tapi aku malah melihatmu disana," jawabnya kembali tenang dengan raut wajah datar.
Aku menganggukkan kepala tanda mengiyakan. Akhirnya, makanan yang kami tunggu pun datang. Mataku berbinar melihatnya. Aku benar-benar lapar. Setelah pulang sekolah tadi, aku lupa makan karena terlalu sibuk mengurus bayi besar itu.
Oh, tidak! Seketika pikiranku langsung menampilkan wajah rubah menyebalkan itu! Senyum mengejeknya, rengekan pada ayahnya yang membuat ku ingin muntah, sikapnya yang dingin dan cuek. Sungguh! Aku ingin membunuh laki-laki itu sekarang juga! Apalagi perkataannya tadi yang memfitnah ku.
Trang!
"Ada apa?"
Aku menatap Sunghoon dengan alis terangkat. Sadar akan perbuatan ku barusan, seketika aku tersenyum canggung padanya. Aku menggeleng, dia pun hanya mengangguk.
Hufh! Saking kesalnya aku tidak sadar telah memukul piring makanan ku sendiri. Aku mengembuskan napas, menggeleng pelan. Lebih baik sekarang aku bersenang-senang, dan lupakan semua kejadian menyebalkan itu untuk sesaat.
Segera aku menyantap makanan ku dengan lahap.
-
-
-
TBCAnak aing cakep banget huwaa tidaaakkkkkkkkkkkk /nangis
KAMU SEDANG MEMBACA
babysitter ; sunoo ✓
FanfictionAku hanya menjalankan pekerjaan ku sebagai seorang babysitter. Tapi, anak yang aku asuh bukan sosok bayi kecil menggemaskan, melainkan bayi besar yang manja dan sedikit nakal. Well, aku cukup menyukai pekerjaan ini- atau mungkin manyukai orangnya. J...