0.03 ][ percakapan pada hari ini

9 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 03: percakapan pada hari ini

Haya tersenyum ramah dan berterima kasih saat pelanggan di tempat kerjanya baru saja membayar. Perempuan dengan rompi khas pekerja mini market itu menyumpal telinga dengan earphone saat tak ada satu pun yang membuka pintu kaca. Haya mengambil ponsel di saku dan kembali menulis.

Haya tak sepenuhnya berkonsentrasi, tak bisa sebab di sini bukan rumahnya. Lantas, dirinya hanya menulis apa yang ada dipikirannya sekarang. Mungkin, ia akan merevisi setelah bisa menyentuh tempat tidur di rumahnya.

"Jadi cuma itu aja yang harus dibeli, ya, Najla?"

"Ah, kenapa harus gue yang beli camilan, sih," ujarnya mengambil keranjang di dekat pintu dengan sebal sebelum menyusuri rak makanan serta perlengkapan mandi.

Haya merasa tak asing saat tak sengaja menatap mata dibalik kacamata itu. Haya terus memerhatikan orang dengan sepatu putih dan rok yang menutupi lutut sampai berhadapan dengannya di tempat pembayaran.

"Semuanya seratuh dua puluh tujuh ratus rupiah, Kak."

Haya memberikan keresek berlogo mini market seraya mengembalikan kembalian. Dia kembali memandang alas kaki yang dikenakan pembelinya saat ke luar. Ia memiringkan kepala guna mengingat sesuatu yang seperti dilupakannya.

Tak berguna, Haya tak mengingatnya.

Haya menggantungkan rompi di ruang khusus pegawai saat sifnya sudah selesai, diganti dengan Pak Oya yang usianya masih sekitar 35 tahun.

"Hati-hati pulangnya, Cahaya."

Cahaya, pendengaran Pak Oya agak terganggu saat pertama kali Haya memperkenalkan diri. Lagipula, ia tak keberatan. Nama aslinya bahkan memiliki arti yang demikian. Haya mengangguk dan melambai kecil sebelum ke luar.

Malam ini masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Langit Jakarta gelap dengan awan-awan di sekitarnya, satu-dua bintang tak terlihat oleh iris cokelat Haya kala kedua kakinya membawanya untuk pulang.

"Berhenti, oi."

Mendengar itu, Haya melakukan apa yang dikatakan. Kepalanya menoleh ragu-ragu ke belakang.

"Oh, preman di sekolah tadi, ya." Haya berbicara dalam pikirannya setelah melihat orang yang membawa sepedanya.

Tunggu, tunggu, apa memang benar itu sepedanya?

Ban depan dan belakangnya kempis disertai beberapa paku yang menancap di sana. Bagian badan sepeda terlihat berlumpur dan rantai putus layaknya kesan baik pada orang yang mengembalikan sepedanya dengan keadaan mengenaskan. Tak layak dikembalikan.

Heh, medan tempur macam apa yang dilalui orang ini?

"Gue nemu dipinggir sungai, terus ban depannya penyok. Udah gue benerin, tapi pas nyari lo malah penyok lagi, he he."

Apa orang ini punya kebiasaan menggaruk belakang kepalanya? Meski Haya baru melihatnya beberapa kali, mungkin dapat dipastikan kali ini.

"Dari sini bengkel agak jauh, tapi gue pasti tanggung jawab," katanya, Haya merasa kesan baik pada orang itu naik dari nol menjadi empat persen. "Tapi pake uang lo dulu, soalnya gue miskin, he he." Orang itu kembali cengegesan dan kesan baik yang Haya berikan langsung lenyap begitu saja.

Haya mengambil alih sepedanya. "Makasih."

Setelah ini, meraka saling diam. Haya jelas tak punya keberanian untuk berkata apa pun. Kakinya seolah terjebak di tempatnya berpijak dan orang di depannya terlihat tak jelas sekali, masih cengegesan.

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang