][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 18: makna hidup yang dicariYasa terbangun begitu ketiduran saat belajar bersama.
Meski malas belajar, Yasa tetap melakukannya sebab si pemilik rumah mengingatkan. "Ingin pindah kelas, 'kan?" Maka, Yasa tak punya alasan untuk menolak.
Saat waktu di ponsel menunjukkan angka 21.58, Saaya diantarkan pulang oleh Yasa dan Haya. Secara paksa ditarik Ayakasa Dheerandra dengan alasan. "Gue takut kalau malem-malem, nanti kalau diculik preman gimana?"
Tak masuk akal, padahal pemuda yang masih mengenakan hoodie serupa seperti kemarin saja rupanya layak preman. Haya sempat ketakutan saat dicegat kala bertemu pertama kali dengan sepeda yang sampai saat ini masih belum ia perbaiki.
Akhir-akhir ini, gadis dengan sweater cokelat itu sering memikirkan orang-orang yang bertemu dengannya. Entah mengapa, tetapi rasanya tak sesepi sendirian.
"Mungkin kemampuanku ini lebih cenderung disebut kutukan. Mau mencobanya?"
Yasa maupun Haya membacanya.
Terdengar seram, tetapi Yasa menyetujui untuk melihat kemampuan yang tak sepenuhnya ia percaya. Hal mustahil itu tak mungkin ada, 'kan? pikirnya.
"Jangan bergerak."
Saaya yang mengatakan dan hal itu terjadi.
Yasa yang diuji sama sekali tak bisa melangkah meski ia kelelahan mencoba. Haya sempat menarik Yasa yang tak begerak satu senti pun.
"Kemampuanku ini bertahan selama tiga menit. Nggak bisa buat orang meninggal dengan kata-kataku, tetapi efek dari kata yang lebih berat akan buat aku pingsan beberapa hari."
Haya membacanya selagi menunggu satu menit agar bisa kembali mengantar Saaya Naisha.
"Gue nggak percaya orang yang punya kemampuan, tapi liat lo bikin bulu kuduk gue merinding. Jangan dekat-dekat gue." Seketika, Ayakasa Dheerandra menjaga jarak setelah tiga menit tak bergerak.
"Sauce," ujar Saaya, ekspresinya terlihat tak suka.
Setelah mengantar perempuan berambut pendek ke asrama tempat tinggalnya. Kedua remaja itu kembali ke arah yang dilewati sebelumnya. Suasana ramai oleh kendaraan atau orang-orang yang berlalu lalang pulang menemani perjalanan sepi mereka.
Yasa tak kunjung buka suara. Apalagi Haya yang tak terbiasa memulai percakapan. Tak ada pembahasan yang layak dibicarakan. Lebih baik diam meski pikiran tetap saja mencari topik yang pada ujungnya kembali dipertimbangkan.
"Haya." Yasa menarik lengan atas gadis itu saat seseorang hampir saja melukainnya dengan pisau.
Pria yang mengenakan jas hitam dengan sebilah pisau di tangan itu berbalik dan terkekeh sinis. Dalam sekejap, Yasa terbanting ke gang gelap saat orang itu menjentikkan jarinya. Haya sampai berlari menghampiri cowok yang terbatuk hingga mengeluarkan darah.
"Lo—" Haya tercekat, suaranya serak. "Lo baik-baik aja?" Meski terdengar bergetar, Haya menbantu Yasa berdiri. Kepalanya menoleh kanan-kiri untuk mencari jalan ke luar, hanya saja ia tak menemukannya begitu tak ada aksen untuk masuk ataupun ke luar.
Tak ada sinar terang sehingga Haya hanya bisa melihat orang itu berjalan kian dekat. Cahaya remang-remang dari lampu jalan tak begitu jelas menyorotnya.
"Anak Muda, mari ikut saya."
Yasa berdiri, memunggungi Haya Helia yang gemetaran. "Gue nggak mengenal lo," teriaknya.
"Memangnya penting untuk mengenal siapa saya?" Orang itu terkekeh lagi, tangannya menjentik dan kemudian Yasa terhempas.
Tak masuk akal, apa orang ini juga punya kemampuan? pikir Yasa setelah punggungnya membentur tembok dan kembali memuntahkan darah.
"Gue nggak akan membiarkan lo bawa Haya." Meski sempoyongan, Yasa tetap melangkah mendekati perempuan yang masih saja terpaku.
"Yang bos saya mau itu adalah kamu," paparnya membuat Yasa berada di depannya dalam satu detik. Kakinya tak menapak saat orang yang menyebut dirinya Ben mengangkat leher Yasa.
Sesak memenuhi dada di saat Yasa tak bisa menghirup udara dengan bebas. Tenaganya terkuras dengan cepat hanya untuk memberontak. Yasa tak bisa melindungi Haya yang saat ini memegang ponsel dengan erat, pemuda itu bisa tahu jika tangan Haya Helia tetap bergetar meski ekspresinya tak menunjukkan hal yang disebutkan.
"Perintah bos adalah mutlak. Kamu ikut saya, Ayakasa Dheerandra. Menolak saya hanya akan sia-sia, mungkin kematian menunggu ka—"
Tubuh Ben membantu lantas Yasa ambruk dan terbatuk berulang. Haya mendekat menepuk punggung Yasa berulang saat tiga orang datang, salah satunya adalah Saaya yang sempat Haya pinta bantuannya lewat panggilan telepon.
Orang-orang dari Agensi Detektif Berkemampuan tempat Saaya Naisha bekerja membawa mereka ke kantor. Haya diizinkan menginap dengan Saaya ketika Yasa dirawat salah satu dari mereka.
Ketika matahari kembali menyinari bumi, netra Haya mendapatkan sosok Ayakasa Dheerandra yang tampak baik-baik saja. Lantas, ia mendengarkan wanita yang mengenakan jas putih panjang di kantor Agensi.
"Pacar kamu ini baik-baik aja. Lukanya sudah sembuh total."
Haya tak percaya. "Dalam semalam?"
"Nona, kamu pikir aku ini siapa?" Wanita yang usianya sekitar 25-an itu menarik sudut bibir percaya diri, lalu memberikan kartu nama Agensi pada Haya. "Jika butuh bantuan, Agensi akan meluangkan waktu untuk kamu. Bukan untuk menyelidiki perselingkuhan, ya."
Haya tersenyum kaku.
"Jadi ... bersujud sama gue, Yasanjing."
Yasa berkacak pinggang. "HAH?! Gue juga nggak sudi ya ada sel regenerasi lo di tubuh gue, Dhanis bodoh!"
Haya mendengar dari dokter Mianne Briangi yang baru saja pergi bahwa penyebuhan Yasa adalah karena kemampuan pengobatan ditambah sel regenerasi Dhanis yang dieksperimen langsung.
Yasa juga diminta datang untuk melapor hal-hal janggal yang mungkin saja terjadi. Yasa bahkan sempat pingsan karena menjadi eksperimen orang yang tak dikenal.
"Kayaknya, lo nggak akan butuh gue untuk cari makna hidup lo lagi, 'kan?"
Haya memulai percakapan, merasa perlu.
Dhanis tertawa kecil. "Hm, seperti kata lo. Makna hidup cuma perlu dicari. Gue nggak langsung menemukannya, tapi jika dicari pasti ketemu, 'kan?"
Haya mengangguk mengiakan.
Ia merasa lega sekaligus hal yang ia janjikan sebelumnya telah terangkat dari pundak. Dhanis menyadari hal yang menurutnya penting tanpa perlu disadarkan.
Lantas, untuk mencari makna itu, Dhanis bilang. "Gue juga gabung Agensi. Katanya, kemampuan gue berguna dan orang-orang yang dikasih kemampuan kayaknya ada yang salah sama otaknya, bodoh semua."
Haya tertawa canggung, merhargai, tetapi malah diejek Dhanis. "Lo aneh sih, kalau nggak mau ketawa ya jangan ketawa."
Setelah itu Dhanis pergi untuk bertugas setelah mengantar dirinya sampai rumah. Dia juga berkata dan memegang lehernya sendiri. "Cekik Yasa kalau ada kesempatan."
Orang yang disebutkan Dhanis itu masuk dan langsung merebahkan dirinya di kasur samping jendela sambil menonton televisi, wajahnya serius. Haya merasa canggung untuk sekadar bertanya mengapa pada Yasa.
Maka, solusi terbaik saat ini hanya memasak untuk makan siang. Dilihat lagi, Yasa masih tak bergeming dengan ekspresi serius ketika ia membaluri udang dengan tepung. Saat menggoreng, Yasa ada di belakang dengan mata pandangan lurus kala ia menoleh. Namun, pipinya mengembung ketika ditangkup dan ekspresinya terlihat marah.
"Ada apa?" Haya sangat terganggu dengan Yasa yang diam.
"Hayanggg, kenapa lo nggak peka?" Yasa berdiri, memegang kedua bahu Haya dan membungkuk sedikit untuk bersitatap dengan mata yang kali ini tak mengalihkan. "Udah gue bilang 'kan kalau gue mencintai lo?"
-][-
KAMU SEDANG MEMBACA
Adolescene: Haya Helia [Complete]
Teen Fiction"Takdir hanya potongan kecil yang terjadi di masa lalu." Apa tak mempunyai teman dan selalu sendirian adalah bagian dari takdir yang diciptakan? Jika begitu, apa benar Haya Helia akan selalu sendirian dan kesepian? Jika sendirian dan kesepian hanya...