0.27 ][ orang-orang yang diberkati

3 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 27: orang-orang yang diberkati

Cerita dari Ramadanish Mayja membuat seseorang menganga tak percaya. Tentu, Yasa terkejut karena tak tahu apa pun soal Haya yang sempat terluka. Sementara, orang-orang di kelas itu memutar fakta lain sebab Yasa mengaku bukan pelaku utama.

"Gue pernah dengar tentang orang yang berkemampuan, mereka orang-orang yang diberkati. Beberapa orang ada di Agensi Detektif, ada juga di Divisi Khusus, bahkan Mafia. Banyak orang yang punya kemampuan, tapi beberapa jadi objek penelitian." Ramadhan Alfarras menjelaskan sambil menatap layar laptop di hadapannya. "Dan orang yang punya kemampuan perubahan wujud masih misterius, banyak orang ngincar."

Danish mengangguki. "Kata pimpinan di Agensi, orang itu adalah kandidat sempurna buat jadi sang informan. Kalau jatuh ke tangan musuh, gue nggak tau apa yang bakal terjadi."

Yasa menyimak mereka, matanya mencuri pandang pada Najla yang bercanda dengan kedua temannya. Terlihat tak peduli pada bencana yang menimpa mereka. Saat Najla meliriknya, Yasa balas menatap dengan alis menekuk.

"Apa lo liatin gue?" tanya Najla judes.

Yasa mengibaskan tangannya. "Nggak, nggak, gue cuma mikir mungkin lo ada dibalik pelaku penikaman Haya."

Najla mengernyit, tak mengerti. "Hah? Nggak ada untungnya nikam temen lo itu. Alasan lo nggak masuk akal."

"Yahh, rasa benci lo yang nggak masuk akal ke Haya itu aneh. Ngapain lo benci orang?"

"Jelas 'kan kalau gue nggak suka sikap aneh yang membuat gue kesel liat dia?" Najla menghela napas, kenapa ia meladeni orang bodoh yang banyak bicara ini.

"Haha, iya juga sih. Alasan benci nggak bisa bikin lo jadi pelaku utama dikisah ini. Ya 'kan, Jemima?"

Orang yang Yasa tatap menggeleng-geleng tak beraturan karena terkejut tiba-tiba masuk dalam obrolan yang tak ia pahami dengan jelas. "Eh, ha, eh kenapa gue?"

Najla mengerjap kemudian mengedikkan bahu tak peduli. Kisah yang dibicarakan Ayakasa Dheerandra tak begitu ia mengerti, tetapi ia hanya perlu 'tuk tidak peduli.

Yasa menjelaskan mengapa ia bisa diculik beberapa minggu yang lalu. "Gue juga nggak tau siapa yang culik gue, padahal gue pasti nggak berguna 'kan?"

Danish mengangguki dengan perasaan setuju yang amat besar. Ternyata cowok yang ia kira bodoh itu bisa paham dirinya sendiri perihal tidak berguna.

"Yah, meski gitu gue cuma bisa ngobrol di sana. Penjaganya seru semua kecuali orang kesepuluh yang jaga gue. Dia nggak bisa gue ajak ngobrol, makanya gue ceritain semua kelakuan bodoh kalian ke dia sampai tiba-tiba aja dia teriak nggak jelas dan biarin gue kabur."

Jemima, Danish, dan Han berpikiran sama. "Gue juga akan melakukan hal yang sama kayak si penjaga."

Sedangkan Aksen bergumam, "Kira-kira apa yang diceritain Yasa tentang kita?"

Lalu, ketiga perempuan di satu meja itu berkata, "Orang ini sebodoh apa sih?"

Danish membuka suara lagi saat Han bertanya perihal Saaya Naisha. "Dia ikut jaga di sana. Katanya mau ngobrol sama Haya."

Mereka mengangguki, tetapi Jemima terlihat kebingungan. "Bentar, Saaya emang bisa ngobrol pas bicara aja ngeluarin kutukan?"

Yasa mengangguki, sedangkan Danish menepuk jidatnya tak habis pikir.

"Ada note yang dia bawa, kenapa lo bodohnya keterlaluan, hah?"

Jemima menyangkal. "Nggak, gue peringkat 153 loh, masih bodoh Yasa 'kan?"

"Ada yang lebih pinter di atas lo, jadi lo harus berusaha lagi."

Jemima terdiam sebentar dan menepuk-nepuk kepala Danish yang langsung ditepis. "Lo ini perhatian banget, jadi sayang deh."

Seketika Yasa jadi ingat Haya Helia, semacam rindu.

Rasanya begitu lama tidak bercanda dengan perempuan itu karena konflik yang entah akan selesai kapan. Mencari informasi tentang Haya dan kasus lain yang berhubungan dengan gadis itu bukan keahliannya, apalagi ditemani Jemima dan Han yang tak memberi solusi seperti apa.

"Oke, istirahat dulu. Gue mau makan rendang."

Jemima dan Han ikut masuk ke rumah makan sederhana itu. Ikut makan sambil mengajak Ramadhan Alfarras bergurau saat cowok tersebut mrnjaga jarak dari orang-orang sekitar. Begitu benci keramaian.

"Oi lo, Yasa. Lo nggak tau mau nyari informasi ke mana, 'kan?" Han bertanya sewot karena kesal sampai anggukan itu ia dapatkan. "Ck, gue nggak tau ini penting atau nggak, tapi Haya sama Najla pernah ngobrol di minimarket soal kalian."

Yasa menoleh seketika, mengunyah makanannya buru-buru. "Ngobrol? Pasti si Najlo ngejek-ngejek Haya lagi." Pemuda itu menyuapkan makanannya lagi dengan kesal, tetapi matanya berbinar karena makanannya enak. Suasananya berubah.

Waktu itu, Han tidak sengaja menabrak seseorang—lagi—di minimarket saat camilan yang ibunya siapkan habis. Cowok yang mengenakan penutup kepala dan masker itu bersembunyi dibalik rak, mendengar dua orang perempuan di kasir saling bicara.

"Gue punya bukti tentang lo dan si sampah yang bikin rekayasa kejadian percobaan pembunuhan. Gue bisa lapor ini kapan saja jika gue mau, tapi kemampuan Danish itu sebenarnya apa?"

Haya tak langsung menjawab.

"Jawab gue, aneh."

Saat itu Haya menjawab, "Kemampuan Danish, ya?" gumamnya, "keabadian, kematian nggak akan menyentuhnya."

Najla Nijima terkekeh. "Dengar Haya, jika lo nggak mau gue membocorkan ini semua ke publik ... lo harus mengikuti perintah gue, ya?"

Haya tahu resiko jika hal itu tersebar, maka anggukan ia berikan. "Memangnya gue berguna?" Lantas, Najla tertawa pelan. "Akan gue buat lo berguna, dasar aneh."

Jemima yang mendengar cerita Han mengusap matanya yang tak berair. "Najla masih nyebut gue sampah, sungguh terlalu."

Sementara Yasa menepuk meja seolah mendapat kebenaran. "Tuh 'kan Najlo pasti ngejek Hayang."

Ramadhan Alfarras berdecak lagi, bukan itu maksud dari cerita yang ia bahas. Tak habis pikir, pantas jika Ramadanish Mayja selalu membuat urat-urat di keningnya menonjol karena mereka.

Yasa menangkup pipi saat dua porsi miliknya tandas, memikirkan sesuatu yang membuat Han berkedip tak percaya. "Jadi, lo pikir Najla juga punya kemampuan?"

"Cuma hipotesis." Han bergedik. "Tapi sebenarnya lo juga punya kemampuan 'kan, Yasa?"

Yasa berkedip beberapa kali dan tertawa. "Gue sebenarnya nggak percaya, tapi kayaknya gue memang punya. Kata lo mereka orang yang diberkati, gue ngerasa ini kesialan dalam hidup gue."

"Lo ... curhat?" Jemima masuk kepembahasan tanpa permisi sehingga toyoran kecil dari Yasa didapatkan.

"Kemampuan sialan ini bikin gue diperalat. Nggak semua yang punya kemampuan bersyukur dapat kekuatan ini." Yasa menghela napas panjang. "Perkataan lo nggak salah, tapi beberapa orang nggak ngerasa demikian."

Pemuda itu berdiri dan merenggangkan otot-ototnya sambil menguap. "Bu ... yang bayar makananku yang pake baju abu ya, Bu." Yasa segera ke luar saat orang berbaju abu yanh disebut Yasa mengumpat sambil membayar.

"Gue mau ketemu Hayang, ah. Rindu gue harus terobati dengan pertemuan 'kan, 'kan?" Yasa percaya diri mengatakannya. Tak ada yang merespons, ia mendecih.

"Gue dapet telepon dari Danish." Jemima mendekatkan ponselnya pada telinga. Lalu, menyampaikan hal yang dikabarkan Danish pada kedua orang di hadapannya. "Haya hilang. Danish nggak tau kapan pastinya, tapi dugaan awalnya bilang kalau Haya ke luar dari pintu depan."

"Hah?!"

-][-

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang