][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 29: identitas yang terungkapSatu minggu setelah insiden pertumpahan darah.
Seakan semuanya dilupakan seketika, pihak lain selain Agensi Detektif Berkempuan dan Divisi Khusus Kemampuan tak ada yang mengetahui insiden itu.
Sementara, Haya Helia tidak masuk sekolah untuk memberikan penjelasan di kantor Agensi. Namun, gadis belia berambut hitam itu tetap mengatakan, "Aku pembunuhnya, apa kurang jelas?"
Pada satu hari tertentu, pimpinan di kantor menemui Haya Helia. Mengatakan, "Kamu harus jadi anak baik, jadi jawab semua pertanyaannya dengan benar."
Sejak dari sana, klarifikasinya sukses besar. Ayakasa Dheerandra memerhatikan sejak awal melakukan interogasi dan pelaku dibalik semua jebakan yang membuat Haya terjebak akan segera terungkap.
"Lo yakin mau ungkap identitas Haya yang sebenernya?" Danish bertanya saat mereka ke luar dari ruangan dan berjalan hingga ke depan balkon kantor. "Gue nggak yakin lo bisa—"
Yasa melirik pada Danish. "Lo dengar sendiri kalau Haya bukan pembunuh orang tuanya, lalu bisa aja yang bunuh orang tua Najla itu orang lain." Yasa memangku dagu kebingungan. "Kenapa Haya gue ribet banget, sih?"
Danish sama bingungnya, apalagi setelah mendengar cerita tentang Haya Helia sepuluh tahun silam.
Katanya anak kecil berusia enam tahun itu ke luar dari kamar mandi dan mendapati kedua orang tuanya terkapar di lantai berlumuran darah, serta dua orang asing dengan benda tajam di tangan.
"Orang tua kamu pengkhianat Divisi, jika semua informasi bocor ke Mafia maka kota ini bisa dipastikan akan hancur." Orang yang mengenakan jas hitam tersebut memberikan Haya sebilah pisau. "Jadi, kamu adalah pembunuh mereka. Hiduplah sebagai pembunuh dan dosa orang tua kamu adalah alasan kamu hidup. Mengerti?"
Haya yang masih kecil itu tak tahu apa pun selain melukai leher sang Ibu dan membuat kepalanya berada dalam dekap. Orang-orang yang ia minta tolong menatapnya, jenis tatapan yang membuat ia menunduk dalam.
"Informasi yang lo cari tentang Haya bukan kebohongan, tapi cara lo maparinnya bikin kue kesel. Yah, tapi lo salah karena Haya bukan pembunuh. Jadi, dapat dipastikan kalau Haya bukan pembunuh orang tua Najla." Yasa menemukan titik terang soal satu kasus yang entah sejak kapan membuatnya menelusuri hal tersebut.
Danish berdecak mendengar penjelasan orang di sampingnya. "Kesimpulan lo aneh. Haya bilang dia pembunuhnya. Pimpinan punya kemampuan buat orang bicara jujur, jadi nggak mungkin Haya masih bisa bohong."
"Gue masih nggak percaya. Nanti gue mau ngomong sama Haya, jadi lo harus minta izin pimpinan biar Haya bisa ke luar."
Danish menganga. "Hah? Lo nggak waras? Mana mungkin pimpinan kasih izin, nggak waras lo."
Yasa membalas dengan akal sehat. "Lo tinggal bilang kalau dia akan untung jika Haya bisa dibuktiin nggak bersalah." Yasa menguap lebar saat ia berdiri tegap. "Gue mau ngomong sama Saaya meski gue takut dikutuk."
"Dia masih tidur, jangan ganggu anak orang lo." Danish memperingati, mengikuti cowok yang menulikan telinga saat ia bicara. "Lo yakin gue harus minta izin sama pimpinan, gue juga nggak yakin Agensi bisa dapat untungnya."
"Pimpinan Agensi pasti ngerti yang gue omongin, lo aja yang bego." Yasa menguap lagi saat Danish mendecih tak terima. Cowok itu langsung pergi ke kantor pimpinan untuk meminta persetujuan.
Ayakasa Dheerandra membuka pintu kamar Saaya Naisha yang tak sedang memejamkan mata. Ia langsung bertanya, "Gue mau tau jenis obrolan kayak apa yang lo omongin sama Haya waktu yang lain kumpul."
Saaya mengubah posisi terlentangnya untuk duduk dengan benar. Ia mengambil note di nakas dan menyerahkannya pada Yasa setelah ia menuliskan sesuatu.
"Apa yang membuat kamu berpikir kalau Haya nggak membunuh orang tua Najla?"
Yasa membalas, "Orang tua Najla emang anggota Divisi Khusus setelah Danish selidiki. Semua informasi yang Danish tau itu bener semua, tapi Haya bukan pelaku pembunuhan orang tuanya. Terus, soal orang tua Haya ... mereka orang tua angkat, lalu gue pikir ini ada hubungannya sama Najla."
"Gara-gara aku orang tua Najla nggak bisa diselamatin, padahal aku udah janji sama Haya untuk itu."
Yasa menarik kesimpulan. "Jadi, itu yang lo omongin sama Haya?" Mendapat anggukan dari Saaya, Yasa tersenyum kecil. "Bilang dong, jadi sekarang bisa dipastiin kalau Haya bukan pembunuhnya."
"Tapi Haya bilang kalau dia beneran bunuh orang tua Najla."
Yasa termenung sejenak. "Lo percaya?"
Saaya terlihat tak yakin saat menggeleng.
"Lo tinggal percaya sama gue." Yasa berdiri dan terkekeh setelah kalimat itu ia lontarkan. "Gue mau kasih tau yang lain buat kumpul nanti malem. Gue mau ketemu Haya dulu."
Kemudian saat menjelang malam, mereka berkumpul di tempat yang sudah Ayakasa Dheerandra tentukan. Meski demikian, orang yang memberi arahan malah pergi untuk bicara dengan Haya Helia.
"Hayangg, gue kangen." Yasa memeluk Haya begitu melihat perempuan tersebut berdiri di tangga menuju rumahnya. "Parah, lo bikin naskah yang luar biasa di akal gue."
Haya Helia tetap bungkam bahkan untuk bergerak saja rasanya terlalu sulit. Sementara Yasa bersandar pada penyangga tangga sambil mencuri pandang pada gadis di sampingnya.
"Biar gue kasih tau satu hal, Haya." Yasa menjeda saat ponsel dari saku celananya ia ambil. "Tadi gue nemu ponsel lo di kamar Saaya sebelum ke sini dan gue nggak sengaja baca pesan masuk dari Najla. Katanya minta lo temui gue, ya?"
Haya segera mengambil ponselnya dan memeriksa pesan yang dikatakan Ayakasa Dheerandra. Tanpa mengatakan apa pun, Haya memicingkan mata ke arah pemuda di sisinya.
"Gue bersalah, gue pasti dihukum mati. Jadi, jangan ganggu jalan gue Yasa."
Yasa terkekeh sambil mengangguk-angguk. "Jalan berlumur darah yang lo pilih nggak berguna ya, Haya. Pada nyatanya, lo sama sekali nggak membunuh siapa pun."
"Tau apa lo tentang gue? Gue ini pembunuh, apa kurang jelas?"
"Bisa berhenti bilang bunuh, bunuh, bunuh, hah?" Yasa menghela napas kemudian. "Nggak ada bukti buat jadiin lo pembunuh. Semuanya cuma skenario yang ditulis Najla untuk lo biar berguna buat dia 'kan? Ayolah, lo harus kembali kayak semula. Jangan jadiin masa lalu atau masa sekarang jadi dosa yang lo tanggung sendirian, Haya."
Haya diam, tatapan matanya kosong.
"Lo bahkan nggak tau siapa Haya yang sebenernya."
Yasa tersenyum culas. Kesalahan yang dibuat orang di depannya akhirnya terlihat. "Ada banyak kesalahan ketika lo meniru Haya, Najla."
Sosok perempuan di hadapannya langsung memandang Yasa dengan mata membulat sempurna. "Apa maksud lo, Yasa? Gue ini Haya, bukan Najla."
"Kesalahan lo sangat besar, di mata gue terlihat sangat jelas. Pengin tau?" Yasa mengangkat alisnya dengan senyum yang masih terpatri. "Kemampuan gue manifulasi pikiran, gue bisa membuat lo berpikir bahwa kemampuan lo lenyap beberapa saat. Jadi identitas lo yang sebenarnya adalah ... Haya?"
Tidak mungkin, Yasa sudah memastikan bahwa orang di depannya adalah Najla Nijima yang berwujud Haya Helia. Orang yang punya kemampuan perubahan wujud itu tak lain adalah gadis ini, jadi seharusnya orang di depannya kembali ke wujud yang sebenarnya.
"Udah gue bilang, gue ini Haya bukan Najla."
Untuk beberapa saat, Yasa terpaku.
Satu menit kemudian, Yasa tertawa.
Setelah tawanya terhenti, sorot matanya yang menajam memandang Haya Helia.
"Jadi ... sosok lo yang asli adalah ini ya, Najla?"
-][-
KAMU SEDANG MEMBACA
Adolescene: Haya Helia [Complete]
Teen Fiction"Takdir hanya potongan kecil yang terjadi di masa lalu." Apa tak mempunyai teman dan selalu sendirian adalah bagian dari takdir yang diciptakan? Jika begitu, apa benar Haya Helia akan selalu sendirian dan kesepian? Jika sendirian dan kesepian hanya...