0.01 ][ tempat nyaman setelah rumah

16 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 01: tempat nyaman setelah rumah

Satu hari.

Satu minggu.

Satu bulan.

Bahkan dua bulan.

Dia tetap sendirian, tak mendapatkan teman setelah Masa Orientasi Siswa berakhir. Kelas yang ia tempati ada di gedung selatan lantai pertama dan penghuni kelas membentuk kelompok-kelompok kecil. Haya sangat membenci itu sebab dirinya merasa terasingkan.

Dia lelah memikirkan kesendirian yang terus menggerogotinya setiap waktu, tetapi Haya tak bisa mengubah lingkaran takdir itu. Sedemikian rupa, Haya memang tidak bisa berbuat apa-apa.

Namun, dia merasa baik-baik saja.

Untuk tetap sendirian, untuk tetap dengan pemikiran-pemikiran yang tak pernah ia bicarakan pada orang-orang, untuk segala pe%rasaan sesak yang tak ia ucapkan pada seseorang, dan untuk rasa sakit yang ia pendam sendirian.

Apa memang dia baik-baik saja?

Pemikiran Haya mengatakan bahwa dirinya demikian, tetapi apa kabar dengan dadanya yang kian memupuk banyak beban. Ya, Haya tetap baik-saja, pikirnya dari sudut logika.

"Kayaknya klub basket putri."

"Basket? Klubnya udah bubar, lo mau cari anggota? Klubnya nggak ada apa-apa, lagian lo nggak bakal dikenal cuma karena klub baru lo."

"Iyap, bener. Mending masuk klub modeling aja. Katanya banyak senior terkenal dari sana."

Haya hanya bisa mendengar kelompok perempuan di bangku sebelah kirinya, jika tidak salah orang yang paling menonjol di antara mereka adalah Najla Nijima. Namun, netra beriris gelapnya tak sengaja beradu pandang dengan perempuan yang rambutnya bergaya curly. Pasti membutuhkan waktu lama untuk menatanya, ucap Haya dalam hati setelah mengalihkan tatap.

"Gue dengar gosip kalau dia itu anaknya pembunuh. Kita jangan gaul sama dia, nanti ketularan."

"Dia juga aneh, sering sendirian, dan nggak pernah ngomong sama anak kelas. Gue nggak mau keliatan deket sama dia, pasti malu gue."

"Orang lain bisa ketawain kita 'kan, Najla?"

Haya kian menunduk, mencoba menulikan telinga meski ucapan mereka tetap tercerna dalam pikiran. Ia tak bisa mengubah sudut pandang orang-orang terhadapnya, tak bisa memaksa agar mereka menarik kembali kata-kata yang ia rasa hanya omong kosong belaka.

Ramajava Ansha memasuki kelas, orang yang menyebut dirinya wali kelas itu mulai berbicara saat murid-murid duduk di tempat masing-masing. Begitu pula dengan Haya yang senantiasa memerhatikan.

"Hari ini kita akan rapat pengurus kelas. Siapa saja harus mengajukan diri dan menulis nama di papan, serta jabatan kelas yang diinginkan dan tujuannya."

Begitu menyebut satu persatu jabatan kelas dan tujuan singkat kandidat yang berdiri di podium, Haya mengangkat tangannya. Perempuan yang duduk di bangku orang-orang yang membicarakannya tadi melakukan hal serupa, sampai meliriknya dan menajamkan pandangannya.

Haya mengalihkan atensi, tak bisa membalas tatap lawannya. Dia menurunkan tangannya saat tak didengar gurunya. "Pak, saya ingin ke toilet." Masih tak didengar sampai perempuan berambut curly itu memaparkan tujuannya sebagai calon wakil ketua kelas setelah berdiri di podium bersama yang lain.

"Nama saya Jemima Rasendrya mencalonkan diri sebagai wakil ketua kelas, tujuan saya hanya menjadikan kelas tempat nyaman setelah rumah ...."

Tempat nyaman setelah rumah, Haya menyukai pemikiran itu. Namun, memangnya seseorang yang memiliki jabatan di kelas bisa melakukan itu?

Nyaman hanya menjebak orang-orang, tetapi begitu sulit didapatkan. Haya pernah sangat dikhianati hanya karena rasa nyaman itu, lantas dia tak percaya harapan kosong seperti yang dikatakan Jemima Rasendrya.

"Silakan kandidat kedua." Guru yang usianya terbilang muda itu menatap Haya, gadis tersebut menunjuk dirinya dengan tak yakin. Dia tak menginginkan posisi itu, merepotkan. Dia tak punya sifat kepemimpinan, dia tak bisa berbuat apa-apa saat melangkah ke depan dengan bisikkan serta tatapan yang terarah padanya.

Haya tak menyukai mereka, cara mereka memandanginya, cara mereka membicarakannya, dan cara mereka yang seolah mengucilkannya. Haya tak menyukai itu semua. Omong kosong soal nyaman yang dibicarakan, seperti mustahil tersentuh oleh Haya Helia.

Kening Haya sedikit mengerut saat memandang wali kelasnya, ia harus bicara apa. Namun, dia malah mendapatkan respon aneh dari sang guru yang terlihat gelisah dan meminta maaf tanpa suara.

"GAWAT, GAWAT!" Seseorang masuk tanpa permisi dengan poster aneh yang ditempel di papan tulis. "Pak minjem kelasnya sebentar. Jadi, junior-junior yang cantik, tapi masih cantik gue ada yang mau join Klub Basket Putri? Harus ada, nanti gue kena amuk Araja kalau nggak punya anggota, terus utang di warung mi pasti nggak dibayarin sama dia ...."

"Aratha, kelas saya sedang berlangsung dan kenapa kamu berkeliaran saat jam pembelajaran?" Java bertanya dengan tegas. Senior Haya yang dipanggil Aratha itu tersenyum lebar, lalu dibuat menunduk saat seseorang datang untuk meminta maaf. Datang lalu pergi dan menjadi bahan pembicaraan seisi kelas karena tampan.

"Siapa pun yang mau gabung, temui gue di 2A4, ya." Sebelum benar-benar menghilang dan terdengar teriakan tolong dari luar, Aratha mengatakan hal itu. Haya bersyukur sebab tak berbicara di depan banyak orang karenanya.

"Minggu depan kita adakan pemilihan pengurus kelas. Pilih dengan apa yang menurut kalian pantas."

Haya Helia tak merepotkan hal itu sebab dirinya sudah yakin tak akan terpilih. Citra publik memang jadi faktor utama dan perempuan yang ke luar kelas untuk ke toilet saat bel istirahat berbunyi itu yakin bahwa Jemima akan mendapatkan posisi yang diinginkannya. Lebih pantas.

"Si Jemima bego banget pengin jadi wakil ketua kelas dan gue terkejut karena si aneh itu juga ikutan." Suara tawa seakan mengejek didengar dari arah wastafel. "Julukan itu kayak pas banget ya buat dia. Gue pernah ngajak ngomong, tapi dia malah tumpahin minumannya ke baju gue. Sialan emang."

"Dia juga nggak liat mata gue waktu gue ngomong. Dia emang aneh. Iya 'kan, Najla?"

"Kita ngomongin Jemima bukan si aneh." Suara Najla terdengar lebih rendah dan berat, seolah tak ingin dibantah.

Haya Helia mendengarkan mereka, ketiga perempuan yang paling menonjol di kelas. Julukan aneh seperti omong kosong, dia memang pernah tak sengaja menumpahkan minumannya dan menatap mata orang yang bicara padanya amatlah sulit. Sudah Haya bilang, ia tak suka cara mereka memandangnya.

Satu fakta yang Haya dapatkan, bahwa seorang teman bisa saja berkhianat di belakang. Perempuan berambut hitam terikat rendah itu masih duduk di kloset yang tertutup, menunggu ketiga orang itu pergi. Dia tidak diharuskan ikut campur sebab itu bukan urusannya, lagipula ia tak ingin terlibat apa pun.

Faktor pentingnya adalah Jemima Rasendrya bukan temannya.

Telinga Haya berfungsi dengan baik saat dia mendengar isak tangis di bilik sisinya, dia menunduk menemukan sepatu putih yang talinya tak terikat. Tak tahu milik siapa, lebih baik ia segera ke luar dan membeli makan saat perutnya meronta-ronta.

"Anak 1A5 katanya dapat dua siswa unggulan. Enak banget, ya. Pasti jadi kelas kesayangan guru-guru."

Haya tak mendengar kabar itu sebab yang sering dibicarakan anak kelas hanya orang yang mencalonkan diri sebagai ketua kelas. Itu saja.

-][-

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang