0.06 ][ dua rencana yang tak berbeda

8 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 06: dua rencana yang tak berbeda

"Hayang!"

Teriakan itu sudah Haya hafal dalam kepala.

Meski begitu, kedatangan Ayakasa Dheerandra setelah Jemima pergi tak tepat pada waktunya. Kondisi Haya mengenaskan, tak sedap dipandang, dan bau dari air bekas mengepel lantai menempel pada seragam.

Yasa mengapit hidungnya dan memasang wajah jijik, lalu menjaga jarak tiga langkah dari Haya Helia.

"Hah, kenapa lo mandi pake air kotor, Hayang?"

Haya memilih diam tak meladeni Yasa. Cowok berkacamata bulat itu mengitarinya, memerhatikan dengan intens. Tentu, Haya tak nyaman. Namun, hoodie hitam yang terpakai setengah dileher berkat Yasa itu membuat Haya terkesiap sesaat.

"Nanti pulang langsung mandi, biar nggak masuk angin."

Beberapa detik perkataan Yasa membuat Haya berpikir bahwa kesan baik cowok itu naik beberapa persen. Namun, seperkian detik pula kesan itu kembali turun hingga di depan angka itu terdapat tanda negatif.

"Bau keringet," kata Haya kala hoodie yang ia pinjamkan mengeluarkan bau tak sedap.

"Hah?! Apa masalah lo?" Yasa ada di depan Haya, beberapa jengkal dari muka. "Gue cuma pake pas pagi sampai istirahat, terus dipake olahraga, terus dipake main basket pas istirahat kedua, terus gue pake beresin perpus karena ketahuan bolos sampai pulang."

Haya menyimpulkan bahwa Yasa memakainya setiap saat. Lagipula, ketua kelas mana yang bolos saat jam pelajaran? Karena hal tersebut, Haya penasaran bagaimana cowok berambut hitam itu menjalani hari-harinya di kelas.

Hanya penasaran, tetapi ia tak berniat mencari tahu.

"Haya, gue nggak menyukai dia."

Mendengar itu, Haya menatap Yasa saat ia menekan beberapa nomor dilokernya. Tatapan cowok itu berbeda dengan kedua tangan terlipat di dada, tetapi sorot matanya berbinar kala menatap Haya. Kepala perempuan itu memiring, penasaran.

"Karena kalau gue suka dia, lo bakal cemburu."

Hal seperti itu tak akan terjadi.

Yasa hanya bicara omong kosong.

Tak peduli pada Yasa yang menggaruk belakang kepala dan berucap, "Bohong, haha, mana ada gue suka lo yang diguyur air pel aja cuma diem."

Haya tak ingin tertawa haha-hihi seperti Yasa saat ini.

Dia ke toilet untuk berganti pakaian dengan baju olahraga, saat kembali ke kelas matanya tertuju pada Yasa di koridor dengan ember beserta lap di tangan. Haya segera melongok ke kelas, lantai yang tadinya menyisakkan genangan air sudah tak ada.

Yasa mengepelnya?

Netra Haya melirik tangan Yasa yang terbuka di depannya. Keningnya mengerut kecil karena tak paham. Kemudian, bunyi keroncongan perut orang di hadapannya terdengar.

"Nggak gratis, gue pake tarif."

Ya, tentu. Ucapan terima kasih tak akan cukup, jadi ia bertanya, "Berapa?"

Yasa menjawab, "Cukup biaya makan gue seumur hidup."

Haya Helia yakin telinganya baik-baik saja.

Orang yang mengenakan kacamata bundar di depannya masih tak bergeming, tak ada tanda tangannya akan berada di belakang kepala. Maka, Haya menyimpulkan bahwa Ayakasa Dheerandra serius.

Meski begitu, pikiran Haya masih menari-nari, memangnya dengan mengepel lantai belakang kelas memerlukan biaya-seumur hidup-sebanyak itu?

Seumur hidup, ya, seumur hidup. Haya bahkan tak bisa membayangkannya. Pikiran lain mengatakan bahwa Yasa mungkin akan di sisinya selamanya. Meski pikiran itu ada, Haya berpikir bahwa orang lain tak akan bisa lebih lama setelah mengetahui faktanya.

Tak akan bertahan lama dan Haya kembali pada kesendiriannya.

Semua akan baik-baik saja sebab ia sudah terbiasa.

"Gue pengin junk food, tapi pengin yang manis-manis. Atau pengin chiken, tapi pengin juga ice cream ...."

Beberapa menit kemudian setelah Yasa menyebutkan jenis makanan, cowok berponi itu baru memutuskan. "Gue pengin nasi padang sama es teh manis."

Menu yang tak disebutkan Yasa malah keluar dari mulut pemuda itu. Haya hanya bisa menghela napas menahan kesal. Sesaat setelah sampai di rumah makan sederhana bertuliskan Nasi Padang Bu Ai itu, Yasa memesan dan Haya yang membayar.

"Ahahaha, nasi padang ...." Haya mengalihkan atensi saat mencari uang di tasnya pada Yasa, mulut cowok itu sedikit terbuka dengan pandangan lurus pada lauk pauk yang tengah disajikan di atas nasi. Bahkan Yasa mengelap air liur yang menetes dengan punggung tangannya.

Begitu lapar, mungkin.

"Eng ...." Haya ingin pergi untuk bekerja, tetapi rasanya tak enak pada Yasa.

"Lo nggak makan atau lo nggak punya duit buat bayar?"

Pertanyaan-tak tau diri-macam apa itu?

Tentu, dia menggeleng seraya berkata, "G-gue harus pergi ka-"

"HAH?!"

Haya terkejut, hingga pria baya di sisinya tersedak. Ia meminta maaf sambil memberikan air minum. Tangannya sampai bergetar karena merasa bersalah, meski secara fakta Yasa yang membuat ulah.

"Lo nggak pesenin gue rendang, heh!" Yasa ada di hadapannya, ia sibuk menghindari tatapan marah Yasa. Tanpa persetujuan cowok berkemeja putih itu kembali memesan dan menunjuk Haya agar segera membayar.

Setelah itu, Haya berpamitan untuk pergi bekerja. Meski Yasa meminjamkan Syair untuk sampai di mini market, Haya merasa tak enak hati jika membiarkan Yasa berjalan kaki jika ingin menyusulnya.

"Gue duluan, nih. Buru-buru, pacar gue udah nunggu di stasiun." Pekerja yang usianya masih duapuluhan itu berpamitan setelah mengambil barang-barangnya di ruang staf. Haya segera memakai rompi sebelum membereskan perlengkapan mandi di rak-rak dan beberapa barang lainnya.

"Permisi."

Haya menghampiri asal suara, di pintu masuk ada seseorang dengan darah dikening hingga menutupi mata bagian kirinya. Perempuan dengan rambut terikat rendah itu segera menawarkan kamar kecil meski gugup, terlebih saat orang itu adalah Jemima Rasendrya.

Ia permisi saat beberapa pengunjung datang dan mengantre, sampai Jemima yang sudah selesai mencuci wajahnya ikut berbaris membeli perban dan antiseptik. Kemudian, duduk di meja dan mencoba membalut luka dengan sebelah mata yang tertutup.

Terlihat kesusahan, tetapi Haya tak tahu cara bicara untuk menawarkan bantuan.

Mungkin Jemima berpikir ia bisa sendiri.

Meski begitu, Haya tetap menghampiri sebab hatinya mulai tak tenang jika membiarkan Jemima kesulitan. Bahkan ia dengan tak sopannya langsung mengambil perban dengan kapas dan menutup luka gores di mata Jemima, tangannya sampai gemetaran lantaran terlalu gugup.

"Lo tau sopan santun kalo mau bantu orang, 'kan?" Haya mendengar dengkusan dari Jemima, lalu decakan pada kalimat selanjutnya. "Lo memang aneh. Minggir."

Tak perlu menyingkir untuk memberi jalan pada Jemima saat tiga langkah sebagai jarak saja sudah memberikannya akses lewat.

Haya tak menuntut ucapan terima kasih, tetapi sopan santun yang dibicarakan Jemima Rasendrya seolah omong kosong saat gadis itu tak mempunyai hal tersebut dengan mendorong bahunya angkuh.

Mendiang ibunya pernah bilang hal ini. "Bantulah orang-orang yang dalam kesulitan, kamu akan merasa lebih baik. Jangan mengharapkan imbalan meski hanya ucapan terima kasih."

Tak apa, asal Jemima baik-baik saja.

Hal itu sudah cukup, tetapi kala mendengar pintu kaca didobrak secara paksa dan meninggalkan pecahan di lantai. Haya tak yakin Jemima akan baik-baik saja saat sebuah senapan diarahkan pada kepalanya.

"Rencana gue hanya narik pelatuk saat lo nggak kasih apa yang gue mau." Suara tawa orang yang mengenakan topi itu berperan sebagai penjeda. "Rencana keduanya ... gue akan nembak kepala cewek ini untuk bersenang-senang."

-][-

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang