0.14 ][ apa benar mereka berteman?

3 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 14: apa benar mereka berteman?

Yasa selesai membersihkan diri sebelum makan malam.

Haya sudah selesai memasak dibantu Jemima meski hanya memotong beberapa bahan.

Rumah Haya terasa lebih hidup dibandingkan sebelumnya, kedatangan kedua orang duduk di meja yang sama memberikan warna cerah sehingga warna netral tak mendominasi seperti sebelumnya. Haya mensyukuri pertemuan tak direncanakan ini.

Garis takdir menuntunnya.

Perempuan yang rambutnya basah setelah berkeramas itu menyadari satu hal bahwa ia mungkin tak akan selamanya sendirian. Tak dapat dipastikan akan bertahan lama, tetapi Haya berharap sedemikian rupa. Semoga saja, takdir membawanya pada nasib baik.

Ia berpikir bahwa dirinya terlalu lama berkubang pada kesendirian yang diabaikan.

Menyesakkan, rasa itu selalu menyelusup ke ulu hati meski Haya berulang kali mencoba menerima tanpa iri dengki. Mencoba selalu baik untuk menjadi lebih baik, begitu kata sang ayah. Haya mencoba untuk tak menaruh dendam pada orang-orang yang mengabaikan atau memperlakukannya tak benar.

Meski pikirannya bilang begitu, terkadang hati memilih jalan lain. Memperumit hingga bergelut dengan segala pemikiran di kepala. Manusia tak selalu paham apa yang diinginkan dirinya sendiri. Haya merasa demikian.

"Lo ngelamunin apa? Apa jangan-jangan lo tadi ngarep gituan, ya?"

Haya jelas menggeleng. Lagipula saat itu ia sempat menutup mulutnya hingga Yasa mencium punggung tangan. Nyaris jika saja Haya tak sadar lebih cepat.

Yasa menyahuti, "Berisik lo."

Jemima terkikik mengejek, "Untung Haya sadar kalau mau dicium Moster."

"Berisik, makan sana." Yasa jengkel saat wajahnya terasa panas, ia mengalihkan dengan mengambil nasi di meja. Bahkan, matanya melirik objek lain ketika tak sengaja melihat Haya.

Haya sendiri mulai makan dan mengajak Jemima yang masih mengetikkan sesuatu di ponsel seraya menunjukkan foto seseorang. Dia berkata, "Gue pernah ketemu dia waktu SMP di acara yang gue ikuti di sosmed, orangnya seru, tapi dia udah jarang nongol di grup. Gue kesepian deh."

"Lo kayaknya kesepian pake banget?" Yasa mengerjek, "Kasian pake banget pangkat dua."

"Waktu SMP gue suka kumpul sama orang-orang disosmed, gue nggak pernah kesepian, tapi pas ada Najla sama yang lain dan gue berteman sama mereka ... rasanya gue sama sekali nggak ngerti apa itu temen."

Yasa mengangkat bahu dan kembali mengejek, "Nyatanya lo sering kesepian tuh. Kasian."

"Berisik lo. Lo aja nggak punya temen." Jemima tak terima dikatai seperti itu meski pada nyatanya kesepian selalu terikat erat padanya.

Yasa berkedip. "Punya, kok. Haya 'kan temen gue sehidup semati."

Jemima nyaris tertawa mendengarnya, lalu dia bertanya pada Haya yang tenang. "Lo beneran temenan sama dia?"

Haya tak pernah memikirkan mereka itu teman atau hubungan apa yang mengikat mereka. Jika dipikirkan, Haya tak paham hubungan mereka layak disebut sebagai apa. Jika memang teman, apa seorang teman harus membiayai hidup temannya?

Jika memang pertanyaan itu dijawab iya, maka—mungkin —mereka berteman.

Pada nyatanya saat hari Senin kembali datang, Yasa menjelaskan bahwa seorang teman yang layak disebut teman adalah mereka yang saling paham. Kemudian Haya tersadar bahwa dirinya tak terlalu paham dengan Yasa, begitupun sebaliknya.

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang