][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 15: biarkan terseret arus"Ayakasa Dheerandra, bukannya kamu dari kelas 1A6?"
Pertanyaan itu dijawab tanpa salah oleh si pemilik nama. "Nggak, Bu. Saya pindah kelas hari ini."
Meja yang ditempati Yasa disengaja untuk menyatu dengan milik Haya Helia. Katanya, "Gue pengin lebih dekat sama lo. Nggak rela lo deket sama Danish." Nyatanya, meja Danish saja dipisahkan jarak dengan meja Jemima.
"Saya tidak dengar kabar dari guru atau kepala sekolah tentang kamu. Apa kamu sudah punya surat izinnya?"
Yasa mengucap, "Hah?" Dalam hati, kepalanya memirinh dengan tangan mengusap tengkuknya. "Memangnya butuh, ya?"
Orang-orang di kelas menertawakan. Guru Kimia yang dikenal begitu serius itu kembali memjelaskan, "Iya, jika kamu tidak dapat persetujuan dari kepala sekolah, maka pintu ke luar menanti kamu."
"Oh, gitu, ya. Saya tinggal ketemu bapak kepsek aja 'kan, Bu?" Saat guru tersebut mengiakan, Yasa langsung berdiri. "Kalau gitu saya ketemu pak kepsek dulu, Bu," katanya sambil berjalan ke luar dengan senandungan yang membuat kelas kembali diisi gelak tawa.
"Yeayy, satu kelas sama Haya, sama Haya, yeay yeay yeay. Selamanya bareng Haya, Hayang kesayangan gua."
Begitu, Haya yang disebut dalam senandungan saja mencoba biasa saja kala orang-orang kian terbahak.
"Hei, hei, Haya. Lo pasti malu temenan sama dia, apalagi dia bilang selamanya. Gue harap lo kuat." Jemima terkikik.
"Haya, kalau dia bikin repot lo terus, lo pegang aja lehernya sampai mati, kalau nggak dipenggal aja bisa. Semangat!" Dhanis juga menahan tawa. Kata-katanya terselipkan dendam.
"Popcorn, popcorn."
Haya melirik perempuan di belakang. "Setuju?"
"Cookies," balasnya tersenyum.
"GAWAT, BU, GAWAT!"
Orang yang dibicarakan kembali.
"Saya nggak tau ruang kepala sekolah, Bu."
Sekali lagi gelak tawa menggema, beberapa orang mengejek pemuda berkacamata itu. "Oi, lo bukan murid baru lagi sampe nggak tau ruang kepsek segala." Rata-rata bilang hal demikian.
Meski diejek, Yasa tetap membalas, "Yakkan gue nggak tau, bro. Lo pikir gue wisata sekolah sampe harus tau sudut-sudutnya."
"Temannya bisa temani dia?"
Yasa memangu wajah takjub memandang guru Kimia yang juga mengajar kelasnya. "Wahh, Ibu ternyata baik, ya, saya kira galak-galak gimana ... gitu."
"Jadi, mana temannya?" Guru tersebut mengabaikan dan menunggu murid lain mengangkat tangan agar ia bisa segera membahas materi yang tertunda. "Sana ajak teman kamu," perintah beliau karena tak mendapatkan inisiatif muridnya.
"Hayanggg, ayo temani gue, teman."
Nada orang yang mendorong tubuhnya itu terdengar menjengkelkan. Lewat pintu belakang, Danish memegangi lehernya dengan mulut bicara tanpa suara. "Cekik dia sampe mampus, Haya."
Haya Helia tetap melangkah walau malas meski lift yang mereka naiki mulai membawa mereka ke lantai tiga. Di sana, Yasa ditanya berbagai hal untuk surat persetujuan pindah kelas. Tanpa diduga, jawaban Yasa yang memalukan didengarnya dan Kepala Sekolah terlihat memaklumi dengan alasan pernah merasakan masa muda—cinta.
"Saya 'kan cinta sama Haya sehidup-semati, setia. Saya nggak kayak buaya yang nangkring sana-sini cuma mau seneng-seneng, Pak. Saya cuma mau nyenengin Haya, selamanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adolescene: Haya Helia [Complete]
أدب المراهقين"Takdir hanya potongan kecil yang terjadi di masa lalu." Apa tak mempunyai teman dan selalu sendirian adalah bagian dari takdir yang diciptakan? Jika begitu, apa benar Haya Helia akan selalu sendirian dan kesepian? Jika sendirian dan kesepian hanya...