0.04 ][ sendirian dan kesepian

9 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 04: sendirian dan kesepian

Pagi ini masih sama, tetapi Haya menemukan orang yang meringkuk di bawah tangga paling bawah saat rumahnya cukup jauh dari sana. Hanya beberapa langkah saat orang dengan seragam yang sama itu berdiri dan menatapnya.

"Hayanggg!" teriaknya mendekat. Rautnya seolah dibuat-buat. "Kenapa lo lama, hah?!" Sedikit meninggikan suaranya, Haya masih menunduk tanpa menjawab.

Mengapa Yasa seolah menunggunya sangat lama dan menggigil dengan wajah pucat. Kedua tangannya disembunyikan di dalam celana. Eh, celana?

Jika orang normal tertawa melihatnya, Haya lebih memilih memalingkan muka. Yasa pernah bilang bahwa dirinya aneh, lantas apa boleh ia bilang bahwa Yasa lebih dari apa yang dikatakan-lebih aneh.

"Hayanggg!" teriaknya tepat di depan wajah Haya yang napasnya tercekat.

"I-iya?" Tak tahu respons seperti apa yang layak, Haya tak menemukan kata selain itu dengan tanda tanya di belakangnya.

"Lo sangat amat luar biasa lama, gue nunggu sampe kaki gue nggak bisa gerak. Dasar, cewek tuh ribet."

Yasa terlihat marah saat mendengkus dengan sengaja tepat di depan Haya. Kenapa orang ini? Haya juga ingat bahwa ia tak meminta Yasa menunggu, lantas apa yang cowok dengan kacamata itu lakukan.

"Kenapa kawasan rumah lo dingin banget sampe nusuk tulang gue? Syair aja sampai ngadu."

"Kenapa juga rumah lo harus naik tangga ditambah jauh dari sekolah, lo kuat jalan kaki?"

"Kenapa juga gue ke sini jam setengah enam pagi kalo lo ke sininya jam setengah tujuh? Lama gue nunggu."

"Gue kesel sama lo. Pokoknya kesel!"

Haya berdiam diri, membiarkan Ayakasa Dheerandra mengutarakan rasa kesalnya. Haya mengerti, tetapi apa yang diucapkan Yasa bukan salah dirinya. Tetap saja, Haya harus bicara.

"Em ... malam tadi hujan, jadi udara pagi di sini dingin. Kalau lo mau, gue bisa pinjemin jaket di rumah," jelasnya dengan suara dibuat setenang mungkin.

Yasa mengangguki dengan raut wajah yang masih kesal, kedua tangannya bersedekap di dada. Haya membalikkan badan hendak kembali ke rumah, tetapi pergelangan tangannya dicekal oleh tangan dingin Yasa.

Yasa memandang Haya. "Ke mana?"

"Rumah, ambil jaket."

"Ikut," ujarnya seraya mengambil langkah pertama. Menarik tangan Haya seolah Yasa tahu keberadaan kediamannya. Biarkan saja, mungkin orang yang rambutnya menutup sampai telinga itu akan lebih marah jika ia mengatakan sesuatu.

Kemudian, Haya dilepaskan saat mereka masuk rumah. Tak terlalu besar atau kecil, Haya meminta Yasa menunggu di kursi tunggal ruang tengah saat ia di kamar sebelah. Dia kembali kala melihat Yasa duduk dengan posisi terbalik, seolah rumahnya sendiri.

"Lo tinggal sendiri, ya?" Haya mengangguk saat Yasa memakai hoodie hitam yang diberikannya. "Rumah lo kosong, lo nggak kesepian?"

Haya merasa dia baik-baik saja meski sendirian.

"Gue selalu sendirian, jadi nggak kesepian."

Yasa berdiri saat memakai jas setelah hoodie di dalamnya, terasa hangat. Cowok dengan kacamata yang bertenger di hidung itu menarik kedua sudut bibir. "Lo nggak merasa kesepian karena lo selalu sendirian, Hayang."

Haya memang bisa melihat senyum Yasa, tetapi untuk pertama kalinya ia menatap cowok dengan kupluk yang menutupi kepala. Tatapan Yasa seolah mengerti, Haya langsung memalingkan wajah saat Yasa menatapnya lebih dalam. Malu, pipi Haya pasti bersemu.

"Kalo diperhatiin, lo nggak bisa natap mata orang, ya?" Yasa dengan sengaja menyejajarkan wajahnya dengan Haya yang refleks menutup mata. "Tatap gue sini," katanya saat kedua tangan cowok itu menangkup wajah Haya.

Tetap saja, Haya tak bisa menatap manik gelap milik Yasa. Sehingga, ia tetap mengalihkan pandang sebab tak terbiasa. Meski demikian, dia melepaskan diri dari Yasa perlahan.

"Kemarin gue juga sama, tapi kayaknya gue udah bisa natap balik mata orang, deh." Yasa memegang dagunya sendiri. "Tapi gue heran sama orang yang gue tatap, mereka malah kabur. Padahal gue bukan preman yang mau malak, 'kan?"

Haya merasa bersalah pernah berpikiran bahwa Yasa seperti preman. Namun, kenyataannya begitu. Terkadang, ia menjaga jarak dari cowok yang sedang mencari sesuatu di lemari dekat meja makan.

"Kemarin?" tanya Haya merasa ganjal setelah mendengar perkataan Yasa. Ia mengambil roti tawar dan selai di lemari bawah wastafel, lalu membuatnya untuk Yasa yang katanya belum makan dua hari yang lalu.

Tentu, Haya tak percaya.

"Hm, gue merasa lebih baik saat ketemu lo."

Saat Yasa mengatakan hal itu dengan tampang serius dengan suara rendah, Haya merasa aura Yasa berbeda.

"Bohong, haha."

Saat Haya sedikit percaya, Yasa menyangkalnya dengan tawa yang mengisi seisi ruangan.

Lagipula, Haya tak akan percaya dengan omong kosong itu. Sesuatu yang mustahil untuk membuat seseorang lebih baik hanya karenanya, tak mungkin.

Haya mengunci rumah setelah memberikan beberapa helai roti pada Yasa. Sekarang saat mereka kembali pada Syair yang tergeletak di aspal, cowok itu menyuruhnya membonceng Yasa dengan alasan yang sudah Haya pastikan hanya kebohongan.

"Kaki gue masih kaku, sekujur tubuh gue kedinginan, terus perut gue masih lapar, dan gue masih kesel sama lo karena nunggu lama."

Mau bagaimana lagi, tak apa. Lagipula ia tak akan mengayuh terlalu lama saat jalannya menurun. Namun, saat mencoba mengerem, ia kelabakan.

"Oh, iya, rem gue putus, jadi nggak jalan. Rem aja pake kaki."

HAH?!

Dengan santainya Yasa bilang demikian, tetapi Haya masih tak tenang saat kecepatan sepeda semakin membuat hawa dingin menusuk kulit. Haya ingin berteriak kencang di hadapan Yasa karena tidak memberitahukannya dari awal.

Tak habis pikir, mengapa Haya mengangguki usulan Yasa yang katanya ingin bertanggung jawab atas sepedanya yang telah rusak dengan mengantar jemput Haya setiap sekolah. Yasa bodoh, teriaknya dalam hati.

"Ahahaha, tadi itu nyaris banget nyerempet orang."

Haya dibuat kesal meski ekspresinya tak menunjukkan hal demikian.

"Apalagi pas tikungan di jalan raya, hampir aja tuh lo nabrak mobil orang, haha."

Terus saja bicara sampai mereka di parkiran belakang sekolah dan beberapa pasang mata memerhatikan.

"Terus pas belok masuk sekolah, lo beneran nabrak orang, haha."

Haya menoleh ke samping dengan eksresi sebal, seolah mengatakan agar Yasa tak kembali bicara.

Yasa mengangkat kedua tangan dengan ekspresi yang dibuat ketakutan. "Wuhh, gue takut, takut." Kemudian tertawa dan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal lalu sok akrab dengan menepuk-nepuk pundak Haya.

Haya memegang tangan Yasa untuk ia singkirkan, tetapi malah dicekal saat tawa cowok berkacamata itu berhenti.

"Kayaknya gue menyukai lo deh, Hayang."

Haya terdiam bahkan cekalan di tangannya berubah menjadi genggaman. Haya sampai menghela napas kala tawa tertahan Yasa meledak dan berkata, "Bohong, haha."

Yasa bodoh.

Ya, Ayakasa Dheerandra begitu. Sangat bodoh sampai membuatnya kesal hingga ingin melempar batu pada kepala Yasa yang berlari menjauh. Namun, Haya tersadar satu hal bahwa ia baru merasakan hal ini setelah enam tahun lalu.

Haya Helia menarik kedua sudut bibir hingga membuat lengkung senyuman.

-][-

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang