][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 20: jangan jalan sendirian"Diusir." Haya tersenyum canggung sambil mengusap pipinya dengan tekunjuk. Bukan tanpa sebab, hanya saja Han buru-buru mendorongnya ke luar setelah mengobrol sangat banyak.
Ketua kelas baru saja datang, mendapat kabar itu hanya pasrah dan kembali pulang. Namun, Haya mengabarkan sesuatu yang membuat dia bertanya berulang untuk memastikan.
"Beneran Han mau sekolah?"
Untuk kesekian kali, Haya Helia mengangguki.
Mereka memang membicarakan itu, hanya saja Han bilang ia tak akan masuk dalam waktu cepat. Katanya, "Gue butuh ngumpulin niat, tenaga, dan yang penting ibu belum beli seragamnya."
Aksen yang mendengarnya tertawa.
Ia bersyukur, meminta maaf, sekaligus berterima kasih pada Haya yang bilang tips membawa Ramadhan Alfarras hanya perlu saling bicara dan saling memahami.
"Gue nggak menyangka lo bisa banyak bicara, gue pikir lo sangat pendiam." Terkekeh pelan, Aksen melirik Haya. "Lo sangat bisa diandalkan, tapi kalau ada pendapat yang nggak bisa lo bilang sama orang lain, lo boleh bilang sama gue. Jangan jalan sendirian, kita temen 'kan?"
Jangan jalan sendirian.
Mendengar kalimat itu terucap membuat Haya tersenyum, tak lupa mengiakan dengan anggukan.
"Temen Haya cuma gue, Aksen Atlantis Musang."
Suara yang tak asing. Menyelinap di antara mereka, Yasa memberikkan tatapan peringatan pada orang yang namanya menjadi aneh. Aksen sempat berkomentar, tetapi nama yang disebutkan kian asing seperti bukan namanya. Biarkan saja, begitu kata Haya.
"Oh iya, Aksen. Kata Han, kita nggak perlu ke rumahnya sampai ujian mau dimulai." Haya memberitahu itu saat Yasa membuka toples kue dan mengambil beberapa. Bahkan menyuapkannya pada Haya dengan alasan. "Lo harus banyak makan, biar pipi lo bisa gue makan, ahaha."
Aksen tak memerhatikan Yasa, lebih baik tidak. Kemudian ia berkata, "Kalau begitu, dia masuk pas ujian dimulai, ya?" Mendapat anggukan dari Haya, dia berasumsi. "Memangnya dia punya banyak waktu buat belajar?"
Haya kembali menjawab, "Katanya dia liat video belajar kalau lagi bosen."
"Kalau nggak bosen?"
"Dia nggak belajar," papar Haya memiringkan kepala dan terkekeh kecil.
Ujian untuk pergantian semester memang tak lama lagi, sehingga Haya dengan Jemima serta yang lain kembali belajar saat jam makan siang waktu sekolah. Danish mengajarkan Haya, Jemima, Saaya pelajaran Fisika saat Aksen dan Najla—yang bergabung karena bosan—belajar masing-masing. Sedangkan, Yasa yang selalu dimarahi Danish sedang ada panggilan ke ruang kepala sekolah.
"Setengah jalan punya lo udah bener, tapi ini salah di perkalian akar sama pembagian. Lo bisa ulang di sini." Setelah dikoreksi Ramadhanis Mayja, Haya memperbaiki kesalahannya.
Tak lama dari itu, Yasa datang dengan wajah merah menahan marah. Rambutnya yang lebih panjang dari cowok lain itu berantakan, tangannya berada di dada, serta ekspresinya sudah seperti preman beneran.
Haya bergeser begitu cowok itu duduk di sebelahnya, memeluk lehernya dari samping. Perempuan yang rambutnya selalu diikat rendah itu dibuat terkejut, mencoba melepaskan Yasa dengan memegang tangan pemuda ini.
"Hayangg," rengeknya.
Orang-orang disatu meja itu dibuat heran.
"Hayangg." Rengekkannya lebih panjang, bahkan disertai isak tangis layaknya anak kecil.
"Cih, bego!" Suara penuh kebencian itu datang dari Dhanis hingga Ayakasa Dheerandra langsung menyahut, "Apa lo, goblok?!"
Dapat respons menyebalkan seperti itu membuat Dhanis naik pitam. "Anying, Yasanjing. Lo ngajak ribut." Ke luar dari tempat duduk, pemuda berambut hitam berponi itu langsung menoyor Yasa tepat di atas kepala. "Berisik lo! Kalau cuma mau ganggu belajar, mending lo pergi malak orang sana."
"Gue nggak malak, adek kelas gue pada baik sampai mau kasih duit."
"Cih, muka lo itu udah kayak monster, ya wajar."
"Hah!" Panggilan itu lama tak ia dengar, lantas kepalanya menoleh ke arah Jemima Rasendrya yang berpura-pura menghitung angka. "Lo ngajarin si bodoh ini nyebut gue gitu, ya?"
Jemima menggeleng, hingga rambut yang sedikit bergelombang diikat tinggi dengan poni yang dijepit itu bergerak mengikuti arah. Matanya tak memandang Yasa, seolah beraalah saat pensil yang ia pegang bergerak memutar berulang.
"Gue cuma cerita kalau lo kayak Moster yang nggak bersyukur punya temen kayak Haya, nggak tau malu sama Haya, bahkan lo selalu repotin Haya—kata Dhanis."
Yasa langsung melirik cewek di sampingnya, lalu kembali terisak dan memeluk Haya. Melupakan Dhanis yang mengumpat hingga Aksen bertanya mengapa cowok itu dipanggil ke ruang kepala sekolah.
Namun, Yasa malah menjadi. "Hayanggg, gue nggak rela kalau gue harus potong rambut."
Jadi, itu masalahnya.
"Padalah keren 'kan kalau gue ikut kayak gini?" Yasa memegang rambutnya yang seperti diikat ke belakang. Dilihat-lihat, boleh juga, hanya saja lebih menyeramkan dua kali lipat, pikir Haya Helia.
Haya menjawab, "Iya." Saat yang lain terpaksa menjawab demikian, kecuali Dhanis yang memanas-manasi. "Mau digimana-gimanain, lo sama sekali nggak keren."
Yasa menatap perempuan yang ia suka di sampingnya. "Lo denger orang yang ngomong, nggak?"
Saat itu juga, buku yang dibuat layaknya pemukul itu mendarat di kepala Yasa. Ia mengaduh sakit dan minta diusap oleh Haya agar rasa sakitnya cepat hilang. Semua orang mencibiri Ayakasa Dheerandra.
"Cekik aja dia sampai mati, Haya." Dhanis menyarankan hal demikian, sedangkan Jemima menunjukkan kedua jempolnya sambil bilang. "Urat malu lo nggak putus, 'kan?" Seolah Yasa sangat memalukan hanya untuk ini.
Sementara, Aksen masih tak percaya dan bertanya, "Apa kalian emang sedeket itu?" Dan Saaya menuliskan ini. "Aku menyetujui keputusan kamu yang mana pun."
"Orang bodoh."
Suara asing itu—Najla Nijima—menyita perhatian Yasa, orang yang tak pernah ia undang datang dengan sendirinya. "Lo keberatan gue bodoh?" tanya Yasa tak bersahabat, apalagi setelah melihat bagaimana rambut sedikit bergelombang tanpa poni milik perempuan itu.
"Seharusnya lo nggak perlu pindah kelas, ngalangin pemandangan."
"Kenapa nggak sekalian bilang gue sampah aja, kayak yang lo bilang sama Jemima." Sudut bibirnya sengaja Yasa tarik dan hal tersebut membuat Najla mendengkus dan tak meladeni lagi.
Kembali belajar lagi sebelum sepuluh menit dering bel masuk terdengar di sepenjuru sekolah. Yasa memang mendengar Aksen menjelaskan pembelajaran, tetapi dua menit kemudian terhenti saat Yasa mengajak Haya untuk ikut memotong rambut.
"Bisa nggak sih lo kalo mau lakuin sesuatu jangan ngajak-ngajak orang? Nanti Haya keberatan kalau lo maksa."
"Gue nggak maksa," ketus Yasa meladeni. "Gue nggak maksa 'kan, Haya?" tanyanya langsung pada orang yang disebutkan.
Haya menggeleng, Jemima yang tadinya membela merasa ditusuk dari belakang. Haya menjelaskan lebih spesifik. "Gue juga udah lama nggak potong rambut, kepanjangan."
Yasa menjulurkan lidah, merasa menang.
"Lo harus diponi, ya, Hayang. Biar gue makin suka sama lo."
-][-
KAMU SEDANG MEMBACA
Adolescene: Haya Helia [Complete]
Teen Fiction"Takdir hanya potongan kecil yang terjadi di masa lalu." Apa tak mempunyai teman dan selalu sendirian adalah bagian dari takdir yang diciptakan? Jika begitu, apa benar Haya Helia akan selalu sendirian dan kesepian? Jika sendirian dan kesepian hanya...