0.08 ][ makna hidup dan manusia

4 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 08: makna hidup dan manusia

Ramajava Ansha, wali kelas Haya memukul kepala orang yang disebut adiknya itu dengan keras. Kemudian dibuat menunduk paksa ketika mengucap, "Dia ini bodoh, jadi saya meminta maaf karena merepotkan kalian."

Haya tak pernah berpikir orang yang disebut Yasa si Pencuri Bodoh itu adalah Adik dari wali kelasnya. Dunia memang tak berjarak, tak bisa ditebak sebagaimana semesta bekerja, dan dunia selalu dihubungan dengan suatu ikatan.

"Bodoh, lo itu bodoh, bodoh," ejek Yasa mengulang kata yang sama dengan ekspresi menyebalkan.

"Berisik lo, Yasanjing!"

"Goblok lo, ya ...," jedanya sambil menoleh pada Pak Java yang menoyor Adiknya karena berkata kasar. "Nama dia apa, Pak?" tanyanya.

"Kenalin diri kamu sana. Haya bakal jadi teman kelas kamu nanti, makanya kamu harus masuk sekolah."

"Beneran?" Diangguki Java, cowok yang rambutnya lebih rapi dari sebelumnya itu melirik Yasa dengan gelagat mencurigakan. "Hahaha, gue punya kesempatan buat curi Hayang lo dari lo, nih."

"Nggak, nggak, nggak, Hayang cuma punya gue. Nggak akan biarin lo rebut dia dari gue. Ya 'kan, Hayang?"

Hati Yasa seketika remuk karena tak mendapat respons, bahkan ditatap sekalipun tidak. Diabaikan untuk kedua kalinya, Yasa kesal. Namun, dia tak akan membuat Haya marah lebih daripada ini.

Sebentar, apa Haya benar-benar marah?

Dilihat dari arah berlawan dengan Haya saja, cewek berambut gelap itu tampak seperti biasa—mengalihkan tatap kala bicara. Lantas, apa yang harus ia percaya bahwa Haya mengabaikannya?

Untuk saat ini, ia hanya marah karena Haya menerima jabat tangan dengan orang yang memperkenalkan diri. "Gue Ramadanish Mayja, boleh dipanggil Danish. Khusus untuk lo, lo boleh panggil gue Sayang." Kedipan mata cowok itu membuat Yasa naik pitam sampai ingin memotong lidah Danish hingga tak bisa bicara macam-macam pada Haya.

Haya hanya miliknya. Orang asing seperti Danish tak boleh memilikinya. Sangat tak boleh.

"Kalian mau makan? Untuk ucapan terima kasih, saya akan mentraktir kalian."

Yasa antusias dan mengangkat tangannya. "Saya mau nasi padang pake rendang." Sementara, Haya memilih tak memesan dengan alasan ia akan pulang sebentar lagi. Gurunya merekomendasikan makanannya untuk dibawa pulang. Haya tak punya alasan untuk menolaknya.

Ketika ditinggalkan Java, Yasa dan Danish kembali bertengkar. Mengungkit kejadian di mini market.

"Lo menembak gue tiga kali, nusuk gue satu kali, seharusnya lo wajib minta maaf," papar Danish masih menuntut maaf. Yasa membalas, "Lo juga hampir nembak Hayang. Lo pikir lo dimaafkan?"

"Gue udah minta maaf sama orangnya. Ribet amat lo, masalah kecil dibesar-besarin." Danish mendengkus ketika membuka kulit jeruk.

"Lo abadi, 'kan? Menembak lo tiga kali nggak akan berasa sakit buat lo, lalu apa masalahnya?"

Danish menyuapkan jeruknya. "Selama gue baik-baik aja, gue nggak masalah."

"Jadi, lo nggak benar-benar ingin mati, ya?" Karena Haya tiba-tiba bicara, kedua cowok itu menatapnya. Ia jadi merasa salah bicara. "Ah, maksudnya itu ... lo pernah bilang kalau manusia itu seperti mesin 'kan, kenapa?" Haya hanya penasaran, penyusunan katanya berantakan lantaran gugup.

Haya sangat payah jika bicara, apalagi dengan orang yang baru ia temui.

"Emangnya lo nggak berpikiran manusia itu mesin?" Haya menggeleng. "Mereka itu tanpa sadar dikendalikan sama hal-hal sekitarnya, mudah dipengaruhi, dan mereka terlihat bodoh di depan orang yang derajatnya lebih tinggi."

"Lo termasuk mesin itu?"

Danish merubah mimik wajahnya menjadi datar. "Kenapa lo berpikiran gitu?"

"Terus kenapa lo ingin mati?"

"Gue cuma berpikir bahwa dunia itu busuk, nggak berguna, sampah, bahkan seperti neraka," jelasnya disertai decihan.

"Tapi lo hidup, Danish. Manusia merasakan sakit, tanda bahwa mereka hidup," jedanya, "Sebenarnya ... lo takut mati, 'kan? Tapi faktanya kematian pasti melahap lo pelan-pelan. Kenapa lo nggak menunggu kematian selagi lo sendiri membuktikan bahwa dunia benar-benar busuk?"

Danish kembali berdecih seraya memutar bola mata malas. "Dilihat aja udah jelas."

"Lo nggak bisa nilai sesuatu cuma sekali liat. Lo ini beneran bodoh, ya? Hidup lo nggak berguna kalo cuma mau senang-senang, cari makna hidup lo." Yasa berdecak sebab kesal dengan tingkah Danish yang tak menerima pendapat Haya, perempuan di depannya itu terlihat kebingungan sendiri setelah menyampaikan isi kepalanya.

"Memangnya lo sendiri menemukan makna hidup, Yasa?" Danish menyeringai meremehkan. Ah, Yasa paling tak suka ekspresi itu.

"Setidaknya gue nggak ingin mati tanpa nyesel, nggak seperti lo. Gue sendiri masih nyari makna hidup, tapi gue yakin satu hal kalau pertemuan gue sama Haya pasti menuntun gue menemukan hal yang gue cari."

Danish beralih pada Haya, mengerjap pelan. "Lo sendiri menemukan apa, Haya?"

"Gue nggak terlalu paham, tapi ayah bilang menjadi baik akan membuat lo lebih baik. Mungkin itu cukup." Haya tersenyum kecil karena merasa pendapatnya mungkin tak sesuai ekspetasi. "Danish, em mungkin dengan hidup lo bisa menemukan sesuatu, sesuatu yang berharga."

"Menarik." Danish menarik kedua sudut bibir dan melirik Yasa yang memerhatikan. "Hayang lo emang menarik, boleh gue curi, ya."

Yasa langsung naik pitam. "Awas lo ya kalau macem-macem."

Bertepatan dengan itu, Java kembali dengan dua makanan yang terbungkus. Beliau berterima kasih sekali lagi saat mereka berdua berpamitan. Danish juga bilang sesuatu yang membuat Java tertawa karena terlalu senang.

"Mungkin gue bakal mulai masuk sekolah. Tunggu gue Haya, lo harus menuntun gue cari kebenarannya."

Haya mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Jika dipikirkan, ia seperti bicara sesuatu yang keren. Dia memang tak terlalu mengerti soal dunia yang dibicarakan Ramadanish Mayja, tetapi ia akan menemukan jawaban dari ucapannya.

"Haya, kenapa lo menolong dia? Gue lebih suka dia mendekam di penjara."

"Berarti lo juga akan berakhir sama. Dengan kasus percobaan pembunuhan."

Yasa tak bisa mengelak. Memang hal itu didasari dengan bukti.

Satu hal yang pasti, gadis di sampingnya ini bicara serius, tanpa gagap sebab gugup seperti percakapan-percakapan mereka sebelumnya.

Menarik.

Haya Helia memang menarik perhatian—seperti kata Danish, atensinya tak ingin lepas dari Haya Helia, dan orang yang saat ini berdiri tegap di sisinya seolah membulatkan tekad untuk sesuatu yang akan datang.

Tanpa sadar, Yasa menarik sudut bibir ketika membenarkan letak kacamata bulatnya. Kemudian menyimpan kedua tangannya di belakang kepala sambil bertanya, "Hayang, lo nggak marah sama gue, 'kan?"

Haya mengulang, "Marah?"

"Iya, cewek kalau marah pasti diem-dieman 'kan? Terus gue pernah baca juga kalau orang pendiam yang marah itu lebih nyeremin dari orang normal."

Haya pernah membaca hal itu meski pada nyatanya ia tak suka membaca buku, tetapi yang dirinya yakini hanya satu hal: hanya ini yang bisa ia lakukan.

Gadis berambut hitam itu menoleh pada Yasa. "Gue nggak ma–marah." Rasa gugupnya kembali karena merasa mata Yasa terus mengawasi.

"Cuma takut," ujarnya memperjelas seraya mengalihkan pandangan.

Yasa memiringkan kepala. "Takut?" Telunjuknya ada di dagu, berpikir.

"Takut kalau suatu saat lo akan menikam gue kayak gitu."

-][-

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang