0.16 ][ kita yang tak jauh beda

3 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 16: kita yang tak jauh beda

Satu minggu terasa sia-sia.

Tak ada hasilnya, kemungkinan berhasil seperti tak mungkin.

Berpamitan pada Ibu Ramadhan Alfarras untuk pulang.

Orang yang mereka tuju bahkan tak pernah ke luar kamar untuk menyapa atau sekadar berkenalan.

Haya tak mengharapkan untuk berjabat tangan, setidaknya orang yang dipanggil Han itu harus tahu bahwa ada orang yang menunggunya. Terlebih, ia merasa tak enak hati pada Ibu Han yang selalu baik menyajikan makanan atau menceritakan banyak hal tentang pemuda itu.

Tak ada artinya ia dan Aksen datang bila tak ada hasilnya.

Sekali lagi, mereka mencoba datang.

Kali ini Ibu Han bekerja saat sore dan menitipkan anak semata wayangnya pada mereka.

Seolah sudah direncanakan, untuk pertama kalinya mereka dipertemukan. Seperkian detik, orang yang mengenakan baju tebal masuk kamar. Nyaris tertutup rapat jika saja Yasa tak membiarkan kakinya terjepit pintu.

Sejak kapan cowok itu ada di sini?

Yasa memang sering ikut bersamanya, kali ini katanya cowok berkacamata itu ada urusan.

Apa ini urusan yang Ayakasa Dheerandra katakan?

Sebuah omomg kosong, seharusnya Haya tak percaya begitu saja.

"Heh, lo bikin Hayang gue murung terus karena mikirin lo." Yasa tak berbasa-basi dan seenaknya marah, Aksen sampai menepuk bahu orang di sampingnya dengan senyum yang dipaksakan. Memperingatkan.

"Gue nggak minta lo semua datang." Han mendorong pintu, Yasa mencoba menahan atas perintah Aksen meski mengadu kesakitan pada Haya.

Aksen bicara dengan tenang seperti biasa. "Bisa kita bicara?"

"Nggak. Sebaiknya lo semua pulang. Gue nggak mau masuk sekolah meski kalian selalu datang seribu tahun kemudian." Han jelas menolak.

"Jadi lo beneran nggak mau sekolah?" Aksen membuat atensi kedua orang di sisinya tersita karena nada bicaranya serius. "Oke, gue masih nggak paham alasan lo, makanya gue ingin mendengarnya."

Sekali dorong, pintu cokelat itu terbuka lebar.

Han mundur begitu ketiga orang yang mengenakan seragam khas Skyline School masuk, melihat kamarnya yang berantakan. Beberapa kantong sampah layaknya gunung di samping pintu, tak ada cahaya selain dari gorden yang terbuka sedikit, serta tak ada pengharum ruangan sehingga bau sampah tercium tak sedap.

Yasa mengendus bagian tubuh yang bisa dicapainya.

"Hayang, gue bau, ya?"

Aksen menahan tawa mendengarnya, sikap serius seolah menghilang.

Ramadhanis Mayja selalu bilang bahwa Yasa bodoh ketika mengajari, apa memang sebodoh ini? Pikir Aksen.

Haya menggeleng saja.

"Jadi, gue Aksen sebagai Ketua Kelas 1A5 dan di samping gue ada Haya sebagai Wakil gue. Di sebelah kiri bukan siapa-siapa selain seperti orang yang lo pikirkan."

Aksen hanya menutupi hal yang tak dimengerti Yasa.

"Dia orang bodoh," pikir Ramadhan Alfarras sambil duduk di kursi hitam yang memiliki roda. Tak ada guna jika ia mengusir mereka ketika orang yang menyebut dirinya Ketua Kelas memiliki kekuatan yang tak bisa ia lawan.

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang