0.17 ][ perasaan hampa

3 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 17: perasaan hampa

Satu hari sebelum kembali ke rumah Han dan saling mengenal nama masing-masing.

Saat ini, si Ketua Kelas sibuk persiapan untuk ujian dan Haya yang melihat di bangku perpustakaan juga demikian, meski pada nyatanya Yasa terus mengoceh menghitung angka-angka tanpa henti hingga dirinya tak bisa berpikir jernih.

Memikirkan satu minggu yang sudah ia lewati untuk mengajak Ramadhan Alfarras kembali bersekolah.

Cara lain mengajak Han kembali sedang ia pikirkan. Meski kenyataan bahwa jawaban tak bisa ditemukan layaknya soal yang ditanyakan Yasa sebelumnya.

"Haya, jangan kasih tau jawabannya sama si bodoh ini, dong." Danish menegur ketika melihat buku catatan Ayakasa Dheerandra. Cowok yang dimaksud malah cengegesan.

Haya tak tahu jika mereka sedang latihan soal. "Maaf." Hanya itu yang terucap.

"Hayang, lo ngelamun terus. Jangan mikirin si Han kalau ada gue di sini. Mending ajarin gue aja."

Perempuan ber-sweater abu gelap itu melirik pemuda di depannya saat memangku dagu, matanya tak sengaja bersitatap dan langsung berpaling. Untuk sejenak, Haya sadar bahwa cara pandang Yasa memang tak suka, tetapi ia tak paham mengapa.

Haya hanya berpikir bagaimana cara bertemu Han dan saling bicara. Cara itu pasti berguna untuk rencana ke depannya. Itu saja, mengapa Yasa terasa berlebihan?

Seperti yang dibilang Ayakasa Dheerandra, Haya mengajarkan pemuda itu memecahkan soal yang ia pahami caranya. Meski Yasa tak langsung paham, cowok itu tetap mencoba mengerti jalannya dengan mengingat.
Kemudian, saat dites Dhanis sebelum mengakhiri kegiatan belajar bersama, cowok yang rambutnya menutup telinga itu berkata, "Liat muka si Dhanis bikin otak gue jadi blank."

"Hah, lo ngajak berantem?" Dhanis menarik kerah Yasa sebelum dipisahkan Aksen, lalu saat ditanya dengan benar bagaimana rumus yang dipelajari, Yasa menjawab, "Gue lupa, aha ha." Tawanya garing.

Haya tak habis pikir setelah materi yang diajarkan dijelaskan berulang, bahkan saat itu ekspresi Yasa terlihat meyakinkan—paham.

Saat pulang sekolah setelah mengikuti perkumpulan klub Sastra untuk kedua kalinya, perempuan yang sudah bersiap bekerja itu kembali melayani para pelanggan yang berbelanja. Termasuk orang yang mengenakan tudung hoodie serta masker yang tiba-tiba saja berlari karena tak sengaja tertabrak seseorang di rak kedua.

Haya harus membereskan barang atau makanan yang cowok itu hendak beli. Kembali ke kasir, Haya menghitung belanjaan orang di depannya.

"Dunia ini penuh sama orang aneh seperti lo, Haya."

Najla Nijima bicara dengan santai saat Haya mengambil kembalian di laci meja kasir. Ia tak perlu menanggapi, bukan?

"Lo beneran manfaatin si Jemima, ya?" Najla bertanya dengan sunggingan kecil di sudut bibir. "Ah, iya, iya, lo berdua 'kan sama-sama orang yang kesepian, jadi pantas aja kalau saat ini saling nyebut teman karena kalian menginginkannya, 'kan?" Najla terkekeh menyadari fakta kecil itu.

Haya berpendapat. "Kesepian sama sendirian itu beda."

"Apa?" Najla mendelik pelan, "dua hal itu cuma beda tipis. Sendirian itu jelas bakal nimbulin kesepian, kalau kesepian bisa datang karena lo nggak punya teman. Apa gue salah?" Perempuan dengan balutan jaket denim itu mengangkat alisnya.

Memang tidak salah, tetapi Haya merasa ada yang salah.

Bukan pada pendapat Najla, tetapi pada dirinya.

Selama ini, Haya merasa tak memiliki perasaan seperti dua hal yang disebutkan.

Hanya saja, kedua hal itu terasa dekat dengannya.

Ia merasa lebih hampa jika dibandingkan dengan kesepian ataupun sendirian. Terasa sudah biasa dengan perasaan yang tak asing untuk dirasa.

Apa ia sungguh—sangat—kesepian hingga merasa demikian?

"Biar gue beritahu satu hal." Haya mengikuti arah yang ditunjuk orang di hadapannya. "Rumah gue di sana. Jika sesuatu terjadi, gue akan tau dengan cepat." Najla mengatakan hal yang tak langsung dipahami Haya Helia.

"Apa yang gue liat nggak akan pernah membohongi gue. Sama seperti kejadian di sini waktu itu, gue melihat semuanya."

Waktu itu?

Haya mengulang dalam hati dan mengingat sesuatu.

Kemudian, netranya menatap iris gelap milik perempuan di depannya sebelum berkedip memastikan sesuatu.

"Lo nggak bohong?"

Najla berdecak, "Gue nggak pernah bohong kalau mau sesuatu, dasar aneh."

Haya Helia melakukan pekerjaan dengan lancar sampai Pak Oya datang dan memberikan makanan yang kata beliau adalah buatan anak bungsunya. Haya dengan senang menerima dan berterima kasih, sehingga besoknya ia akan berbalas budi sebelum pergi ke rumah Han untuk satu minggu terakhir yang tak ada hasilnya.

Bahkan saat pertama kali bertemu, Haya sudah memikirkan cara lain agar Han bisa masuk sekolah. Mengirim surat saat si Ketua Kelas sendiri mencari kesempatan lain.

Saat pulang, Haya menemukan seseorang di teras rumah sedang memeluk kakinya sendiri serta sosok lain di sampingnya yang duduk tegap. Jarak mereka tak bisa dikatakan dekat, Haya berkedip heran.

"Hayangg, kenapa lo lama banget pulangnya?"

Yasa berdiri dan menghampiri, Saaya ikut melakukan hal serupa.

Haya rasa, ini masih menunjukkan pukul delapan malam meski di tangannya tak ada jam. Jam kerjanya selesai seperti biasa. Kemudian, Haya mengajak kedua orang itu masuk meski tak tahu tujuan keduanya.

Saaya memberikan catatannya. "Aku ingin berterima kasih karena akhir-akhir ini aku merasa senang bersama kalian. Rasanya hangat."

Haya tersenyum kecil. Ia sadar bahwa dirinya tak banyak melakukan apa pun yang membahagiakan. Menjalani hidupnya yang biasa saja. Entah kapan pemikiran itu, tetapi percakapannya dengan Najla beberapa jam yang lalu membuat pikirannya berfokus pada hal itu—kesepian dan kesendirian.

Haya sangat hampa.

Itu yang ia yakini.

Namun, orang yang tengah memotong wortel menjadi persegi itu menjawab setelah mendengar pertanyaan Haya Helia. "Gimana kalau gue tunjukkan bahwa lo nggak akan kesepian lagi?"

Yasa tersenyum lebar kala melihat Haya yang tak keberatan jika jawaban gadis itu dianggap iya. "Seiring waktu gue bisa nunjukkinnya. Makanya, lo harus sama gue selamanya, Hayangg." Yasa mencubit pipi Haya yang tak terlalu berisi itu dengan gemas.

Garis lengkung di bibir Haya tercipta.

Yasa menyadarinya dan mengatakan, "Senyum lo bikin hati gue lumer. Kenapa lo nggak senyum tiap hari aja?"

Haya mengulang dalam hati. "Kenapa?" Ia hanya merasa senang, karenanya lengkungan yang ia ciptakan terukir.

Seperkian detik, tangan Yasa yang memegang pisau melambai kanan-kiri. "Nggak, nggak, nggak, nggak boleh. Orang lain nggak boleh liat lo senyum lo, nanti memeleh."

Haya meletakkan masakannya ke piring saat sudah matang dan menyajikannya di meja ruang tengah. Saaya dan Haya sudah di sana saat Haya baru saja selesai membersihkan dapur.

"HAH?!" Yasa berteriak dengan wajah menyeramkan kala memandang perempuan di depannya. Catatan yang Saaya berikan membuat Haya yang baru saja membacanya mengernyit.

"Aku membenci kamu, Yasa."

Di kertasnya tertulis seperti itu.

"Karena kata Dhanis kamu sering merepotkan Haya,
aku jadi membencimu. Meski demikian, kamu memang terlihat merepotkan meski wajah kamu seram."

"HAH?!"

Kedua kalinya Yasa berteriak setelah melihat tulis tangan milik Saaya.

-//-

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang