0.21 ][ status merupakan teman

3 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 21: status merupakan teman

Haya Helia mengepel lantai kelas bagian belakang setelah disapu. Jadwal piket pembersihan kelas memang sudah ditentukan, hanya saja orang yang satu jadwal dengannya tak melaksanakan tugas. Bahkan, beberapa orang sengaja disuruh pulang oleh orang yang duduk di meja sambil menyilangkan sebelah kakinya dan bersedekap.

Najla Nijima terkekeh angkuh ketika kaki jenjangnya menyentuh tempat air dan pel hingga isinya berceceran di lantai.

Haya membersihkannya, lagi.

Untuk ketiga kalinya, ia tetap bungkam.

Memangnya apa yang terjadi jika ia keberatan?

Tak ada. Jawaban itu sangat pasti.

"Dengar, Haya. Teman-teman lo itu sangat sampah, dekat dengan mereka membuat gue jijik, apalagi dengan lo," jelasnya meski tak diminta.

Sedaritadi, Haya bertanya dalam hati mengapa Najla tidak melakukan tugas piketnya dan menyuruh-nyuruh. Meski logika mengatakan demikian, otaknya tetap menjawab, "Karena lo ada di bawahnya."

Sama seperti saat ini, kala Haya berjongkok memindahkan air. Sangat rendah, tetapi Haya merasa baik-baik saja. Itu saja sudah cukup.

"Teman gue bukan sampah."

Yang dikatakan Haya itu dibantah Najla. "Istilah sampah kumpulnya sama sampah 'kan memang bener, Haya? Gue salah?"

Tak ada yang salah di kalimatnya.

"Jika teman gue adalah sampah, apa Aksen juga termasuk?"

Najla langsung menyanggah, "Bukan. Aksen jelas berbeda. Dia berada jauh di atas lo, nggak bisa lo gapai."

Haya mengangguk merasa Najla Nijima benar. Aksen Athalan Musyary memang predikat murid terbaik, tak akan bisa ia satu jajar dengan pemuda itu. Lantas, memangnya menjadi teman butuh sebuah status?

Ia langsung bertanya pada Jemima Rasendrya saat orang-orang yang disebut sampah oleh Jemima ada di rumahnya. Entah kunci rumahnya dari mana, hanya saja ia mencurigai Ayakasa Dheerandra yang cengegesan begitu ditanya.

"Gue gelandangan, Hayang. Gue butuh tempat berteduh."

Haya mengiakan saja, kemudian menaruh perhatian pada Jemima yang kembali dari dapur dengan mangkuk berisikan mi berkuah merah.

"Menurut gue, teman itu nggak butuh status. Gue pikir teman itu setara. Nggak ada yang beda, iya 'kan, Danish?" Cewek yang poninya dijepit ke belakang itu menoleh pada Ramadhanis Mayja yang membaca komik dan mengangguk terharu serta bilang. "Gue pikir Jemima bodoh karena nggak peka."

"Jangan samain gue kayak Monster—Yasa, dong." Jemima dan Danish terkikik dan orang yang disebutkan menoleh tak paham saat mulutnya penuh dengan mi yang diambil dari mangkuk Jemima.

Si pemilik langsung menoyor dan Yasa kabur ke samping Haya.

"Minta yang bener Yasa, nggak sopan ambil makanan orang tanpa izin." Haya mengingatkan dan Yasa mengangguk menurut dan meminta pada Jemima meski perempuan itu tak memberikannya.

Yasa mendecih karena itu.

"Yah, kalau temenan sama Najla emang liat status. Nggak satu level, gue dibuang." Jemima tertawa miris. "Tapi gue pikir, temenan kayak gitu nggak bakal tahan lama," sambungnya.

Danish bertanya pada Aksen yang selesai berbicara dengan seseorang di telepon. "Lo sama Najla kayak deket, gimana tuh ceritanya?"

"Kita ketemu di tempat les. Gue pikir Najla cuma butuh teman ngobrol," jawabanya sambil berdiri dan menyimpan tasnya di sebelah bahu. "Gue harus pergi les, bokap bisa marah kalau gue bolos. Kapan-kapan aja gue bolos bareng kalian, ya." Aksen pamit duluan.

Disusul Ramadhanis Mayja dan Saaya Naisha yang pergi ke Agensi Detektif. "Gue sama dia mau cari informasi soal kejadian tempo hari yang bahas mobil meledak tiba-tiba."

"Kerjaan Danish berat, ya, Haya?"

Haya mengangguk setuju. Ia mungkin tak bisa memecahkan kasus yang ramai dibicarakan itu, kekehnya.

Orang yang dibicarakan kembali dan mengatakan, "Dan lo Yasanjing, kalau nggak masuk 200 besar maka acara barbeque-nya gue batalin dan gue bakal siksa lo sampai puas."

Yasa berkedip karena ekspresi Danish menyeramkan, tak main-main. "Yosh," jawabnya mengiakan, lalu bertanya, "Kalau Jemima mau lo siksa?"

Danish kembali menjawab saat Jemima menatapnya dengan mata berbinar. "Gue nggak mau temenan lagi," katanya dengan raut datar.

"Iya, iya, gue belajar." Jemima langsung membuka buku dan menyimpan makanannya di meja. Membaca dengan keras hafalan hingga Danish tersenyum dan pamit pergi.

Menyisakan Jemima yang belajar, Haya yang diam tak melakukan apa pun, dan Yasa yang membuat dapur berantakan karena ingin makan. Jelas, cowok itu melarang Haya membantu karena dia ingin membuatkan makanan enak untuk Haya Helia.

"Lo masak apaan, sih? Item amat sampe ada yang kayak pasir segala." Jemima mengoreksi melihat masakan Ayakasa Dheerandra di atas piring. Yasa mencibir tanpa suara dan berdalih, "Gue ngasih buat Haya, bukan buat lo."

Haya tak yakin akan ada rasa garam atau bumbu lain selain pahit. Sebelumnya ia bertanya, "Lo udah cobain?"

Yasa menggeleng. "Masakan gue buat lo, lo yang cobain, dong."

"Ehh ... oke?" Haya mengambil sedikit dan menyuapkannya. Rasa pahit karena terlalu lama digoreng ini membuatnya minum terlalu banyak dan lama hilang selain memakan mi yang disodorkan Yasa.

"Oke, gue makan ini aja." Yasa menyuapkan mi lahap dengan tampang datar dan begitu santai.

Tak habis pikir, Jemima tak menyukai Ayakasa Dheerandra karena ini—tak tahu malu dan melimpahkan sesuatu pada orang lain.

Setelah makan, mereka belajar bersama saat Yasa terus bertanya sejak kapan dinousaurus hidup dan kapan hewan besar itu punah. Karena Yasa berisik, Jemima menelepon Aksen untuk membuat cowok itu diam.

"Gue nggak ganggu lo, 'kan?" tanyanya memastikan saat tersambung.

"Aksen, bisa minjem garpunya sebentar?"

"Eh, lo lagi sama Najla?" tanyanya lagi.

"Iya, gue lagi istirahat di tempat les."

"Siapa yang telepon? Temen-temen payah lo?" Suara Najla Nijima terdengar menyebalkan di telinga Jemima.

"Mau kumpul sama mereka lagi, Naj? Setelah ujian kita ada acara di rumah Haya, nanti lo bisa lihat mereka nggak seperti yang lo pikirkan."

Aksen Athalan Musyary membuat Jemima terlena karena cowok itu begitu pengertian, pasti saat ini Aksen tersenyum meyakinkan hingga Najla Nijima terdengar mengiakan.

"So, Jemima, apa yang mau lo tau?"

Jemima bertanya perihal si dinousaurus yang ditanyakan Yasa, kemudian pemuda yang sempat banyak bicara itu mengangguk-anggukkan kepala setelah mendapat jawaban.

"Terus ... cepetan para utusan Tuhan atau dinousaurus yang ada di bumi?"

Jemima mendecih sebab Yasa bertanya setelah sambungan telepon terputus.

"Bodo amat, gue ngebenci lo Yasa. Lo sangat very very nyebelin." Jemima terdengar tak jelas bicara apa.

Haya Helia yang sedaritadi diam tak melakukan apa pun selain mendengarkan itu menarik sudut bibir hingga membuat lengkung senyum. Yasa yang membaca buku ke luar sebentar karena seseorang mengetuk pintu. Cowok itu tak melihat siapa pun di sana selain map cokelat di lantai.

"Hayang, ada ini di depan pintu, tapi orangnya nggak ada." Yasa memberikan itu pada Haya yang menerima meski kebingungan karena tak ada nama pengirimnya.

Haya membukanya dan melihat lembaran-lembaran yang tercetak serta biografi seseorang yang tak dikenal. Kemudian, lembar lain membuat matanya membulat sempurna tak percaya.

-][-

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang