][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 19: hal hang harus dipahami"Jadi, jauh-jauh dari Dhanis, dong, Hayang." Yasa mengeluh panjang dan kembali duduk sembari menekuk lutut sambil menangkup wajah. "Gue nggak suka," katanya begitu rendah dan serak.
Haya berkedip memandang Yasa yang seperti itu. Sesuatu seperti menggetarkan hatinya, hangat. Perempuan dengan celemek itu mengangkat udang yang sudah berubah cokelat keemasan untuk ditiriskan. Yasa masih di sana, tak lagi bersuara.
Ketika berbalik karena selesai dengan urusan memasak, Haya menemukan ekspresi Yasa yang datar dan dingin lebih dari sebelumnya. Haya tak mengerti, tetapi rasanya begitu asing.
"Yasa," panggilnya tak digubris. Kembali memanggilnya, Haya malah mendapatkan tatapan seolah tak ingin diganggu. Namun, beberapa detik kemudian Ayakasa Dheerandra berdiri dan kembali seperti semula. Bahkan membantu membawa tempat air beserta gelas ke meja depan televisi.
"Yasa, lo baik-baik aja?" Meski tak terlalu berani, Haya memaksa bicara setelah berdoa.
"Hah, gue?" Yasa menunjuk dadanya sendiri dengan sendok. "Gue baik-baik aja." Sesuap nasi masuk ke dalam mulut.
Haya manggut-manggut meski sesekali mencuri tatap pada pemuda di depannya. Butir nasi melumer ke sisi bibir ketika mulut Yasa penuh, ia memang tak suka orang yang makannya berantakan, tetapi melihat Yasa seperti itu membuat ia yakin bahwa temannya itu memang baik-baik saja.
"Ada nasi di pipi lo."
Yasa menganga tak paham dan mengatakan hal yang tak dipahami orang biasa seperti Haya Helia. Haya inisiatif mengambilnya sampai Yasa terdiam, tak lama itu langsung tersipu dan terkekeh-kekeh. Tak lagi paham.
"Haya dari dulu gue mikir, kenapa lo pamer jidat?"
Haya tersedak. "Maksdunya?"
"Gue mikir aja, kenapa ... gitu? Padahal gue paling nggak suka orang yang pamer jidat kayak lo, si cewek yang nyakitin lo, sama si Nojla Nojla itu."
"Najla."
"Nah, itu, si Najlo."
"Najla."
"Iya itu si Na-Najelo."
"Kenapa susah?"
"Karena gue nggak suka rambutnya, lah!" Yasa jengkel. "Eh, tapi gue masih mau suka lo, kok," sambungnya supaya tak terjadi salah paham antara mereka hanya karena rambut.
Mungkin hanya cowok berkaus hitam itu yang merasa demikian, Haya sebaliknya—tak mengerti. Cowok seperti Yasa tak dapat ia pahami dengan cepat. Selalu saja berubah-ubah, tak dapat ia simpulkan bagaimana kepribadiannya hanya dengan memerhatikan beberapa jam atau menit.
Ketika ponsel Haya berdering, Haya menerima panggilan dari ibu Han yang meminta ke rumah. Ia menyetujui dan kali ini Yasa ada urusan sehingga ia pergi sendiri ketika ketua kelasnya juga akan menyusul setelah les. Padahal hari libur, memangnya Aksen Athalan Musyary ingin sepintar apa?
"Saya nggak tau kenapa Han ingin ketemu kamu, mungkin dari surat-surat yang kamu kasih sama dia. Saya nggak tau isinya apa, tapi saya harap isinya adalah hal baik untuk Han ataupun kamu."
Ibu Han tersenyum tulus, beliau membenarkan letak tas di antara lengan atas dan bawahnya seraya mendekap beberapa map.
"Ada beberapa kotak sus cokelat di meja, boleh kamu bawa pulang. Kalau begitu, saya pergi dulu Haya. Tolong bantuannya, ya." Beliau berlalu saat taksi yang dipesan berhenti di depan rumah.
Haya melambaikan tangan, setelah mobil meninggalkan rumah, perempuan berambut panjang itu masuk ke dalam. Mendapati orang yang dituju ada di ruang tengah sambil menonton layar yang menempel di dinding.
"Apa lo seperti yang diceritakan di sini orang aneh?"
Pertanyaan itu langsung dihadiahi Han begitu ia duduk berhadapan dengan cowok yang kantong matanya akan lama hilang. Pertanyaan itu sedikit menyinggung Haya meski ia tak mengatakan keberatan saat itu juga.
"Nggak percaya, ya?"
Han berdecak setelah menguap lebar. "Memangnya orang aneh mana yang bakal cerita kisah pribadinya sama orang asing?"
Haya memiringkan kepala sambil menunjuk dirinya sendiri. "Bukannya orang aneh itu gue?"
Han sempat mengernyit, tetapi terkekeh menyadari hal itu. Orang ini mengakui dirinya demikian saat orang-orang mengatakan hal tersebut sebagai ejekkan.
"Lo menerima julukan itu tanpa protes?"
Haya menggeleng. "Pendapat gue ... mungkin nggak akan didengar."
Han mengangguk seperti setuju dari pandangan Haya.
"Oh," lenguhnya panjang. "Gue benci pendapat gue nggak didengar, tapi gue terlalu kecil buat itu."
Suara Han memang terdengar kecil dan terkadang menguap ketika bicara. Namun, Haya mendengarnya dan berkomentar, "Gue juga nggak bisa memaksa mereka untuk satu pendapat."
"Dan gue paling benci sama orang yang keras kepala, contohnya lo." Han langsung pada inti yang ingin ia bahas. Melihat Haya yang mengalihkan pandang saat coba bicara serius membuat Han berdecak. Pertama kali juga begitu.
Melupakan hal tak berguna adalah hal baik versi Ramadhan Alfarras. Membuat Haya menatap matanya adalah hal yang seperti itu, lebih tak penting. Hingga ia memilih bertanya, "Kenapa lo masih mengajak gue sekolah, Haya? Tempat itu lebih nggak aman dari rumah gue. Seharusnya lo tau itu, karena kita punya pengalaman yang sama, bukan?"
Sambil menunjukkan kertas-kertas dengan bekas lipatan, Han melihat perempuan di depannya yang berekspresi sama. Meski kalimatnya terdengar menyedihkan, tetapi Han benci orang yang tak berekspresi karena tak bisa memahami apa pun dari lawan bicaranya.
"Seseorang pernah bilang sama gue, bahwa mencoba dua kali nggak akan berakhir buruk seperti sebelumnya."
Han mengunyah kue sus yang ia buka. "Apa lo bisa menjamin itu nggak akan jadi lebih buruk?"
Haya langsung menggeleng menatap tulisan yang ia tulis di atas kertas. Ia tak bisa menjanjikan itu tak akan terjadi, setelah Dhanis saja menyadari hal yang sebelumnya tak dipahami dengan sendirinya. Haya tak ingin menjanjikan hal tabu, sehingga perempuan ber-sweater biru pastel itu memutar otak.
"Apa yang nggak lo pahami, harus lo pahami sendiri. Setidaknya itu yang gue pahami, meski gue sendiri belum menemukan apa yang gue cari."
"Tempat itu neraka, semua orang terlihat menjijikkan."
Haya mengangguki. Dalam beberapa tahun lalu, ia juga pernah berpikiran sama. Hanya saja untuk saat ini terasa lebih baik, tak terlalu buruk. Ia tak akan mengatakan omong kosong yang tak ia pahami hanya berandalkan pengalaman.
"Mereka cuma bisa tertawa saat orang lain terluka."
Haya mengetahui itu. Ia senantiasa diam.
"Mereka cuma orang bodoh yang nggak berguna."
Namun, sebagian tak seharusnya dianggap demikian.
"Mereka cuma orang berdosa yang nggak pernah sadar apa kesalahannya."
Manusia memang demikian, semua orang paham. Hanya saja, mereka terlambat untuk menyadari hal yang seharusnya lebih cepat diketahui.
"Mereka cuma orang yang pake topeng untuk kesenangannya sendiri!"
Han kian meninggikkan suaranya disetiap jeda.
Haya tetap menutup mulut. Memberikan ruang untuk Han bicara.
"Orang yang lo sebut teman cuma bakal mengkhianati lo dilain waktu!"
"Mereka menjijikkan, sampah, nggak berguna, sangat bodoh." Han menertawakan hal yang membuat Haya menatapnya tepat di manik.
Haya membalas, "Nggak semua orang seperti apa kata lo, Han. Nggak semua orang menertawakan lo, gue tau itu, tapi jika yang lo sebut sampah adalah teman gue,lo keliru." Haya mengambil jeda dan menarik kedua sudut bibir hingga membuat lengkungan tulus. "Mereka semua baik."
-][-
KAMU SEDANG MEMBACA
Adolescene: Haya Helia [Complete]
Roman pour Adolescents"Takdir hanya potongan kecil yang terjadi di masa lalu." Apa tak mempunyai teman dan selalu sendirian adalah bagian dari takdir yang diciptakan? Jika begitu, apa benar Haya Helia akan selalu sendirian dan kesepian? Jika sendirian dan kesepian hanya...