][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 26: jalan berlumuran darah"Gue memang membunuh mereka, apa salah?"
Tamparan keras Haya dapatkan, tatapan tak percaya Yasa juga ia dapatkan bahkan teman-teman yang lain demikian. Terlebih kedua teman dekat Najla yang terus mengumpatinya.
"Kalau terjadi apa-apa sama Najla, lo nggak akan bisa dimaafkan." Jedy bilang itu setelah mengempaskan tubuh Haya ke dinding.
"Seharusnya gue bunuh sekalian."
Luen tak percaya ini sehingga bekas merah di pipi Haya terlihat setelah Luen memberikan tamparan. Pantas saja jika Najla Nijima sangat tak menyukai gadis aneh ini, buruk. Jangan menilai dari luar, mungkin istilah itu benar adanya.
Jemima melerai mereka sehingga kali ini ia yang berhadapan dengan Haya Helia tanpa mengucap kata. Jemima Rasendrya mencoba meraih pundak Haya, tetapi ditepis seketika. Tatapan tak suka ia dapatkan dari orang di depannya.
"Menjauh dari gue atau lo mau mati, Jemima?"
Jemima menghela napas gusar. Ia tak paham, tetapi rasanya ada yang ganjal.
"Haya, lo nggak mungkin melakukan itu—"
Haya mengelak, "Tapi gue melakukannya."
"Ayo pulang, Jemi." Jemima dibawa pergi oleh Danish meski perempuan itu menolak. "Lo percaya Haya yang sekarang, Danish?" Lantas cowok yang ditanya itu menjawab, "Iya. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Makanya, lo harus sedikit jaga jarak sama dia."
Haya mendengar jelas suara semua orang yang ada di sini, bahkan suara Han yang terdengar netral entah dipihak siapa. "Dunia luar itu neraka, tapi pemikiran gue bisa berubah kapan saja karena lo, Haya. Jadi ... yang mau gue bilang cuma lihat neraka itu baik-baik dan tata ulang agar lebih baik. Lo pasti paham maksud gue 'kan?"
Kemudian Haya Helia mendapatkan kertas kecil dari Saaya Naisha yang bertuliskan. "Mungkin aku masih memercayai kamu. Entah karena apa, hanya saja kamu terdengar mencoba menjauhkan kami dari kamu."
Di ruangan ini hanya tersisa Ayakasa Dheerandra yang memandang tangannya sendiri karena telah membuat pipi Haya memerah. Semua orang telah pulang dengan ketidakpercayaan mereka pada Haya Helia. Semuanya pergi meninggalkan sesak yang terpendam dalam diri.
Haya sangat paham, membunuh seseorang adalah dosa besar. Namun, pisau yang berlumuran darah di meja itu membuat ia teringat masa kelam. Diingat berkali-kali pun, Haya hanya ingat tentang dirinya yang memegang pisau berlumuran daran dengan kepala seseorang di tangannya.
Setelahnya, kumpulan orang-orang mengerubuni saat ia meminta pertolongan. Tatapan benci, muak, atau menjauh itu membuat Haya enggan memandang mata orang lain. Namun, satu hal itu berubah kala seseorang datang dan menghubungkan semua ikatan yang terjalin. Haya bersyukur untuk itu, hanya saja ikatan tersebut perlahan membuat benang-benang tipisnya terputus.
Haya tahu hal tersebut adalah kesalahannya.
"Bilang sama gue kalau yang lo ucapin adalah kebohongan, Haya?" Yasa ada di hadapannya meminta jawaban. "Tatap gue, Haya. Jawab pertanyaan gue, bangsat!" Yasa jengkel entah karena apa.
Satu hal yang dirinya pahami adalah kepercayaannya pada Haya Helia bukan sebatas mainan yang dapat dipermainkan. Ia marah—sangat—bahkan setelah menampar Haya, ia sangat membenci dirinya sendiri.
"Sialan, sialan, sialan, sialan!" Yasa mengumpat berulang dan menonjok dinding di samping wajah Haya.
Tubuh Haya bergetar, orang yang saat ini bicara padanya menakutkan. Bukan seperti Yasa yang biasanya.
Sekali lagi, Ayakasa Dheerandra menatap wajah Haya yang ia angkat agar mata mereka bersitatap. "Haya, lo pikir gue ini apa dimata lo? Pengganggu? Si bodoh? Beban? Bilang sama gue biar gue paham." Yasa membentak diujung kalimat karena semakin jengkel tak mendapat jawaban.
Ekspresi Haya masih sama datar. Yasa tak bisa menebak dan hal itu merupakan salah satu kekesalannya.
"Dengar ini Haya, gue tau lo bukan pelaku orang tua lo. Kejadian di sekolah pasti cuma kecelakaan—"
"Nggak, gue sengaja ingin bunuh Najla."
"Bangsat," umpat Yasa refleks. "Jangan sangkal gue Haya, jika bukan kecelakaan mau disebut apa? Kesalahpahaman? Disengaja? Atau lo pikir panitia properti sengaja jebak lo biar apa?"
"Gue dendam sama Najla. Lo tau itu, apalagi dengar Danish bilang orang tua Najla terlibat dikasus orang tua gue. Gue siap memgotori tangan gue kapan aja dan jangan halangi jalan yang gue pilih, Yasa." Haya menjelaskan hal yang tak ingin Yasa dengar.
"Jalan berlumuran darah yang bakal lo tempuh nggak akan terjadi selama ada gue. Jangan bercanda, gue ada di sisi lo selamanya." Yasa keras kepala, Haya juga.
Cowok yang netranya dilihat jelas oleh Haya itu tersenyum. "Tunggu aja, gue pasti menunjukkan hal-hal yang nggak akan membuat lo kesepian lagi, Hayang."
-][-
Cowok tanpa kacamata dengan rambut berponi sampai menutup alis itu menemui teman-temannya setelah rapat kelas tanpa memberitahu wali kelas mereka. Yasa membuka sweater abu gelapnya dan membuat kedua lengannya baju tersebut di bahu.
"Haya ada di asrama Agensi, dijaga beberapa orang utusan pimpinan." Danish yang melongarkan dasi merah berpadu putih itu menjelaskan saat ditanya di mana keberadaan orang yang akan muncul dalam pembahasan.
"Gue kepanasan, nggak bisa pindah tempat?" Perempuan yang mengibaskan kertas ke arahnya itu merengek. "Danish, kipasin dong." Orang yang diminta mendelik dan bicara tanpa suara.
Pendingin ruangan kelas mereka tak berfungsi dan belum diperbaiki karena beberapa anak kelas susah membayar termasuk Ayakasa Dheerandra yang membual bahwa dia gelandangan. Maka, Yasa masuk kelas lamanya yang terdapat beberapa orang untuk berpindah tempat.
"Woi, gue mau minjem kelas, ke luar sana." Cara Yasa meminjam salah. Danish dan Jemima bergumam, "Pantesan anak lain pada kabur liat dia."
Setelah meminjam—mengusir—kelas 1A6 itu, mereka duduk tak saling berjauhan. Mendiskusikan pendapat masing-masing untuk Haya Helia. Beberapa orang setuju untuk tak percaya kebohongan—yang mereka sebut—yang Haya buat yaitu Yasa, Jemima, Saaya, serta Han yang katanya berpihak pada keduanya. Sisanya termasuk Luen dan Jedy tidak setuju.
"Orang yang pake hati adalah orang yang pertama kali kalah." Danish yang memandang dari sudut logika dan bukti seperti Aksen Athalan Musyary bicara. "Memangnya kalian bisa dapat bukti dari mana?"
Kepala mereka memiring dengan telunjuk di dagu. "Keajaiban?"
"Pecundang temenan sama pecundang, sampah." Najla Nijima yang sudah baik-baik saja membuka suara. Aksen menegur karena bicara perempuan di sampingnya keterlaluan.
Yasa mendekat. "Kemarin bilang gue bodoh, sekarang bilang pecundang, masih nggak sekalian bilang kita sampah, Najla?" Decakan terdengar dari orang di depannya. Yasa merasa menang, ia terkekeh sambil kembali duduk di kursinya.
Aksen ada usul, maka ia mengutarakannya. "Gimana kalau yang percaya Haya nggak melakukan itu cari bukti, sedangkan yang nggak setuju cari bukti pelaku yang nusuk Haya?" Semuanya mengangguki bahkan teman Najla yang menjaga perempuan itu.
"Bentar, bukannya udah jelas kalau Yasa yang nusuk Haya?" Ramadhan Alfarras bertanya saat matanya terbuka setelah cukup lama memejamkan mata.
Semua mata tertuju pada Ayakasa Dheerandra. Orang yang ditatap mengerjapkan mata, jarinya menunjuk dadanya sendiri dengan tampang seolah tak tahu apa apa.
"Gue nusuk Haya? Ngapain?"
-][-
KAMU SEDANG MEMBACA
Adolescene: Haya Helia [Complete]
Teen Fiction"Takdir hanya potongan kecil yang terjadi di masa lalu." Apa tak mempunyai teman dan selalu sendirian adalah bagian dari takdir yang diciptakan? Jika begitu, apa benar Haya Helia akan selalu sendirian dan kesepian? Jika sendirian dan kesepian hanya...