0.10 ][ sebuah ikatan tak kekal

3 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 10: sebuah ikatan tak kekal

Jam makan siang, Haya duduk sendirian di meja yang disediakan rooftop gedung selatan. Beberapa orang memang ada di sana, mengobrol dengan teman satu meja sedangkan Haya harus mengobrol dengan siapa?

Jangan berharap, sendirian tak terlalu buruk ataupun baik. Harus kembali terbiasa dengan tempat baru yang disebut-sebut sebagai tempat menyenangkan—untuk beberapa orang tak beranggapan demikian.

Kemudian Haya Helia ingin bilang bahwa ia termasuk salah satu orang yang menganggap sekolah membosankan, sama sekali tak menyenangkan.

Manusia itu jelas berbeda-beda, jika ada yang merasa kurang maka ada orang yang lebih. Bukan berarti yang lebih akan menolong, tetapi sebagian orang memilih berdiam diri tak peduli. Sebagian orang yang kurang adalah dirinya, lalu orang-orang memilih mengabaikan.

Tak apa Haya, kamu pasti baik-baik saja.

Haya menuruni anak tangga untuk ke lantai satu setelah selesai dengan bekal makan siangnya. Haya merasa ada yang mengikuti, tetapi di belakangnya tak ada siapa pun. Menggedikkan bahu, ia kembali melangkah.

Haya memilih tak peduli ketika telinganya mendengar langkah kaki, mungkin pelajar lain yang ingin kembali ke kelas. Namun, seseorang menyebut namanya saat di tangga menuju lantai dua.

"Haya," ucap Jemima canggung seraya menjaga jarak dengan satu anak tangga sebagai pembatas antara Haya dan Jemima. "Gue ... em g–gue mau minta maaf."

"Gue minta maaf karena pernah siram lo sama air bekas pel dan gue juga minta maaf karena nggak pernah bersikap baik sama lo selama ini." Jemima menundukkan tubuhnya beberapa derajat dengan mata memejam.

Rasa bersalah selalu menggerogoti setiap saat ketika ia melihat Haya, tetapi tak pernah punya keberanian untuk memgucap maaf sehingga kata-kata yang menyakitkan terucap. Oleh sebab itu, Jemima mencoba mengikuti Haya seraya mencari kesempatan bicara.

"Gue juga minta maaf jika gue sakitin perasaan lo
Gue bener-bener nggak bisa kendaliin diri gue dengan baik, tapi gue sadar diri dengan kesalahan gue. Makanya Haya, gue sangat merasa bersalah sama lo."

Haya tak bisa menanggapi. Terlebih ia merasa tak enak ketika Jemima tak kunjung menegakkan tubuh, dirinya tak ingin senior yang melewati mereka salah paham.

"Dengan kata lain lo sangat menyesalinya 'kan, wahai orang yang membuat Hayang gue basah-basahan?"

Siapa lagi yang akan menyebut Haya dengan tambahan dua huruf di belakang nama selain Ayakasa Dheerandra.

Tiba-tiba saja datang dari arah yang sama dengan Jemima, perempuan yang rambutnya digerai biasa itu menubruk dinding sebab terkejut sebelum bersembunyi di balik tubuh Haya.

Yasa menggeram melihat orang yang tak ia suka—karena Jemima menyiram Haya dengan air kotor. "Lo nggak lagi liat moster bermata sejuta, ya, bodoh!"

Haya mendengar decakan dari orang yang memegang kedua bahunya. "G-gue nggak bodoh, ya, moster!" Nadanya tak jelas antara marah atau takut.

"Gue bukan moster, bodoh!" Yasa tetap pada pendiriannya, kian mendekatkan wajah kesal pada Jemima yang menggeleng berulang. Mereka bertengkar karena sebutan moster dan bodoh.

Yasa memang seperti itu, seperti cara bicaranya pada Danish yang masih dalam masa perawatan di rumah sakit.

"Orang bodoh kayak dia nggak perlu dimaafin, Hayang."

"Nggak masalah kalo lo nggak maafin gue, yang penting gue udah minta maaf."

Haya memikirkannya. "Gue maafin, kok." Dengan sadar kesalahan saja Haya merasa bersyukur Jemima demikian. Ia tak terlalu memusingkan lafal maaf yang membesarkan ego jika tak disadari.

Jemima menarik bawah matanya seraya menjulurkan lidah. Yasa dengan jelas mendelik dan berkacak pinggang, matanya seolah meminta penjelasan dari ucapan Haya.

"Wahh, siapa yang kita liat nih, Najla?"

Suara familier didengar mereka. Jemima buru-buru menghadap Najla Nijima yang mungkin salah paham dengan apa yang dilihatnya. Jedy merangkul Jemima seraya memilin-milin rambut gadis ini dengan kekehan.

"Sejak kapan lo berteman sama si cupu-cupu itu, Jemi?" Jedy bertanya, sedangkan Jemima mengelak, "Gue nggak berteman sama mereka, kok. Gue cuma kebetulan lewat aja."

"Memangnya lo ada keperluan apa di lantai dua?" Sekarang giliran Luen yang bertanya, "Lo nggak ada urusan klub atau sekadar nyamperin senior lo, 'kan?"

Jemima tak menanggapi langsung, sehingga Najla mengambil kesempatan bicara. "Sebaiknya hubungan temenan kita berhenti aja, Jemi. Gue nggak menyukai pengkhianat, apalagi orangnya seperti lo."

Perempuan berponi itu meninggalkan tempat bahkan dengan sengaja melirik tajam Haya dan menyenggol bahu sambil berbisik, "Lo emang mau si sampah itu ya, Haya?"

Haya tak menanggapi, sedikit jengkel dengan sebutan yang ditujukan pada Jemima. Meski mereka bukan teman, tetapi menjelekkan seseorang tanpa tahu kebenarannya adalah suatu yang buruk.

"Perkataan Najla mutlak, gue nggak bisa bantu lo. Jadi, jaga diri lo, jangan pernah coba deketin kita lagi." Luen berlalu, menyisakkan Jedy yang melepas rangkulannya untuk menyusul.

"Luen, kenapa lo bisa terima gitu aja? Nggak seru, nanti nggak ada yang bawain tas kita, beliin makanan atau camilan, atau yang bayarin kita makan di kantin." Jedy mengeluh sepanjang jalan.

Haya enggan menanyakan kondisi Jemima yang terdiam.

"Mereka temen pertama gue." Jemima berbalik dengan senyum kecil. "Gue nggak keberatan kalau mereka minta tolong beliin ini-itu atau apa pun, karena mereka temen pertama gue. Mau gimana pun, gue pengin punya temen."

"Liat lo sendirian bikin gue inget dulu, gue membencinya karena orang-orang menjaga jarak dari gue. Gue ini bukan sampah yang rusak pemandangan." Jemima terisak, Haya tak tahu cara mengatasi hal ini. Ia jadi tak karuan. "Meski kayak gitu, mereka jadi temen pertama gue. Mereka nerima gue dan gue ingin pertahanin hubungan sama mereka, meskipun gue diminta tolong terus."

"Temenan bukan kayak gitu," sahut Yasa, beberapa langkah jaraknya dengan Haya berdiri.

Jemima mengangkat alisnya. "Gue nggak percaya omongan itu datang dari orang yang kelihatannya nggak punya temen." Jemima kembali melanjutkan, "Dan kenapa lo seolah jaga jarak dari Haya, moster?!"

"Kalau keliatan geng cakep kayak mereka, gue malu kalau deket sama Hayang."

Jemima sampai menganga tak percaya. Dia jadi tak yakin kedua orang ini berteman, apalagi dengan respons Haya yang terlihat biasa saja.

"Lo sama mereka bukan temen. Hubungan yang mau lo pertahanin itu nggak bakalan terus lancar kalau lo cuma nerima tanpa ada asumsi diri lo sendiri. Lo sendiri tau, tapi ego lo yang mau punya temen kelewat gede."

Yasa bicara selayaknya ahli suatu hubungan pertemanan. Namun, orang yang rambutnya diikat rendah itu satu pendapat. Dia hanya menambahkan beberapa kata ini. "Em ... bisa dibilang hubungan palsu."

Jemima kian terisak hingga menutup wajah dengan kedua tangan. Haya tak bisa mengatasi bagaimana menghadapi seseorang yang menangis. Dia jadi berpikiran bahwa ada kata yang salah ucap. Dia bahkan tak berani mengusap bahu orang di depannya lantaran tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Kebingungan, Haya tak menyukai kondisi seperti ini.

"Mereka nggak pernah negur gue kayak gini." Jemima masih tak berhenti. "Kalian kayak temen gu—"

"HAH?! Gue nggak mau punya temen kayak lo. Temen gue cuma Hayang, cuma dia yang ngerti gue."

"Katanya lo malu ...."

"Kapan-kapan aja gue malunya."

Yasa seolah tak berdosa mengatakannya.

Jemima yakin orang ini adalah Moster—Moster tak tahu malu.

-][-

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang