0.07 ][ mereka yang tak saling kenal

4 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 07: mereka yang tak saling kenal

"Rencana kedua gue adalah melubangi kepala cewek ini untuk bersenang-senang ...," jedanya saat manik yang hampir tertutup rambut itu teralih pada Haya yang mematung sempurna. Memikirkan sesuatu, tetapi tak terpikirkan apa pun saat gelisah menguasai diri.

"... atau sebenarnya lo ingin gue aja yang mati?"

Kekehan pelan yang kian jelas itu memberi kesan menyeramkan. Haya tak pernah membayangkan ada pada situasi seperti ini saat pengunjung mini market hanya menyisakkan Jemima yang saat ini menjadi sandra. Ia tak berdaya, menyedihkan.

Dia tak mempercayai kalimat mendiang sang ayah beberapa tahun silam. "Kamu itu kuat, apalagi hatinya. Jangan berpikiran bahwa kamu hanya akan menemui jalan buntu, selalu ada jalan lain meski pada situasi terburuk sekalipun."

Apanya yang kuat?

Apanya yang tak akan menemui jalan buntu?

Solusi seperti apa yang ada saat situasi terburuk?

Haya tak bisa berpikir jernih, seolah seluruh sarafnya tak bekerja seperti semestinya. Apalagi saat tembakan peluru meninggalkan bekas goresan pada pipinya, manik cokelat Haya memandang orang yang tertawa dibalik masker dengan pistol yang kembali ditodongkan di sisi kepala Jemima.

"Jangan pernah berpikiran lo bisa membuat gue terluka atau ... lo ingin mati lebih cepat dari cewek ini?"

Haya percaya itu bukan gertakan setelah pipinya dibuat berdarah dan senapan itu bukan mainan. Tak habis pikir bahwa orang yang tingginya setara dengan Yasa itu memiliki benda berbahaya.

"A–apa m–mau lo?"

"Good question, biar gue pikirkan. Emm ... kalo dipikir-pikir gue ini pengin mati aja. Manusia itu nggak lebih dari gumpalan daging di dalam mesin, bener 'kan?"

Jemima yang tak bisa melarikan diri hanya bisa meneguk ludahnya kasar. Jawaban yang tak pernah Jemima pikirkan itu memberikan kebenarian untuk ia bicara, meski dalam hati ia berdoa agar tetap baik-baik saja.

"Jika lo ingin mati, kenapa lo nggak bunuh diri pake pistol yang lo pegang saat ini?

"Jika gue bisa ...," katanya setelah suara tembakan kembali terdengar, membuat lutut Jemima kian tak bertenaga dan bersimpuh di lantai. "Ah, rasanya kayak dicubit anak kecil," sambungnya seraya mengusap kepala yang ia sengaja tembak.

Meninggalkan bekas, tetapi orang itu masih berdiri tegak saat menodongkan pistol pada belakang kepala Jemima yang membeku dengan tatapan kosong.

"Pernah dengar orang-orang yang punya kemampuan? Gue termasuk salah satunya." Masker hitam itu ia buka dan menyeringai setelahnya. "Keabadian, kematian nggak akan menyentuh gue. Sebanyak apa pun lo membuat gue terluka dari luar, cuma bekas kecil yang tertinggal."

Haya mencoba meraih benda merah di dalam lemari kaca di dekatnya, tetapi orang itu seolah paham niatnya. "Dan cewek yang ada di sana, jangan coba-coba mukul gue pake pemadam api, ya."

"Jika nggak bisa dari luar, berarti dari dalam punya kesempatan, 'kan?"

Suara yang tak asing di telinga Haya terdengar. Yasa menginjak pecahan kaca untuk mendekat pada orang yang langsung mengarahkan pistolnya, seolah tak ragu. Yasa hanya menyisakkan jarak satu langkah sebelum melakukan sesuatu tanpa ragu.

"Lo mau mati, 'kan? Gue akan membantu lo seperti ini." Yasa menusukkan sesuatu ke perut orang yang matanya membelalak tak percaya. Namun, orang di depanya terkekeh percaya diri. "Gue abadi, tusukan amatir lo nggak akan melukai gue," katanya begitu.

Yasa mengerjap dengan tampang bodoh. "Beneran?" Ia menyeringai dan berbisik, "Tapi kemampuan lo nggak berguna di hadapan gue."

"Siapa lo?" Orang itu menjauhkan Yasa dan menahan perih di bagian perut.

"Seharusnya Angkasa, tapi yang data akta waktu gue lahir agak tuli, jadi nama gue Ayakasa. Nggak keren sama sekali." Cowok berkamata itu berdecak seraya menggaruk belakang kepalanya.

"Bukan itu, berengsek?!"

Kepala Yasa memiring. "Terus apa?"

"Kemampuan, lo tau orang-orang berkemampuan?"

"Tau, tapi itu cuma rumor aja, 'kan? Gue nggak percaya hal-hal yang nggak masuk akal," terangnya sembari kembali mendekat dengan tangan mengepal. "Karena lo melukai Hayang, gue nggak akan memaafkan lo, berengsek!" Yasa memberikan dua kali pukulan di wajah dan satu tendangan di sisi perut saat pisau masih menancap di sana. Lantai putih minimarket sampai berlumuran darah.

"Lo lagi ngapain?"

Yasa benci ekspresi meremehkan orang di depannya, sangat membencinya hingga membuat orang di hadapannya itu terkapar. Mengambil alih pistol dan menembaknya seraya tertawa. Kemudian, tangan seseorang memegang pergelangannya.

Yasa menoleh perlahan, matanya langsung membelalak. Eskpresi Haya tak pernah ia lihat, terlihat marah—padanya? Yasa pernah berpikiran bahwa Haya tak bisa membuat ekspresi lain meski ia buat sangat kesal sekalipun. Namun, yang ia lihat saat ini membuat ia meneguk ludah.

Untuk beberapa menit, beberapa orang yang mungkin mendengar suara tembakan berdatangan. Namun, dibuat percaya dengan skenario yang Haya dan Jemima ciptakan—seolah kecelakan dengan pelaku yang melarikan diri dan permainan tembak-tembakkan dengan menggunakan peluru dari kelereng—saat Yasa mengurus orang yang tak dikenal menuju rumah sakit.

"Gue nggak peduli mereka berdua, bahkan lo. Gue akan pura-pura nggak tau kejadian ini, gue mau melupakannya seolah gue nggak pernah jadi sandra dan hampir mati. Dan jangan pernah berpikiran kita akan jadi dekat, gue nggak mau berkhianat sama temen-temen gue."

Haya sampai lupa status mereka yang hanya sebatas kenal.

"Sebelumnya makasih dan ... maaf membuat lo terlibat."

Jemima menoleh ke belakang saat mereka selesai mengepel lantai dan berujar, "Ya, lo harus singkirin semua bukti tentang gue. Jangan membuat gue terbawa arus."

Setelahnya, Jemima melenggang hingga menubruk kaca pintu yang sudah diganti, ia mendorongnya untuk ke luar seraya menyumpah serapahi pintu. Haya masih termenung di tempatnya, memikirkan kata-kata yang tepat untuk melapor pada atasan nanti.

Haya sudah menghapus rekaman kamera pengawas, membuang air lap bekas darah, dan mengganti kerusakan dengan biaya yang akan ditanggung pemilik nanti, serta menutup luka di pipinya dengan kapas. Setelahnya, ia berpamitan pada pak Oya kala sif kerjanya selesai.

"Hati-hati, Cahaya. Bapak denger, akhir-akhir ini banyak kasus pencurian." Haya mengangguk dan melambai kecil sebelum pergi.

Rumah Sakit Harapan, tujuannya saat ini hanya itu. Sebelum menuju ke sana, Haya membeli buah tangan sebelum membuka pintu ruangan yang ditempati beberapa orang. Tempat dekat jendela, Yasa bilang begitu.

"Gue nggak akan maafin lo, sekalipun lo sujud di kaki gue." Suara Yasa terdengar tak terima.

"Kebalik lha, goblok. Lo yang harus minta maaf sama gue. Gue mana sudi minta maaf sama lo, mending sama ceweknya langsung."

"Urusan Haya juga urusan gue, dasar pencuri goblok!"

"Cowok sakit jiwa."

"Cowok goblok pake banget!"

"Heh, ejekan lo tuh terlalu lembut, bego!"

Yasa terdengar kesal. "Mati aja lo sana!"

"Heh, kalo lo nusuk gue di jantung sih, gue pasti mati. Karena lo terlalu bego sampai akar-akarnya, lo malah nusuk usus gue doang, haha."

Percakapan itu terdengar akrab sampai ia menunjukkan diri, mereka berhenti bicara dan memandangnya.

"Hayang—"

Haya mengalihkan tatap saat menyimpan bawaannya di nakas. "G–gue bawa buah, nggak seberapa, tapi tolong diterima, ya."

Sementara itu, mulut Yasa menganga tak percaya. "HAH?! GU-GUE DIABAIKAN?!"

-][-

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang