][ Adolescence: Haya Helia
][ Chapter 25: kepercayaan yang dikhianatiEmpat hari yang lalu, setelah luka tusuknya sudah hilang sepenuhnya. Danish dan Saaya terkejut mendengar ceritanya soal Yasa. Perempuan tersebut meminta Agensi untuk menemukan Ayakasa Dheerandra serta menemukan bukti-bukti tentang pembunuhan orang tuanya agar keberselahan tersangka dapat terbukti untuk hukum.
Haya ingin tahu kebenarannya meski sulit.
Katanya Jemima Rasendrya akan menemani saat ia akan bertemu Najla Nijima untuk membuat naskah drama sesuai kesepakatan. Begitu menekan bel di samping pintu, wanita berpakaian rapi menyapa.
"Halo, Tante." Jemima menyapa di saat teman di sampingnya tersenyum canggung dan sangat kaku. "Ini temen aku namanya Haya, Haya Helia." Kemudian, Haya juga menyium punggung tangan Mama Najla dengan kaku bahkan tangannya terlihat bergetar.
"Kamu sudah besar ya, Haya." Mama Najla menggenggam tangan anak belia itu sebelum memeluknya. "Kamu cantik seperti Najla," ucap beliau tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca setelah melepas rengkuhnya.
"Apanya yang mirip, Ma?" Orang yang dibicarakan datang dan bertanya dengan lirikkan sinis pada Haya Helia.
Mama menggeleng sambil mengulas senyum. "Kenapa kamu nggak bilang kalau mau kedatangan temen kamu yang lain?" Najla mengedikkan bahu dan menyuruh mereka masuk ke kamarnya saja saat ia membawa gelas baru.
"Gue lupa ada janji mau bikin naskah sama dia." Najla menjelaskan saat kedua temannya ada di kamar. Kedua orang itu terkejut dan berkedip tak menyangka. "Kalian ngobrol aja dulu. Gue mau bikin naskah."
Sang pemilik kamar mengajak Haya ke balkon, meninggalkan Jemima, Luen, dan Jedy mengobrol meski terlihat canggung. Perempuan di depannya memberikan saran soal tema, Haya demikian meski beberapa menit terdiam dan dikatai bisu oleh Najla.
"Lo yang nulis, anak Sastra 'kan lo?" Najla selalu berkata sinis, Haya biasa saja sebab terbiasa. Najla memberikan ide lagi dan Haya memberikan pendapat lain yang menurutnya cocok meski tangannya lambat mengetik setiap huruf di atas keyboard.
Jika kembali pada masa setalah dua minggu Ayakasa Dheerandra tak ditemukan, maka anak kelas 1A4—X IPA 4—tengah melaksanakan geladi kotor di auditorium setelah pulang sekolah. Memainkan peran masing-masing setelah ditentukan dengan diskusi kelas.
Haya mendapat peran penting dengan sang tokoh utama Najla Nijima. Haya pernah menolak karena tak yakin akan bisa, tetapi semua orang menyerahkan tugas penting itu padanya. Haya tak bisa berdialog dengan benar saat Najla terdengar sempurna bahkan ia disindir berulang. "Pake perasaan lo, dasar aneh."
Haya selalu mencoba demikian, memerankan orang lain sangat sulit. Saat geladi tengah terlaksana, Haya mengambil pisau yang terlihat nyata di saku jas dan menusuk Najla pelan hingga warna merah kental mengotori baju seragamnya.
"Sebenarnya aku tak mau melakukan ini, tapi tak ada pilihan lain untuk membunuh Anda sesuai keinginan sang Raja." Haya membiarkan darah itu mengucur saat pisau masih menancap di bagian bawah dada Najla Nijima.
Netra cokelat Haya melirik sekitar yang menganga tak percaya, ia keheranan dan Najla tak kunjung berdiri sesuai naskah. Lantas, saat seseorang bicara. "Najla nggak bawa kantong darah bohongan karena masih ada di belakang panggung ...."
Haya menarik sebilah pisau itu sampai jerit Najla terdengar menggema di ruangan. Matanya membulat sempurna—tak percaya—sebab pisau yang diberikan Jedy bukanlah properti yang disiapkan. Ia menatap tangannya yang terdapat bercakan darah, lirikkan matanya pada Najla dan tangannya secara bergantian.
Ia kebingungan saat jerit orang-orang menggema di telinga dan menyalahkannya sebagai pembunuhan. Ketua Kelas mengambil alih perhatian siswa lain untuk mendengarkan intruksi yang ia berikan. Haya terduduk dan memandang Najla yang dibawa ke luar setelah ambulans datang.
"Haya, lo ngapain, hah?!" Seruan itu lama tak ia dengar. Perhatiannya teralih pada pemuda berkaus kotor dengan rambut berantakan. "Lo bilang sama gue nggak akan mengotori tangan lo, tapi apaan nih?!" Tangannya dipegang erat oleh Ayakasa Dheerandra yang tiba-tiba ada di sini.
Mungkin ini ilusi karena ia kebingungan, tetapi hentakan di lantai panggung membuat ia sadar bahwa ini kenyataan.
"Haya, jelasin sama gue? Apa yang lo lakuin?" Yasa menarik-narik bahu perempuan di depannya untuk bicara. Namun, setetes air mata lolos dari pelupuknya membuat Yasa berhenti menagih jawaban.
"Yasa, g–gue ...." Haya ingin mengatakan bahwa ia tak berniat melakukannya, tetapi lidahnya terasa kelu untuk berucap.
-][-
Najla Nijima sedang mendapatkan perawatan di ruang kerja dokter Agensi yang memberikan kartu nama pada Haya Helia. Sedangkan, perempuan berikat rambut rendah itu duduk di kursi tunggal rumahnya saat Ramadanish Mayja dan Ayakasa Dheerandra bicara.
"Haya, lo bilang sama gue kalau lo nggak akan ngotori tangan karena si bodoh ini ubah pikiran lo, 'kan? Terus ngapain lo lukai Najla?" Danish bicara kala cowok yang disebut bodoh itu tak meladeni seperti biasa.
Danish terkekeh kemudian. "Gue lupa, pikiran manusia nggak selamanya sama dan pikiran lo contohnya." Tak ada yang mengelak selain memerhatikan. Di ruang ini bukan hanya mereka, Saaya, Jemima, dan Han serta teman Najla—Luen dan Jedy—turut ada kala Aksen melihat kondisi Najla.
Yasa terganggu dengan kalimat Danish sehingga baju cowok itu ia tarik, tatapan mengintimidasi ia layangkan. "Lo nggak pantes nyebut Haya gitu," katanya penuh tekanan.
Danish membalas, "Hah, bukannya lo juga ngerasa dikhianati sama pemikiran dia?" Senyum culas terukir di wajah Danish setelah dalam sekejap melepaskan diri.
Yasa tak mengelak ucapan orang di depannya, tetapi lirikkan pada Haya yang sama sekali tak bicara itu membuat ia jengkel. Ia yakin bahwa pemikiran Haya masih sama, tetapi Danish mengelak bahwa tak serupa.
"Najla Nijima anak dari pasangan Sean Nijima dan Helia Juita. Biar gue perjelas, mereka berdua pembunuh orang tua lo Haya, jadi percobaan pembunuhan itu berdasar pada dendam yang lo bicarakan seperti omong kosong." Danish berdecak, kembali menguraikan informasi yang ia dapat setelah penyelidikan.
"Dan satu hal kenapa orang tua lo dibunuh adalah karena mereka pengkhianat Divisi Khusus Berkemampuan yang aslinya anggota Mafia, dengan kata lain orang tua lo penyusup Divisi dari Mafia," ungkap Danish tak mendapat respons dari orang yang dituju. Ekspresi datar Haya membuat ia berdecak, ekspresinya tak bisa ia tebak.
Haya masih bungkam, memandang lantai dengan kosong. Pikirannya entah tertuju ke mana, tak menentu pada arah yang dituju.
"Satu hal lagi, gue menemukan fakta bahwa orang tua lo adalah palsu. Cerita yang lo karang adalah kebohongan. Kemungkinan besar, lo adalah pembunuhnya Haya." Danish membuat semua orang membelalakkan mata, kecuali Haya yang masih menatap kosong ke bawah.
Cowok itu terkekeh sinis. "Anak Sastra hebat bohong, ya." Lantas kepalanya bergerak ke arah Ayakasa Dheerandra yang termenung memikirkan semua penjelasannya. "Yasa, gue nggak menemukan identitas apa pun tentang lo, tapi satu-satunya petunjuk yang bisa gue temukan cuma Ben—Veteran di Mafia—maka identitas lo akan terungkap, bodoh."
Yasa balas terkekeh, senyumnya ia sematkan. "Coba aja jika lo bisa menemukan gue, Danish." Danish berkedip dua kali sebelum mendecih tak menyangka.
Yasa meraih tangan Haya yang masih meninggalkan bercak darah kering, berjongkok di hadapannya dan berkata, "Gue nggak percaya semua yang diucapin Danish, tapi gue percaya sama lo Haya. Jadi, gue tanya, apa yang diucapin dia adalah kebenaran buat lo?"
Haya mengangkat wajah pelan dan mengangguk.
Ucapan Haya berikutnya membuat orang-orang di ruangan yang sama itu dibuat tak percaya. "Gue membunuh mereka, apa salah?"
-][-
KAMU SEDANG MEMBACA
Adolescene: Haya Helia [Complete]
Teen Fiction"Takdir hanya potongan kecil yang terjadi di masa lalu." Apa tak mempunyai teman dan selalu sendirian adalah bagian dari takdir yang diciptakan? Jika begitu, apa benar Haya Helia akan selalu sendirian dan kesepian? Jika sendirian dan kesepian hanya...