0.09 ][ pura-pura tak melihat = jahat

4 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 09: pura-pura tak melihat = jahat

Kabut pagi ini lebih tebal, bahkan Yasa yang menunggu di bawah tangga tak bisa bergerak dengan bebas. Lagi-lagi, kedua tangannya disembunyikan dibalik celana. Haya kembali meminjamkan hoddie hitam yang sudah ia cuci, lalu membawa Yasa ke sekolah dengan Syair yang sudah ditambahkan rem kemarin malam.

Bukan tanpa alasan, tetapi Yasa berkata, "Gue bakal antar-jemput lo seumur hidup sebagai balasan makan gue selamanya." Dan yang membayar adalah dirinya.

Jadi, pertanyaannya adalah mengapa Yasa seolah membual ketika mengantar-jemputnya saat ia sendiri yang membonceng Yasa di belakang?

Meski begitu, Haya hanya perlu menerima dengan lapang segala alasan yang dikatakan Yasa serta mengikhlaskan uang yang keluarkan demi keselamatannya juga. Bisa-bisa ia patah tulang karena jatuh dari sepeda yang melaju kencang.

"Aaa ...." Yasa menyodorkan roti pada Haya. Perempuan itu mencoba mengambilnya dengan tangan kanan, tetapi Yasa menjauhkannya. "Buka mulut lo, gue suapin." Ketika Haya membuka mulut, Yasa malah menyuapkannya pada hidung Haya. Kemudian tertawa seakan-akan cowok itu menyuapkannya dengan benar.

Dasar, Yasa bodoh.

Ia sampai berhenti di depan toko roti untuk membesihkan wajahnya dari selai yang menempel. Yasa malah turun dan masuk ke sana, membeli roti dan meminta uang padanya. Ia sudah seperti Mama yang membelikan jajanan pada anaknya. Jika selalu begini, mungkin gaji dan tabungannya akan perlahan menipis ketika ia menghemat.

"Lama nggak ketemu, Haya." Orang yang masih seumuran dengan Haya itu menyapa dan tersenyum hingga matanya memejam.

Berpura-pura ramah, Haya paling benci sosok seperti orang yang mengembalikan kembalian.

"Kenalan lo?" Yasa tak mendapatkan jawaban, tetapi dia segera menyusul saat Haya melenggang pergi. "Dia bilang kalian satu kelas, terus dia hampir mati karena ... lo."

"Lo percaya gue membunuh seseorang?"

"Hampir mati bukan berarti ngebunuh," katanya seraya mengunyah roti dan kembali dibonceng. "Gue nggak tau dia bener atau nggak, tapi gue percaya lo."

"Meski gue salah?"

"Pertanyaan nggak selamanya punya jawaban, 'kan? Manusia itu hidup dalam kebingungan." Yasa mengangguk-angguk, lalu tertawa. "Yah, gue ketularan si Danish karena ngomong manusia-manusia mulu."

Yasa ada benarnya, salah dan benar hanya tentang bagaimana dirinya menerima.

"Haya, gue beneran nggak suka Danish. Kalau dia sekolah, lo harus jaga jarak, kira-kira lima meter. Jangan sampai lo sentuh dia bahkan ngobrol atau saling liat, gue nggak suka." Yasa turun dari sepeda ketika mereka selesai memarkirkannya.

Haya tak paham. "Apa masalahnya?"

"Masalah lha, gue ini suka sama lo, Haya. Jangan deket-deket sama dia, gue nggak mau lo dicuri."

Haya terdiam kala matanya mengedip dua kali. Menunggu kata lain yang akan terucap saat Yasa menggaruk belakang kepalanya. Namun, kata itu tak terucap. Semakin dibuat kebingungan, Haya hanya bisa diam ketika Yasa pergi lebih dulu.

Memangnya kata suka itu seperti apa?

Namun, dadanya terasa menghangat. Sisi lain mengatakan bahwa ia bukanlah barang yang layak dicuri. Dia ini bukan apa-apa, orang yang mencurinya pasti menyesal.

"Bawa tas gue ya, Jemima."

"Gue juga, di dalamnya ada barang berharga gue. Jangan sampai hilang karena cuma lo bawa."

"Najla, nambahin satu tas nggak bikin dia pingsan, 'kan?"

Najla yang disebutkan hanya tersenyum miring sebelum meminta bantuan Jemima yang lain. "Bisa beliin gue roti, 'kan? Pagi ini gue nggak sarapan karena orang rumah nggak berguna. Lo harusnya berguna bagi gue 'kan, Jemima?"

"Tasnya dianterin ke kelas dulu, ya, soalnya kita-kita mau ke ruang modeling dulu. Lo nanti boleh nyusul." Luen yang hari rambutnya lebih pendek setelah dipotong itu tersenyum.

Jemima membalas senyum dan menunjukkan jempolnya. "Oke." Jemima berbelok melewati ruang indoor basketball untuk ke kelas sebelum menuju kantin membeli roti, lalu menyusul ke ruang modeling di lantai empat gedung IPS.

Haya melihatnya, bahkan saat gadis berambut panjang itu—Jemima—menyuapkan roti yang dibelinya saat kembali ke kelas, sedangkan Najla, Luen, dan Jedy tertawa karena cara makan Jemima berantakan.

Haya melihatnya, tetapi tak bisa berbuat apa pun.

Mengingatkannya di mini market, Jemima bilang dia tak butuh bantuan yang tak sopan. Haya sendiri payah untuk menawarkan bantuan karena gelisah, bahkan ia bisa merusak biat awalnya hanya karena hal itu.

Jam pertama setelah menghafal kosa kata bahasa Inggris selama 15 menit, 1A5 melakukan pemanasan berdua setelah berganti pakaian. Haya hanya berdiri ketika yang lain memilih partner masing-masing.

Tak apa, semuanya pasti baik-baik saja. Selama ini ia melakukannya sendirian, tak apa.

"Saya belum ada partner, Pak."

Haya mencari sumber suara, lalu mengangkat tangan dengan ragu saat guru olahraga itu mencari yang lain. Haya baru ingat bahwa dua orang tak masuk lantaran ada keperluan dan satu orang lagi tak ada kabar selama dua bulan ini.

"Lo ini memang aneh ya, Haya." Najla bicara saat mereka tak berhadapan dan mengaitkan kedua tangan di siku sebelum membuat Haya menunduk saat dirinya memandang langit. "Lo itu jahat, Haya. Lo tau itu?"

Haya bergumam, "Jahat?"

"Pura-pura nggak liat, lo seharusnya selamatin Jemima ketika gue buli 'kan?" Sekarang giliran Haya yang memandang langit. "Orang kayak lo—yang pura-pura tak melihat—lebih buruk dari gue. Si Aneh yang Jahat, haha, julukan baru untuk lo, Haya."

Haya tak menanggapi. Apa yang Najla bilang ia setujui, dia memang merasa buruk ketika pura-pura tak melihat saat Jemima jelasa butuh bantuan. Meski demikian, ia tak tau mana yang benar.

"Jemima itu sampah, gue bisa buang dia kapan aja. Jika lo butuh dia buat jadi suruhan lo, dengan senang hati gue kasih."

Haya tak suka dengan kalimat merendahkan Najla yang ditujukkan pada Jemima secara tak langsung. "Jemima itu baik, kenapa lo nggak menghargainya?"

"Gue ini benci orang baik, mereka bisa maafin orang jahat dengan mudah, tapi gue juga benci orang jahat, mereka bisa bunuh orang tak peduli mereka baik. Jadi, mereka memang yang terburuk."

"Lo termasuk salah satu dari mereka?"

"Jangan samakan gue dengan lo, Aneh. Gue jelas berbeda." Najla sedikit meninggikan suara, menekankan.

Haya tak menanggapi. Pemikirannya tak perlu diutarakan hanya untuk membuat seseorang mengerti kesalahan ucapannya. Kata-kata itu lebih mematikan daripada sebilah pedang, itu yang dikatakan ayahnya.

Haya tak pernah melupakan setiap kata yang keluar dari mulut kedua orang tuanya. Tak akan pernah lupa.

Setelah menyelesaikan pemanasan, Najla kembali pada kedua temannya termasuk Jemima yang baru saja bergabung. Haya hanya melihat untuk kesekian kali bahkan setelah selesai jam olahraga.

Dia pergi ke toilet untuk mengganti pakaian sebab ia seperti tak diberi tempat di ruang ganti. Haya kembali melihat sepatu putih yang talinya tidak terikat akhir-akhir ini.

"Ahh, rasanya pengin nangis sampai mata gue keluar."

Haya merasa kalimat itu seperti candaan yang menyesakkan. Lagi-lagi ia mendengar isak tangis dari bilik di sampingnya.

Haya jadi penasaran siapa orangnya, tetapi ia tak berhak tahu itu siapa.

-][-

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang