0.11 ][ mereka yang bernasib malang

4 2 0
                                    

][ Adolescene: Haya Helia
][ Chapter 11: mereka yang bernasib malang

Haya mengisi botol minumnya dengan air dari dispenser sekolah yang berjejer dekat mesin penjual minuman lorong gedung olahraga. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi dan Jemima ada di tempat duduk yang tersedia.

"Lo beneran baik-baik aja?"

Haya mencoba bertanya sebab setelah kejadian di tangga, perempuan berambut hitam ini terus melamun.

"Semenjak lo bilang gue harus berhenti berteman sama mereka, gue jadi mempersiapkan diri buat ini. Ternyata nggak terlalu buruk." Jemima terkekeh kecil. Haya sampai meneguk minumannya pelan.

Jemima menoleh padanya, Haya segera mengalihkan tatap. Saat itu juga gadis di sisi Haya Helia tertawa saat Haya sendiri merasa tak ada yang layak diketawakan. Keningnya sedikit mengerut hingga gelombang kecil dijidatnya terlihat.

"Maaf aja Haya kalau gue pernah bilang lo Aneh," katanya kembali terkekeh. Haya paham sehingga Jemima kembali melanjutkan, "Lo memang sedikit aneh, tapi lo agak canggung aja, ya?"

Kata canggung terasa lebih tepat daripada aneh atau sebagainya. Ia mengangguk kecil menyetujui.

"Coba lo latihan tatap mata gue aja?"

Haya memiringkan kepala. "Sekarang?"

Jemima mengangguk antusias, matanya berbinar penuh harap sehingga Haya tak bisa menatapnya langsung. Ia merasa dipelototi, itu saja.

"Ayo tatap gue Haya, biar lo nggak dikatai aneh sama mereka bertiga lagi." Jemima memberi semangat, tetapi perempuan berambut gelap itu tetap tak bisa. Masih merasa dipelototi dengan jantung yang berdegup tak karuan.

"Yayy, kebetulan kalian berdua." Aratha, senior yang mempromosikan klub basket waktu itu menghampiri. Menyelamatkan Haya dari latihan yang Jemima Rasendrya sebutkan.

"Kalian jadi daftar basket, 'kan? Gue bawa formulirnya, tapi gue udah bilang juga sama pelatih kalau ada yang gabung."

Pernyataan atau pertanyaan itu seolah tak memerlukan jawaban. Haya secara paksa diseret untuk bergabung saat Jemima sendiri antusias. Tentu saja, sebelum mereka bisa mengobrol seperti ini ia pernah mendengar percakapan Jemima dan ketiga lainnya yang bicara tentang klub.

"Sebenernya gue masih kekurangan anggota buat cadangan, kelas tiga nolak buat gabung lagi dan angkatan gue nolak juga, haha. Kaptennya tahun ini lagi usaha ngajak yang lain gabung pas gue pengin makan mi sampai kenyang."

Jemima agak terkejut. "Kak Ratha bukan kaptennya?"

"Mustahil. Gue ini payah, shoot aja nggak pernah nyampe ring, hahaha." Aratha memegang perutnya sebelum ia pamit terbirit-birit saat seseorang mencari.

Haya berjalan seraya menjawab pertanyaan Jemima untuk kesan pertama pada seniornya. "Em ... hiperaktif, ceria, lucu ...."

"Kesan pertamanya nggak buruk juga tuh, kalau jeleknya?" Haya tak langsung paham. "Gini ... 'kan orang-orang punya dua sisi antara baik sama jeleknya. Kesan jelek lo buat kak Ratha gimana?"

"Nggak mau dengar penjelasan orang?"

"Alasan?"

"Mungkin karena takut nggak kayak yang diharepin."

"Wahh, pikiran lo pasti nari-nari tiap hari, ya."

"Dulu gue juga sama, karena dulu gue ingin temen, gue coba pahami mereka sambil perhatiin gitu. Malah disangka gue ini nyeremin, haha."

Mungkin mereka merasa dipelototi, seperti Haya saat ini.

Mereka mengobrol, lebih tepatnya Haya mendengarkan Jemima bercerita tentang kesan pertama padanya, katanya, "Lo itu canggung, agak aneh, nggak berani."

Kemudian, memberikan kesan amat jelek tentang Yasa, katanya, "Dia nyeremin kayak moster, nggak tau malu, lebih aneh dari lo."

Lalu disusul dengan pertanyaan, "Orang yang di mini market itu gimana?" Jemima hanya ingin tahu, sebatas itu.

Haya menjawab seadanya bahwa d036ia baik-baik saja, tetapi Jemima malah menggerutu, "Bukan itu, bukan itu, maksudnya lo nggak apa-apain gitu?"

"Apa-apain?" gumam Haya terasa janggal. "Dia sebenarnya murid di kelas yang nggak pernah hadir."

Mulut Jemima terbuka tak percaya.

"Dia juga adiknya pak Java."

Jemima kian tak percaya.

"Minggu ini dia bakal masuk sekolah."

Jemima ingin pingsan, penyusunan kata di kepalanya berantakan saat ingin terucap sehingga Jemima hanya bisa berteriak tak percaya.

"Gue nggak akan maafin dia meskipun dia sujud di kaki gue." Tekad Jemima bilang begitu.

Mereka duduk di tempat masing-masing saat kembali ke kelas dan teman-teman Jemima yang sebelumnya bersikap seolah tak saling kenal. Haya melihatnya, tetapi tak bisa berbuat apa-apa selain memandang Najla Nijima yang menyunggingkan senyum kemenangan.

Ucapan Najla terkabul untuk membuang Jemima kapan saja dan ucapan Luen yang tak perlu bertegur sapa lagi juga tercipta. Haya hanya bisa menghela napas untuk tak ikut campur urusan mereka, tetapi perasaannya mengatakan ia akan terlibat dengan Najla.

Haya cukup sadar diri jika Najla membencinya tanpa ia tahu alasannya. Tak apa, Haya hanya perlu menemukan jawaban dari kebencian itu.

"Selamat siang semuanya. Hari ini kita kedatangan murid baru dari SMA Bina Granida. Kedatangannya telat karena dia tersesat dan nggak tau caranya naik bis ke sini, ditambah lagi dia tersesat di gedung sekolah, haha."

Pelajar di kelas tertawa, Haya memangku dagu memerhatikan hingga tak sengaja saling pandang untuk beberapa saat sebelum orang itu dipersilakan untuk memperkenalkan diri. Haya mengucek mata karena seperti melihat sesuatu, tetapi saat memperjelasnya Haya tak menemukan apa pun.

Perempuan itu membuka tasnya, mengambil buku, lalu membuka lembaran yang terdapat tulisan perkenalan diri. Orang-orang di kelas terdiam seraya membaca lembar yang terus terbuka.

"Namanya Saaya Naisha, karena alasan yang tak dapat dijelaskan dia tak diperkenankan untuk bicara. Berteman baik dengannya, ya, dan dia punya bakat seni. Bisa masuk Skyline School karena bakatnya, perlu diapreasi ya murid-murid."

Tepuk tangan menggema, Saaya dipersilakan duduk di belakang Haya.

"Cookies," katanya.

Haya menoleh, "Eh?"

"Cookies."

Haya tak paham, tetapi Saaya tersenyum ramah.

Ia merasa merinding, entah apa alasannya.

"Kita kedatangan orang aneh lagi, nih, Najla." Jedy seolah tak ingin menyembunyikannya.

Saaya kembali berkata, "Sauce."

Saat sepulang sekolah Jemima mengajak untuk pulang bersama. Namun, Haya menolak sebab ada perkumpulan klub. Ketika tak sengaja bertemu Saaya di koridor, perempuan itu tersenyum dan melambai seraya berkata, "Cookies." Yang tak dipahami Haya.

"Hayanggg!" Dari arah IPA 1 Yasa berteriak dengan hoodie yang ia pinjamkan agak kotor dengan tanah. "Tebak apa yang gue temuin?" tanyanya dengan tangan yang bersembunyi di belakang badan.

"Rendang?"

Oke, Haya hanya bercanda.

"Aneh lo, yakali gue nemu rendang di taman depan."

Oke, Yasa sedang serius hingga Haya tak mendengar nada bercanda cowok ini.

"Tebak buruan!" Yasa mendekatkan wajahnya yang mengerut, dipandangan Haya terlihat seperti pertama kali bertemu—seperti preman.

"Bunga?" Yasa menggeleng. "Serangga?"

"Aduh sakit, sakit, sakit." Yasa menjerit, mencuri perhatian. Namun, Haya jadi tahu apa yang cowok itu bawa.

Burung yang hampir saja mati karena Yasa menggenggamnya erat.

"Burung buat apa? Dipelihara?"

"Bukan, gue pengin makan burung. Lo yang masak."

"Hah?"

-][-

Adolescene: Haya Helia [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang