4. Evil

2.2K 214 29
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
















Masa-masa indah yang ingin digapai, serta menanti sebuah cerita yang pastinya akan terjadi di hidupnya—adalah Jungkook. Senda tawa yang kerap ada di bayangannya—seketika sirna. Bola matanya meredup. Jantung berdetak kencang, bukan sebab dirinya jatuh cinta. Tetapi—remuk. Hancur. Menyempit seolah seseorang tengah meremas jantungnya dengan kuat.

"Berlibur?" ulang Jungkook, lirih. "Aera, sepertinya aku harus memberi Taehyung pelajaran. Agar dia mengerti, bagaimana berada di posisiku."

Raut wajah Aera tampak jelas terkejut. Sayang, ia mengubah ekspresinya dengan cepat. Satu tarikan napas terdengar di sana. "Tidak usah sok merasa hanya kau yang terluka di sini." balas Aera sengit.

Entah, Jungkook tidak mengerti lagi—bagaimana caranya Aera bisa mengerti dirinya. Bagaimana bisa saling mengerti? Sedangkan dirinya sendiri pun tidak mau mengerti.

"Oh, apa kau sekarang balas dendam padaku? Ingin saling melukai? Begitukah?"

"Kalau iya? Kau mau apa?" Aera semakin menjadi.

Jungkook mengepalkan tangannya, berusaha keras meredakan emosi. "Ya sudah. Pergilah bersamanya." alis itu menukik tajam, "tunggu apalagi? Kenapa kau masih di sini? Berharap, aku mencegahmu?" tawa rendahnya muncul, bersamaan dengan kaki yang melangkah begitu perlahan, "aku takkan lagi mencegah. Silakan. Lakukan apa yang kau mau."

Kim Aera tersulut emosi. Dia membalas tawa Jungkook dengan tatapan sinisnya. Tersenyum angkuh, menunjukkan jika ia mampu hidup tanpa Jungkook. "Lucu sekali. Kemarin mengemis-ngemis.  Sekarang, melepas. Kau pria yang plin-plan juga, ya?"

"Aku bukan plin-plan, noona." Jungkook tidak mau mengalah.

Kemarahannya jelas nyata. Jungkook mempertahankan harga diri, belum saatnya Aera melihat kemarahan Jungkook. Belum waktunya, Aera mengetahui—seberapa besar api amarah dan rasa cemburunya.

Dalam suara berat yang menyimpan, ribuan duri—Jungkook menyuarakan semuanya. "Aku hanya bertanya pada hatiku sendiri. Mengapa aku sebodoh ini? Bertahan dengan wanita munafik sepertimu."

******

Istana yang dimiliki Jungkook hancur, well untuk saat ini. Istana indah, tetapi di dalamnya tidak seindah yang oranglain impikan. Apa yang ia bangun, adalah kebohongan.

Taehyung pihak yang menertawakannya. Senang melihat kehancuran Jungkook. Senang bila Aera memilihnya. Menikmati kesedihan Jungkook, di bayangan kepala. Dengan senyuman jahat.

Lagi pula sudah punya istana, tidak dijaga dengan baik—pikirnya. Tentu ada penyusup yang masuk.

Matanya melirik Aera yang duduk di hadapannya, seraya menghela napas berkali-kali. Taehyung rasanya belum puas, membuat Jungkook terlihat jelek di mata Aera. Atau di sini, tidak ada tokoh yang baik. Mungkin? Semua memperjuangkan kesalahan. Inginnya bahagia bersama-sama. Lalu merenggut kebahagiaan orang.

"Aera, sebelumnya aku minta maaf. Aku tidak ada tujuan yang mulia. Aku datang malah membuatmu hancur." sengaja merendahkan diri, demi nama baik terjaga—tetap sempurna.

"Ya. Kupikir tidak ada satu pun masa yang seindah dulu." Aera lemah, pun ada rasa di mana senang dan sedih bercampur menjadi satu.

Ada yang hilang. Ada yang Aera cari. Akan tetapi, dia belum mengetahui siapa yang dicarinya. Siapa rumah yang sebenarnya? Dan siapa sosok yang pantas menjadi rumahnya?

Hatinya mati. Hampa. Sendirian. Hatinya sudah sangat lelah.

"Ada." Taehyung menjawab yakin. "Masa indahmu itu saat bersamaku."

Aera menoleh, bola matanya berkaca-kaca. "Benarkah, denganmu?"

"Iya, Kim Aera." Taehyung menekan nada bicaranya.

"Mengapa aku ragu? Tidak yakin itu adalah dirimu, Tae?"

Taehyung bungkam. Tidak menyangka, akan jawaban Aera, "Karena kau bingung. Kau sulit memilih."  Taehyung ini pintar sekali merangkai kata, sampai Aera sendiri terkadang kesal.

Rangkaian kata yang tidak untuk Aera saja. Banyak wanita yang pernah mendengar bualannya itu. Kim Aera paham sifat, Taehyung. Mereka sudah lama mengenal.

"Taehyung, apa aku—"

"Aku tidak meminta jawaban yang bukan untukku, Aera. Kau wanitaku satu-satunya. Ya, walaupun aku terkadang berengsek. Aku tetap kembali juga."

Menggoyahkan hati, tipikal Taehyung yang seringkali ia gunakan. Lidah licinnya itu mudah melumpuhkan wanita semacam Aera.

Kemudian, Taehyung mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Kotak perhiasan berwarna merah. "Tinggal menunggu waktu. Kau mau memakai cincin dariku."

"Taehyung, mengapa kau langsung mengambil keputusan?" Aera terkejut, spontan berdiri, "situasi sedang kacau. Ayahku pasti marah besar!"

Pun pria dengan pribadi yang memakai kemeja putih, serta dasi hitam. Lengkap dengan celana panjang yang membungkus kakinya—tampak menawan dilihat oleh siapapun. Ikut beranjak, berdiri. Tangannya bersedekap, tak ragu memperlihatkan ketidaksukaannya.

"Aku tidak peduli."

"Taehyung! Apa pernah kau merasakan jadi diriku?!" air mata Aera yang ditahannya sejak tadi, menetes juga, "mengapa kau mementingkan dirimu sendiri?!"

"Kau pikir aku tidak lelah, hah?! Masalahmu itu rumit! Koreksi, bukan masalahmu saja! Hubungan kita juga rumit!"

"Terus?!"

"Terus?!" Taehyung bertambah kesal. "Aera, aku tidak suka kau berbicara dengan nada tinggi begitu ya?!"

Seorang wanita yang kuat pun, pasti menangis menghadapi pria keras kepala ini. Tidak ada yang mau mengalah.

Tatapan mata Aera berubah kosong memandangi Taehyung. Jari telunjuknya menunjuk sisi dada kiri Taehyung. "Bercermin, Taehyung."

"OH JADI KAU LEBIH BAIK DARIKU?!"

"AKU TIDAK BILANG KALAU AKU BAIK!"

Oke, Taehyung malas melanjutkan perdebatannya. Rahang mengeras, bibir yang kelu. Dia menarik napasnya, sebelum membuang napas berat yang melelahkan itu.

Diam, dengan bola mata yang penuh amarah. Menunggu keadaan membaik. Di waktu yang sama pula, siaran televisi yang menyala di hadapan mereka. Menayangkan berita Ryu Jungkook, bersama kuasa hukumnya.

Pria itu tampak santai, seraya berkata. "Aku dan Aera sudah tidak lagi tinggal bersama. Kami akan bercerai."

Tepat pada musim dingin, Jungkook yang selalu menjadi alasan Aera menangis di setiap malamnya. Menusuk bagian jantung Aera begitu dalam.

Napas Aera tercekat. "A-a..." dia kehilangan kalimatnya sendiri. "T-tidak," kepalanya menggeleng-geleng.

"Aera, tenanglah." sejujurnya, Taehyung juga takut melihat Aera begini. Terlebih lagi, takut gangguan kecemasan Aera kambuh. "Duduk, tarik napasmu pelan-pelan. Tenang, oke?"

"You are so meaningful for me." Taehyung menghampiri Aera, mengulurkan tangannya. "Maaf, maaf ya..."

Bukan itu yang Aera harapkan. Bukan kata maaf dan pujian. Bukan kalimat menenangkan kepalsuan. Dia inginkan bercerai, Jungkook mengabulkannya hari ini. Hari terburuk bagi Aera.

[]

Dirty Proposal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang