TWISTED || 9

34 9 5
                                    

Tiga belas menit empat detik.

Sekarang tiga belas menit lima detik. Nara benar-benar menghitung setiap detiknya saat pertama kali masuk ke ruangan dingin ini. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari pria yang sedang menatapnya tajam di depan sana.

Kursi pria itu berputar menghadap dinding kaca yang langsung memperlihatkan suasana perkotaan di malam hari. Memanfaatkan hal itu, Nara buru-buru mengambil napasnya. Ia tidak pernah bernapas dengan baik saat pria itu menatapnya tajam seperti tadi.

"Nara," suara berat mulai terdengar, membuat kulit Nara semakin menggigil. "Sampe kapan kamu kaya gini?"

Meski jarak mereka dibatasi oleh meja kerja yang lumayan besar, tetapi suara tajam itu tetap berhasil membuat Nara menunduk dalam.

Pasti kejadian tadi siang sudah sampai ke telinga kakeknya.

Nara juga tidak bisa menjelaskan apapun. Sudah jelas sekali dirinya bersalah atas kericuhan yang terjadi tadi siang.

Saat jam istirahat pertama telah habis, beberapa teman Nara yang baru kembali ke kelas berbisik. Sialnya, Nara mendengar hal itu dengan jelas.

"Tau Aksa anak IPA 1 yang lagi terkenal itu kan? Tadi gue liat mukanya biru-biru gitu dari gedung or."

"Kayanya digebukin sama Ezra deh. Gue liat Ezra tadi keluar dari gedung or juga soalnya."

"Ada kaitannya sama 'Ratu' gak sih?"

"Ssstt, jangan kenceng-kenceng lo ngomongnya, anjir."

Tidak perlu menunggu waktu lama, Nara langsung bangkit dan pergi ke kelas Ezra saat itu juga. Meminta penjelasan atas desas-desus yang ia dengar barusan. Tanpa memedulikan guru yang sedang mengajar di kelas Ezra, Nara meminta penjelasan dan marah-marah di sana.

"IYA ATAU ENGGAK?! LO GEBUKIN AKSA KAN?!" teriak Nara saat itu.

Sikap Ezra yang tidak mau mengakui membuat Nara semakin emosi dan tanpa pikir panjang ia mengambil botol minum kaca milik Ezra lalu melemparnya ke jendela sampai jendela kelas Ezra pecah.

Tidak menghiraukan kericuhan yang terjadi setelahnya, Nara langsung berjalan meninggalkan kelas Ezra untuk mencari Aksa.

Tidak heran jika kejadian itu langsung sampai ke telinga kakeknya. Saat ini Nara menghadap langsung kepada sang kakek untuk mempertanggungjawabkan semuanya.

"Saya gak bisa terus-terusan menyelesaikan masalah kamu kaya gini. Saya berusaha untuk gak pilih kasih sama kamu. Tapi kamu selalu bikin masalah yang mengharuskan saya menggunakan kekuasaan saya," Bram memutar kursinya menghadap Nara. Perempuan itu menunduk dalam menghindari tatapan kakeknya.

"Kamu gak bisa seenaknya kaya gitu di sekolah, Nara. Meski itu punya saya sekalipun. Reputasi sekolah saya bisa ancur kalo kamu kaya gitu. Saya denger kamu juga masih sering ngebuli temen. Kamu pikir saya gak tau?"

Saat berhadapan dengan kakeknya, entah kenapa air mata Nara selalu mendesak untuk keluar. Ia merasa sangat terintimidasi sekaligus kesal.

"Harus berapa kali saya bilang agar kamu sadar? Kamu saya DO dari Motacilla pun Arar gak akan peduli. Dia gak akan tiba-tiba kembali kaya dulu, Naraya."

Mendengar nama tersebut, Nara mengangkat kepalanya. Emosi yang telah lama ia tahan tiba-tiba seperti meledak di dalam sana. Wajahnya mulai memerah, tangannya mengepal kuat.

"Kalo gitu untuk apa Kakek masih pertahanin siswi bermasalah yang cuma bisa ngejelekin sekolah Kakek? Usir aja sekalian. Kalo perlu Kakek usir juga Nara dari apartemen. Kalo Papa masih gak peduli juga sama Nara, bunuh aja Nara sekalian! Udah gak ada gunanya juga Nara hidup kaya gini!"

TWISTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang