"Kalau modernisasi bersifat umum, westernisasi mutlak mengadopsi gaya hidup dan pandangan Barat saja. Sedangkan sekularー... Naraya."
Nara yang sibuk menggulirkan layar ponselnya sambil tertawa, menoleh sambil mengangkat alisnya. "Kenapa?"
"Tolong fokus dulu, ya. Ini sesi belajar pertama kita. Bisa ditaro dulu hapenya?" teguran yang kesekian kalinya dilontarkan oleh guru les Nara hanya ditanggapi anggukan saja dari gadis itu.
"Coba jelaskan apa bedanya modernisasi, westernisasi, dan sekularisasi?"
"Mana gue tau. Gue bukan penemunya. Udahlah, Kak, kan gue bilang. Gue bener-bener lagi gak mood buat belajar. Mendingan lo juga santai-santai aja deh. Nanti kalo ujian, gue jamin nilai gue bagus. Jadi lo keliatannya kerja gitu. Win win solution kan? Lo dapet gaji dan gue gak perlu pusing-pusing dengerin penjelasan lo,"
Perempuan berkacamata tebal menarik napas dalam dan mengembuskannya kasar. Tidak pernah ia bertemu murid yang sangat keras kepala seperti Nara. Sudah hampir satu jam sesi belajar mereka, tidak ada satu detik pun Nara memperhatikannya. Layar ponsel sepertinya lebih menarik daripada penjelasannya.
"Kamu jangan seenaknya ya sama saya. Saya ini cari kerja bukan untuk main-main seperti itu. Saya cari uang untuk biaya kuliah saya. Kamu udah bagus dapet semua fasilitas mewah dari orang tua kamu. Harusnya kamu bersyukur dan manfaatin fasilitas yang kamu dapet. Gak semua orang seberuntung kamu!"
Nara menurunkan ponselnya dan menatap datar perempuan di hadapannya sekarang. "Kok jadi lo yang nyolot sih? Tau apa lo soal hidup gue?"
"Kamu gak pernah diajarin sopan santun ya sama orang tua kaー"
"IYA! GUE GAK PERNAH DIAJARIN SOPAN SANTUN SAMA BONYOK GUE, PUAS LO?"
Perempuan itu terdiam dengan napas menderu menyaksikan Nara yang kini menampilkan wajah yang dipenuhi amarah. Nara melempar ponselnya ke sofa dan menangkupkan wajahnya dengan kedua tangan sambil mengerang frustrasi.
Ia berjalan ke arah dapur dan mengambil segelas air di sana. Sambil menegak air, Nara tidak mengalihkan tatapan dinginnya dari perempuan yang masih membeku di sana.
Setelah selesai minum, Nara duduk di mini bar yang tersedia di dapur apartemennya sambil memainkan pisau yang terletak tak jauh dari sana. "Lo pikir cuma hidup lo yang paling menderita? Lo pikir ujian tentang harta itu udah paling menderita?"
Perempuan itu semakin pucat. Tangannya perlahan meraih ponselnya hendak menghubungi nomor darurat. Kondisi muridnya itu sangat tidak sehat. Ia harus segera pergi dari sini.
Nara menunjuk guru lesnya dengan pisau sambil memicingkan mata. "Mau nelepon siapa lo? Mau laporin gue ke polisi? Emang gue ngapain lo?"
Tutornya menghentikan gerakannya di ponsel dan kembali terdiam melihat Nara memainkan pisau di sana.
"Tolong ya, jaga omongan lo. Lo gak tau masalah hidup orang lain ada di mana. Jangan yang lo liat kemewahan yang gue punya doang," ujar Nara datar. "Gue juga gak peduli sama semua fasilitas yang dikasih ke gue."
Suasana semakin hening, hanya terdengar suara pisau yang mengetuk meja. Sementara tatapan Nara masih belum lepas dari guru lesnya.
Mungkin ini akan menjadi cara terbaik agar perempuan itu keluar dari sini dan tidak akan kembali mengajarnya di lain waktu. Nara tersenyum miring, membuat perempuan itu semakin pucat dan tidak berkutik di sana.
Namun, terdengar suara penekanan pin dari luar unitnya. Nara terkesiap. Pasti kakeknya ingin memeriksa proses pembelajaran pertamanya malam ini. Nara meletakkan pisau asal dan melompat menuju ruang tengah lagi agar terlihat sedang menikmati proses pembelajaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTED
Подростковая литератураKeinginan Aksa hanya satu, yaitu bisa kembali melihat ibunya membuka mata. Selain itu, hidupnya datar dan tidak menarik. Namun, apa jadinya jika Aksa tiba-tiba harus berurusan dengan Ratu Sekolah yang paling ditakuti? ---------- Ini cerita tentang m...