Ting.
"Selamat datang,"
Entah itu ucapan selamat datang yang keberapa kali sejak ia mulai meracik kopi sepulang sekolah tadi. Setelah menolak ajakan Rayan untuk menonton pertandingan final basket sekolahnya, Aksa memutuskan untuk segera ke kedai kopi tempatnya bekerja.
"Yang ramah, dong Mas Aksa. Jutek banget nyapa pelanggannya. Senyum gitu senyum." Sosok barista perempuan di sebelah Aksa tersenyum lebar ke arahnya. Aksa hanya menanggapi dengan memberinya senyuman paling tidak ikhlas yang ia punya.
"Mau pesen apa, Kak?" suara renyah khas barista lelaki sedang menyapa ramah pelanggan yang baru saja sampai.
"Tuh, kaya Niko dong, Sa. Senyum selalu. Tampilkan muka ganteng Aksa ke seluruh penjuru kafe kita." Cengiran yang ditunjukkan oleh Jena membuat Aksa menghentikan kegiatannya.
"Pasti ada maunya." Ucap Aksa kepada perempuan itu.
"Ih, suudzon aja bisanya. Emang kalo gue muji lo ganteng, cuma pas ada maunya doang apa?"
"Iya." Ucap Aksa kembali fokus ke mesin espresso di hadapannya.
Jena tertawa kikuk kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Aksa. "Nanti gue mau pacaran, Sa. Lo bisa gantiin gue gak?" bisiknya.
Niko menempelkan struk orderan di tengah mereka. "Jangan didengerin, Sa. Orang punya tanggung jawab kok malah enak-enakan pacaran."
Mendengar celetukan Niko, Jena mengerucutkan bibirnya. "Iri tanda tak mampu, Nik. Bilang aja lo iri kan gue punya pacar duluan."
"Ngapain iri kalo pacar lo modelan kaya Genta? Gue jauh lebih ganteng kali, Jen."
"Heh! Lo jangan berani-berani ngehina cowok gue ya!"
Niko dan Jena. Barista yang bekerja di kafe ini bersama Aksa. Niko adalah pria berusia 20 tahun yang berhenti kuliah karena suatu masalah yang tidak Aksa mengerti. Pria itu memilih kerja penuh waktu di kafe ini. Sedangkan Jena, perempuan berusia 21 tahun lulusan SMA yang berjuang membiayai kehidupannya sendiri dan juga adik-adiknya. Karena hanya berbekal ijazah SMA, Jena hanya bisa mendapatkan pekerjaan pas-pasan di sini.
Mereka berdua adalah dua sirine yang membuat kepala Aksa pening jika sudah berisik seperti sekarang.
Aksa memilih menulikan telinganya sambil membuat pesanan pelanggan. Dia melirik ke perempuan yang sejak tadi menunggu pesanannya dibuat. Bukannya menemukan wajah bosan dan tidak sabar, yang Aksa temukan adalah tatapan penuh minat perempuan itu melihat kelihaian Aksa membuat kopi dengan satu tangan.
"Keren," komentarnya. Setelah menerima pesanan, perempuan itu pergi ke meja berisi temannya yang lain dan dengan semangat ikut berbagi pengalamannya tentang 'Barista Manis Satu Tangan' yang sangat terkenal di kalangan pengunjung kedai kopi ini.
"Wah, kayanya susah ya buat gue jadi pegawai paling terkenal di sini. Selama masih ada Aksa cewek-cewek ngeliatnya lo doang, Sa. Sedih gue." Ujar Niko setelah mengusaikan perdebatannya dengan Jena.
"Makanya jangan sombong, Nik. Inget ya, di atas langit masih ada Aksa."
"Iya gue sadar diri kok. Tapi jangan lupa ya, kemarin ada cewe yang minta nomor telepon gue."
Jena memutar bola matanya malas. "Jangan lupa juga kalo Aksa SETIAP HARI pasti ada aja yang minta nomor."
"Ah, gak asik lo, Jen. Sebenernya lo tim gue apa tim Aksa sih?"
"Ya tim Aksa lah, pake nanya lagi lo."
Suara langkah kaki dari lantai atas menyita perhatian tiga insan tersebut. Perempuan paruh baya tersenyum lebar dan berlarian memeluk Aksa erat.
"Aksa! Tante punya kabar gembira!" serunya bersemangat. "Tante dapet kerjaan baru! Nanti gajinya, bisa buat terapi tangan kamu! Mulai sekarang kamu gak perlu lagi cari kerja sampingan, ya? Kamu fokus aja sekolah biar masuk universitas yang kamu mau."
"Wah! Alhamdulillah. Selamat, Mbak Tasya!" seru Jena ikut gembira.
"Asik dong! Kalo nanti tangan Aksa pulih, bisa makin rame nih kafe!" Kata Niko.
Tasya terlihat sangat gembira sambil menatap keponakan satu-satunya yang ia miliki. Aksa juga tersenyum menanggapi semangat tantenya untuk menyembuhkan dirinya.
"Makasih, Tan. Tapi, untuk saat ini bukannya lebih baik kita fokus ke Ibu?"
"Kamu tenang aja, Aksa. Tante punya banyak simpenan kok. Untuk Kak Sarah, Tante juga udah nyiapin. Kamu juga kan harus pulih. Pokoknya untuk terapi kamu gak boleh nolak ya?"
Sulit baginya menolak keinginan Tasya. Bagaimana pun juga Aksa ingin tangan kirinya kembali normal. Namun, Aksa juga tidak tega melihat Tasya bekerja begitu keras demi ia dan ibunya.
Di penghujung kepala tiga, Tasya belum juga berkeluarga. Aksa ingin melihat tantenya bahagia dengan jalan hidupnya sendiri, bukannya terpaku di sini bersamanya.
Namun, ia tidak punya pilihan selain menggantungkan hidupnya kepada Tasya. Hanya Tasya keluarga yang ia miliki selain ibunya yang terbaring koma akibat kecelakaan 4 tahun lalu.
Kecelakaan yang sama, yang melemahkan fungsi tangan kiri Aksa.
Ting.
"Selamat sore menjelang malam epribadeh." Suara yang sangat familiar di indera pendengarannya membuat Aksa kembali menghela napas. "Eh kebetulan banget ada Tante Tasya. Assalamu'alaikum, Tan."
"Eh ada Rayan, Wa'alaikumsalam." Tasya tersenyum senang ketika Rayan mencium tangannya.
"Tante, Rayan mau minta izin. Mau nonton pertandingan basket di sekolah sama Aksa. Boleh ya?"
Cengiran Rayan dibalas oleh tatapan tajam dari Aksa. Gawat, jika Rayan sudah meminta bantuan Tasya, maka tidak ada lagi alasan baginya untuk menolak.
"Loh? Kok Aksa gak bilang?" Tasya menoleh ke belakang, melihat keponakannya yang sedang memicingkan mata. "Aksa, udah cepet ganti baju sana."
"Tan, kalo aku pergi kasian Mas Niko sama Mbak Jen."
"Ya elah, gak usah khawatirin mereka. Ini waktunya ponakan Tante belajar nikmatin masa muda. Udah sana."
"Yah, gagal lagi pacaran malem ini." Gumam Jena kepada Niko yang sedang tersenyum puas.
"Sukurin." Bisiknya di telinga Jena.
Sementara itu, Aksa masih berusaha mencari cara agar tidak mengikuti ajakan Rayan. "Aksa gak bawa baju lagi, Tan."
"Gue bawa, Sa." Ucap Rayan sambil menunjuk tas ranselnya.
Yang Aksa lakukan hanya menatap Rayan jengkel, sedangkan Rayan menatapnya seolah berbicara 'Skakmat!' sambil menjulurkan lidah.
Tasya mengacak rambut Aksa, "Udah sana, cepetan ganti baju."
"Iya, Tan." Jawab Aksa lemas.
Rayan langsung menerjang Aksa, dia merangkul Aksa dan menggeretnya sampai mereka menghilang di tikungan toilet. Meninggalkan para penggemar Aksa yang mendesah kecewa karena Aksa menghilang.
*
*
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTED
Teen FictionKeinginan Aksa hanya satu, yaitu bisa kembali melihat ibunya membuka mata. Selain itu, hidupnya datar dan tidak menarik. Namun, apa jadinya jika Aksa tiba-tiba harus berurusan dengan Ratu Sekolah yang paling ditakuti? ---------- Ini cerita tentang m...