TWISTED || 16.5

23 8 3
                                    

Padahal, Aksa ingin membantu Nara agar gadis itu diberikan kesempatan terakhir oleh Bram. Mengapa perempuan ini justru menyerahkan dirinya untuk dikeluarkan?

Terdengar desahan panjang dari Bram. Aksa dan Nara sama-sama meluruskan pandangan ke arah pria itu.

"Kalau saya perintahkan Arya untuk ngeluarin kamu, apa rencana kamu selanjutnya?"

Beberapa saat, hanya udara dingin yang memenuhi ruangan sebelum suara kecil Nara terdengar.

"I don't have any." cicitnya yang membuat Bram kembali mengusap wajahnya frustrasi.

Aksa menyentuh tangan Nara. Ia menunjukkan raut wajah penuh tanda tanya, tetapi gadis itu hanya menaikkan kedua bahu pasrah.

Sebelum Bram menanggapi, Aksa terlebih dahulu angkat bicara. "Pak. Saya menyadari apa yang dilakukan oleh Nara memang cukup mencoreng nama baik sekolah dan nama Pak Bram pribadi, tetapi apakah boleh untuk dipertimbangkan kembali keputusannya?"

Bram masih terlihat menangkup wajah dengan kedua tangannya. Sementara itu, Nara hanya menunduk dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Mungkin Bapak berkenan memberikan kesempatan terakhir untuk Nara. Peristiwa ini mungkin bisa jadi titik balik untuk Nara mengubah perilakunya di sekolah. Lagi pula ini tahun terakhirnya."

Tidak habis pikir.

Tidak pernah terbayangkan dalam hidup Aksa untuk berbicara seperti ini. Membela seseorang yang jelas-jelas bersalah atas banyak hal. Membela pelaku pembulian, kekerasan, dan pemerasan di sekolah. Bahkan Aksa baru saja memohon agar Nara dipertahankan di sekolah saat ia benar-benar sadar bahwa gadis itu tidak pantas.

Ia menelan ludahnya dan menyingkirkan segala rasa aneh yang hadir dalam dirinya. Yang terpenting, Nara dibebaskan terlebih dahulu.

Lagi-lagi Bram menghela napas panjang sebelum bersuara. "Nara," panggilnya dengan suara dingin. "Saya tanya untuk terakhir kali. Apa kamu masih ada sedikit niatan untuk melanjutkan sekolahmu?"

Terdapat jeda yang cukup lama sebelum Nara menjawab. Aksa memberikan tatapan penuh harap kepada perempuan yang sibuk menggigir bibirnya sendiri.

"Naraya."

"Ada, Kek."

"Apa yang mengharuskan saya mempertahankan kamu di sini?"

Nara mengangkat kepalanya dan tatapannya bertemu dengan mata tajam kakeknya. Ia melirik Aksa yang tengah mengangguk meyakinkan apapun yang perempuan itu pikirkan.

Helaan napasnya terdengar berat sebelum Nara menjawab. "Nara bakal manfaatin kesempatan yang Kakek kasih sebaik-baiknya. Nara janji gak akan bikin keributan lagi. Sekali aja Nara ngelanggar janji, Nara siap nerima keputusan akhir dari Kakek."

Dengan penuh harap, Aksa dan Nara menatap Bram di hadapannya.

Aksa tahu ini adalah keputusan yang sulit untuk Bram. Keberpihakan terhadap cucunya mungkin akan menodai nama baiknya. Namun, Aksa juga tidak yakin Bram akan tega membiarkan Nara dikeluarkan di tahun terakhirnya bersekolah.

Tapi sorot mata itu membuat Aksa yakin, Bram menganggap janji dari Nara adalah suatu hal yang sangat istimewa.

Dalam hati, Aksa ikut berjanji kepada diri sendiri untuk selalu mengawasi perempuan di sampingnya ini seperti yang telah Bram titipkan kepadanya.

*

Kaki mereka berhenti melangkah ketika sampai di depan unit Nara. Perempuan itu berbalik badan menghadap Aksa dengan ekspresi yang sulit ditafsirkan.

"Makasih, ya. Udah nemenin gue."

Aksa mengangguk, memperhatikan gerak-gerik Nara di depannya. Perempuan itu masih agak terguncang dengan apa yang ia alami.

"Gue gak tau, Sa, besok harus masang muka kaya gimana di depan anak-anak sama guru-guru. Gue tau, seisi sekolah benci banget sama gue. Skandal ini pasti jadi harapan buat mereka untuk gak ngeliat gue lagi di sekolah,"

"Tapi, apa kata mereka kalo ngeliat gue masih sekolah di sana? Pasti Kakek sama Om Arya ikut dijelekin,"

"Tapi ya gimana, ya. Gue gak mau jadi anak baru di sekolah lain. Udah mau lulus. Ya.. itu pun kalo gue lulus sih," katanya lagi. "Kalo tadi gue beneran dikeluarin, kayanya gue bener-bener bakal jadi beban dunia doang deh. Gue gak punya rencana apa-apa lagi buat masa depan gue sendiri."

Beberapa saat yang lalu, Bram telah memutuskan. Nara diberikan kesempatan terakhir untuk bersekolah di SMA Motacilla. Sekali saja Nara berbuat hal yang mengotori nama baik sekolah, Bram, ataupun dirinya sendiri, Bram tidak akan memberikan ampunan lagi kepada cucunya tersebut.

Sebelum meninggalkan ruangan, Bram berbicara kepada Aksa untuk mengawasi Nara selama di sekolah. Dengan penuh keyakinan, Aksa menyanggupi perintahnya tersebut.

"Kakek lo punya harapan yang besar buat lo. Jangan ngecewain lagi," kata Aksa yang disambut anggukan oleh Nara. "Kalo soal gimana pandangan orang lain buat lo nantinya, gak usah dipikirin. Pasang aja muka tebel lo, kaya biasa. Yang penting lo sungguh-sungguh sekarang."

Nara kembali mengiyakan perkataan Aksa sambil mengembuskan napas. "Iya."

"Yaudah, lo istirahat abis ini. Gue balik."

"Lo gak mau mampir dulu?" tawar Nara kepadanya.

"Gue ada keperluan, Nar."

Decakan Nara terdengar seiringan dengan kedua tangannya yang berkacak pinggang. "Gitu kan. Kemaren juga gue suruh dateng ke ultah Selsa, gak dateng. Sok sibuk banget, sih."

Aksa meringis. Kalau pun semalam bukan jadwal operasi ibunya, Aksa juga tidak berniat datang ke acara tersebut.

Untuk apa, pikiranya.

"Beneran gue ada keperluan. Besok aja sekalian belajar," katanya.

"Bener, ya?"

Anggukan Aksa mengukir senyum lebar dari Nara. Gadis itu mengacungkan ibu jari, kemudian melambaikan tangan.

Aksa tersenyum tipis sambil mengangkat tangan kanannya dan melangkah pergi.

Baru beberapa langkah, Aksa menoleh untuk melihat Nara yang masih memasang senyum lebar sambil melambaikan tangan kepadanya.

Diam-diam Aksa menggigit bibir dalamnya.

Senyuman itu...

Itu sosok Naraya yang dulu ia kenal.

*

*

To Be Continued

TWISTEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang