Maaff baru up lagi soalnya agak struggling nulis bab ini:' Kalo ada yang typo atau ada yang aneh kasih tau yaa.
Happy reading!
***
Orang-orang berpakaian perawat sejak tadi berlalu lalang di depannya. Sudah sekitar sepuluh menit ia duduk di ruang tunggu bersama Rayan yang sedang meniup tangannya sendiri kedinginan.
Ia melirik Rayan yang duduk di sebelahnya. Pria itu sejak tadi gemetaran. Sejak ia menerima telepon lewat ponsel Aksa, Rayan gemetar dengan wajah terkejut. Sama seperti Aksa.
Nara sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi. Ia hanya sadar ketika Aksa menarik tangannya sambil berlari ke gedung sekolah. Mengabaikan tatapan orang-orang yang kebingungan dengan penampilan mereka. Nara dengan baju kotornya dan Aksa yang hanya memakai kaus oblong, begitu juga Rayan yang lari tergopoh-gopoh menyesuaikan kecepatan Aksa, di belakang Nara.
Dengan kaki yang kesakitan, Nara membelalakkan mata ketika Aksa menariknya ke ruang BK. Awalnya ia berpikir Aksa akan mengadukannya dan menariknya ke dalam masalah baru. Tapi ternyata pria itu memohon kepada Bu Frida untuk meminjamkan rok dan baju sitaan kepada Nara.
Meski pada akhirnya Nara tetap memakai kemeja Aksa karena baju sitaan di ruang BK tidak ada.
Setelah berganti pakaian, lagi-lagi Nara kebingungan melihat Aksa dan Rayan yang berjalan ke arah gerbang sekolah sambil membawa tas. Tidak mau tertinggal, Nara ikut berlari menyusul mereka.
Perdebatan Nara dan Rayan perihal Nara ikut atau tidak, membuat Aksa yang tidak sabaran langsung menambahkan nama Nara di kertas dispen dan menyerahkannya ke satpam sekolah.
Dan disinilah ia. Duduk di ruang tunggu rumah sakit, masih belum memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan ragu, ia membuka suara. "Yanー"
"Diem, Ra. Gue masih belom sanggup ngomong," potong Rayan.
"I-Itu lo ngomong," gumam Nara di sebelahnya. Rayan melirik gadis yang mengangkat alisnya.
Nara mengubah posisi duduknya menyerong ke arah Rayan. Ekspresi wajahnya tegas meminta penjelasan lebih dari Rayan.
Bukannya mendapatkan penjelasan, justru yang ia lihat adalah air mata Rayan yang keluar.
"E-Eh, kok lo nangis?" kepala Nara menengok ke segala arah, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menyeka air mata Rayan.
Rayan langsung menyeka air matanya sendiri. "Gue gak nyangka, Ra. Perjuangannya Aksa udah kebayar."
Nara terdiam mendengarkan Rayan yang berbicara serius.
"Selama ini Aksa bertahan cuma buat ibunya. Sekarang ibunya bener-bener sadar. Gue masih gak nyangka."
Nara mengangguk, sabar menunggu Rayan melanjutkan ceritanya. Pria itu menarik napas beberapa kali sebelum melanjutkan cerita.
"Ibunya Aksa koma bertahun-tahun, Ra. Mereka pernah kecelakaan gitu. Kecelakaan itu yang bikin tangan kiri Aksa kaya sekarang." kalimat Rayan membuat Nara membeku di tempat. Informasi yang belum pernah ia dengan dari manapun ini membuatnya cukup terkejut.
"Aksa gak punya keluarga lain selain Tante Tasya dan ibunya yang selama ini koma. Dia selama ini hidup sendirian."
"Bokapnya?"
"Bokapnya meninggal karena kecelakaan yang sama, Ra."
Nara tertegun, menyadari betapa berat hidup pemuda yang kini berada di dalam ruang perawatan intensif. Aksa sama menderitanya dengan ia selama ini. Dilihat dari sudut manapun, Nara masih lebih beruntung daripada Aksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWISTED
Teen FictionKeinginan Aksa hanya satu, yaitu bisa kembali melihat ibunya membuka mata. Selain itu, hidupnya datar dan tidak menarik. Namun, apa jadinya jika Aksa tiba-tiba harus berurusan dengan Ratu Sekolah yang paling ditakuti? ---------- Ini cerita tentang m...